Selasa, 19 Juni 2012

Peninggalan Seni Di Bireuen

Pelaminan ini merupakan rekonstruksi hasil bahasan beberapa perajin pelaminan Bireuen masa lalu, 2001




 PELAMINAN  KHAS  BIREUEN
Aceh kaya akan budaya dan adat istiadat warisan masa lalu. Bagi komunitas tertentu, merupakan satu keharusan agar budaya peninggalan tersebut perlu dipertahankan sebagai satu kekayaan yang tak boleh pupus keberadaannya. Termasuk keberagaman motif khas Aceh dari sejumlah kabupaten di Aceh. Menelisik lebih jauh, masing-masing daerah memiliki ciri khas tertentu dengan gaya, aksen maupun pesona motif tersendiri. Cara pembuatannyapun relatif berbeda dengan daerah Aceh lainnya. Di samping menarik, makna dan nuansa magis tersirat pula di dalamnya. Begitu halnya di Kabupaten Bireuen, motif orisinil seperti pada pelaminan Aceh semakin hambar karena jarang ditampilkan. Di banyak bagian, motif, corak bahkan permainan warna telah berbaur dengan daerah Aceh lainnya. Padahal kekuatan pesona motif Bireuen terletak pada lekukan tipis yang dibuat oleh tangan-tangan terampil perempuan setempat di masa lalu. Menurut perajin pelaminan masa lalu, pelaminan Aceh khas Bireuen hanya didominasi empat warna dasar, yakni merah, kuning, lembayung, dan hijau. Aksennya pun terbilang sederhana, sarat pengaruh kawasan berpenduduk dengan etos kerja tinggi.
catatan
Pada tahun 2001, pernah diadakan seminar nonformal bersama beberapa bidan pengantin masa lampau untuk mendapatkan gambaran bentuk asli pelaminan khas Bireuen, yang difasilitasi Dekranas Bireuen. Pelaminan tradisional khas Bireuen lebih menggambarkan kesederhanaan dengan memposisikan tempat duduk pengantin tersembunyi di bahagian dalam. Warna dominan pada pelaminan ini adalah merah buah jemblang (bahasa Aceh disebut mirah jambe kleng). Kekhasan lain yang ditemukan pada pelamin Bireuen ini adalah penggunaan tirai terikat pada bagian depan dengan warna hijau, kuning, dan merah. Gambar di bawah merupakan rekonstruksi pelaminan tradisional yang diinformasikan oleh beberapa bidan pengantin terdahulu, dalam rangka mendukung Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV, Agustus 2004 di Banda Aceh. Sebagian bahan-bahan pendukung diperoleh dari sisa peninggalan masa lalu. Namun kasap bagian luar banyak dipakai dari produk terbaru dan bukan bermotif Bireuen. Di samping itu, pelaminan ini tidak dilengkapi dengan gantungan bola-bola benang (boh keuleumbu), bewarna merah, kuning, dan hijau. 

KIAT MEMBANGUN

MEMBANGUN JEMBATAN DI BIREUEN

klipping koran Tahun 2001
Pada masa awal pemekaran Bireuen sebagai kabupaten, yang ditandai dengan pelantikan kepala dinas, badan dan kantor di lingkungan pemerintahan kabupaten baru ini, dilakukan pembahasan tentang prioritas pembangunan fisik (infrastruktur), khususnya jalan dan jembatan. Dari aspek ini yang lebih utama adalah pembangunan jembatan besar yang terdapat pada sungai-sungai luas. Asumsi yang diperkirakan waktu itu adalah peluang prioritas pembangunan dari pemerintah atasan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur daerah sebagai  bahagian dari tujuan pembangunan nasional. Pada kesempatan ini, disusunlah rencana kerja pembangunan jembatan  dalam wilayah Kabupaten Bireuen meliputi, jembatan Krueng Meuseugob (sekarang Kecamatan Simpang Mamplam), Blang Mane (Kecamatan Peusangan Selatan), Sarah Sirong (Kecamatan Juli), Mon Klayu (Kecamatan Gandapura), Lawang Wie (Kecamatan Peudada), dan Lawang Uneuen (Peudada).  Perencanaan dan survey semua jembatan itu dilakukan oleh tenaga Dinas Bina Marga. mengingat ketiadaan anggaran waktu itu. Pada tahun 2001 jembatan-jembatan besar itu mulai dibangun dengan alokasi anggaran seadanya sesuai kemampuan APBK waktu itu. Penyelesaiannyapun memakan waktu beberapa tahun, ada yang dua tahun, tiga, bahkan terakhir yakni jembatan Mon Klayu yang diresmikan pemakainanya pada 2011 oleh Bupati Nurdin.
Jembatan Blang Mane, Peusangan Selatan, produk 2001 
Jembatan Krueng Meuseugob, Simpang Mamplam, 2001
Jembatan di atas merupakan jembatan rangka baja yang jika diperkirakan dengan kemampuan anggaran daerah relatif sulit dilaksanakan. Namun, kebersamaan yang terjalin dari berberapa tokoh masyarakat dalam mendukung Kepala Dinas Bina Marga beserta Staf untuk pengurusan ke Jakarta, berbagai kesulitan teratasi.   Hal ini perlu dikisahkan untuk menambah spirit pihak tertentu, khususnya aparatur dalam menyikapi kebutuhan pembangunan daerah.

Rabu, 13 Juni 2012

GANDAPURA, Gerbang Timur Bireuen Yang Mulai Tumbuh

RAZUARDI IBRAHIM di Gandapura, 2006, saat baru dilantik sebagai Kepala Bappeda Bireuen




Kawasan Gandapura dengan PKS (Pabrik Kelapa Sawit) 

 
 
SENI EKSPLOITASI KAWASAN
Sketsa Kawasan Gandapura Dengan Konsep Kebutuhan Pertumbuhan, tahun 2005
Gandapura, Membangun Dengan Kekuatan Kawasan
Kali ini saya mengulas tentang uji coba pertumbuhan kawasan, yakni Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen Aceh. Uji coba yang saya maksudkan bukanlah upaya coba-coba, akan tetapi mencoba menggerakkan potensi kawasan agar menjadi suatu ide pertumbuhan yang dapat sama diakui oleh semua elemen kawasan.
Pada saat saya dipercayakan menjadi Kepala Bappeda Kabupaten Bireuen pertama kali, yakni 6 Desember 2005, masa Bupati Mustafa A Glanggang. Saya berdiskusi dengan beliau tentang teknik-teknik membangkitkan ekonomi kawasan, dan beliau respon sekali kala itu. Pada 9 Desember 2005 saya membuat sketsa kawasan Gandapura, seadanya, hadiah dari saya untuk hari ulang tahun saya ke 44.
Dalam laporan terdahulu di Bappeda, banyak fasilitas yang dibangun pemerintah terbengkalai di sana, seperti pasar hewan, pabrik pakan ternak, dan lain sebagainya. Saya berasumsi waktu itu bahwa pertumbuhan Gandapura akan terpuruk mengingat pertumbuhan Kota Kutabalang yang berdampingan langsung dengan Gandapura, di sebelah barat, begitu hebatnya. Banyak orang-orang berniat berdagang di tempat itu, yang diindikasikan dengan banyaknya tumbuh ruko baru dan hari pekan yang ramai. Tidak kalah ketinggalan, Kota Krueng Mane, Kabupaten Aceh Utara yang terletak berdampingan langsung di bahagian timur, juga menunjukkan pertumbuhan luar biasa. Gandapura terjepit di antara dua pertumbuhan ekonomi kecamatan yang kuat, yang berpeluang menjadikan masyarakat Gandapura menjadi konsumtif tanpa produksi karena harga barang lebih murah di dua pertumbuhan yang menjepit itu.
Awal 2006, saya coba meliput ke kawasan kering dan tinggi, Glee Kuprai, bagian selatan Gandapura bersama dua rekan wartawan, Yusmandin Idris dari Serambi Indonesia dan Desi Safnita dari Harian Raja Post, di samping beberapa rekan lain dari Pemkab Bireuen. Saya merasa berkepentingan untuk mengekpose kawasan itu ke publik guna mendapatkan respon, sharing, kritikan, komentar, dan nilai positif lainnya. Sepulang dari tempat itu saya melihat kembali sketsa kawasan Gandapura beserta beberapa kebutuhan kawasan yang dirasakan dapat dijadikan titik tumbuh ekonomi. Sketsa itu saya perlihatkan kepada Ismail Adam, tokoh partai politik asal daerah itu. Respon beliau serta merta dan menjadikan saya lebih akrab serta dapat dijadikan rekan diskusi. Di coretan sketsa seadanya itu saya mengkhayal di tempat itu mestinya ada sekolah pertenakan, pabrik minyak kelapa, pabrik pakan yang berproduksi, pabrik besar, dan lain sebagainya, yang waktu itu tidak ada sama sekali, kecuali pasar hewan terbengkalai dan pabrik pakan ternak yang terbiarkan.
Ternyata banyak hambatan dalam menterjemahkan konsep ini ke sistem yang ada di lingkungan saya bekerja. Keuangan daerah yang belum kondusif, tenaga ahli yang minim, opini apatisme berkembang, dan lainnya, cukup memperberat pertumbuhan ekonomi. Dari beberapa presentasi yang saya lakukan, termasuk di legislatif dan lembaga-lembaga teknis daerah di  Bireuen, tidak membuahkan produk legalitas maupun desain teknis untuk landasan eksploitasi kawasan. Namun saya tetap menikmati sebagai suatu aktivitas seni yang harus dilalui. Waktu itu saya berusaha menghibur diri dengan semboyan, “Inilah Kanvas Sesungguhnya”.
Razuardi bersama Bupati Nurdin dan Muspika Gandapura rapat persiapan kawasan
Pada tahun 2007 saya dipercayakan Bupati Nurdin sebagai Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Kabupaten Bireuen, di samping tugas temporer sebagai Bapel KIB. Dalam posisi ini saya berpeluang mengajak rekan-rekan untuk berfikir kawasan. Tahun 2009 saya kembali lagi menjadi Kepala Bappeda setelah reposisi struktural produk mutasi. Hari itu saya ternikmati dengan menemukan kembali kanvas yang hilang,  kawasan Gandapura. Saya bicara lagi dengan bupati yang menjabat tentang konsep yang terbengkalai. Bupati humanis inipun bersedia untuk mendampingi aktivitas saya dalam mengunjungi Gandapura setiap saat. Dalam diskusi lanjutan, saya bersama Ismail Adam dan beberapa rekan mencoba mengulang kaji tentang judul konsep kawasan ini. Dengan keterbatan yang ada, produk diskusi hanya mampu menghadirkan suatu ungkapan konsep yakni, “Kawasan Industri Perternakan Terpadu Gandapura”.
Razuardi, Damdim Bireuen dan Kapolres Bireuen meninjau kesiapan PKS Gandapura
Singkat kisah, berbagai tempat konsentrasi masyarakatpun tumbuh di sana mendampingi pasar hewan tradisional yang telah lama menjadi andalan kawasan itu. Beroperasinya pabrik kelapa sawit (PKS), pada 2011, dalam sekala besar di dataran tinggi Gandapura semakin menjadikan kawasan itu dikunjungi berbagai pegiat ekonomi. Di samping saya menikmati kanvas terlukis oleh waktu, ulasan ini dapat dijadikan informasi bagi ang memerlukan. Setidak-tidaknya, semua kita terinformasikan teinformasikan tentang waktu relatif yang diperlukan untuk pembangunan kawasan di Bireuen, yakni 2006 hingga 2011, lima tahun. Hari ini kanvas itu dinikmati banyak orang, investasi dunia usaha dan masyarakat lumayan besarnya di sana. Tidak perlu khawatir terhadap ketiadaan atau keterbatasan finansial pemerintah, kemudahan perizinan dan respon serius dari aparatur cukup kuat dijadikan investasi pemerintah untuk menggerakkan kawasan. Begitulah kehendak alam. [rajju, 130612]
Bersama Yusmandin Idris di Gandapura, 2006

SMK Perternakan Gandapura



PKS jelang selesai konstruksi

Senin, 11 Juni 2012

TRADISI BUNGA DI ACEH






Wangi Bunga Aceh
Para wanita Aceh telah memanfaatkan aroma beberapa jenis bunga untuk ciptakan suasana nyaman dalam ragam acara atau perhelatan, ritual tertentu seperti ziarah, dan lain sebagainya. Wangi yang dimanfaatkan untuk itu masih dalam wujud bunga segar yang ditempatkan dalam wadah tertentu seperti dalong, talam, atau wadah terbuka lainnya.
Sekurang-kurangnya ada tiga jenis bunga yang terkenal di Aceh dan kerap menjadi trade mark dalam berbagai penamaan, seperti sanggar, kelompok kerja masyarakat, group tari, dan sebagainya. Jenis bunga dimaksud yakni, bungong jeumpa (bunga cempaka), bungong seulanga (bunga kenanga), dan bungong meulu (bunga melati). Ke-tiga jenis bunga tersebut memiliki wangi yang berbeda dan mampu dibedakan seketika. Bentuk dan jenis tumbuhannya pun berbeda, meskipun batangnya memenuhi unsur kayu. Cempaka memiliki bentuk panjang lancip dan memiliki dua jenis warna yakni, kuning dan putih. Pohonnya tinggi hingga mencapai belasan meter.
Kenanga juga memiliki pohon yang tinggi seperti cempaka, namun ada juga berjenis pohon rendah. Bunganya berwarna hijau kekuningan dengan bentuk seperti daun memanjang. Melati memiliki pohon yang rendah, paling tinggi seukuran manusia. Warna bunga ini putih bersih, namun dari jenisnya ada yang terdiri dari satu kelopak bunga, ada yang berlapis.  
Tak jarang pujian kepada gadis tertentu diibaratkan seperti bunga-bunga ini yang sering diungkap lewat syair lagu. Di saat farfum belum dikenal luas di Aceh, para wanita menyematkan bunga-bunga ini pada sanggul mereka. Ketiga bunga ini dirangkai memanjang untuk mudah dililitkan pada sanggul.
Masyarakat Aceh sudah memanfaatkan aroma bunga alami ini sejak masa kerajaan dulu. Untuk mengharumi istana, bunga-bunga ini ditamam di taman sehingga tatkala mekar keharuman menyusup ke ruang istana. Untuk mengharumkan ruangan, ketiga jenis bunga ini ditempatkan dalam wadah tertentu seperti diceritakan di atas. Keharuman yang disebarkan bunga-bunga ini bertahan kurang lebih hingga tiga hari, sebelum kering pada hari selanjutnya.
Semerbak ini juga dimanfaatkan masyarakat Aceh masa lalu untuk pelengkap aroma pelaminan  sekaligus bahan dekorasi. Belum lagi untuk ritual tertentu yang mentradisi di tengah masyarakat, seperti peusijuk, peusunteng, dan lain sebagainya. Memang banyak jenis bunga yang digunakan masyakat Aceh terdahulu, seperti bunga tanjung, mawar, dan lainnya, namun tidak sehebat kharisma ke-tiga bunga ini.

APLIKASI KONSEP RUMOH ACEH DI LAPANGAN


         Dalam sejarah perjalanannya, konsep rumoh Aceh telah terinfiltrasi ke dalam tujuan aplikatif masyarakat yang di rasakan cukup bermanfaat. Tujuan aplikatif ini tercermin dari beberapa aspek dominan yang langsung dapat terlihat dalam kegiatan sehari-hari baik disadari, maupun tidak. Berikut uraian terhadap beberapa aspek dominan hasil pengamatan dan masukan dari berbagai pihak pemerhati di Nanggroe Aceh Darussalam.

  
a.   Aspek Perencanaan

Pertumbuhan rumah tinggal seiring dengan pertumbuhan penduduk memberi pengaruh terhadap style atau langgam disain. Keinginan dari masing-masing pemilik rumah tinggal di Nanggroe Aceh Darussalam cenderung  mendapatkan sentuhan etnik meski hanya sedikit. Para perencana rumah tinggal juga merasakan hal serupa terhadap kecenderungan ini. ”.............Banyak yang minta ambang pintunya bermotif Aceh, saya repot juga mencari literatur.............”, demikian Iqbal, seorang Arsitek di kota Lhokseumawe.
Rachmatsyah Nusfi juga sedikit disibukkan oleh para owner menyangkut penyusunan kerangka acuan rumoh Aceh yang akan ditenderkan kepada para konsultan lokal. ”.........Mereka tanya kerangka acuan sama kita, waktu tender mereka yang menang,..........., tapi ketika mulai kerja tanya kita lagi...”, demikian keluhnya. Artinya pada aspek perencanaan konsep dan filosifi rumoh Aceh telah menjadi bahan acuan yang wajar untuk dipertimbangkan.


Salah satu disain ambang pintu rumah dengan sentuhan ornamen rumoh Aceh
 
b.   Aspek Eksibisi


Eksibisi sebuah istilah yang populer saat ini padahal arti sederhana yang mudah dipahami oleh masyrakat awam adalah pertunjukan. Namun karena publikasi dan promosi pada event-event tertentu yang bersekala internasional maka sering orang memakai istilah ini.
Pameran yang mengeksploitasi keberadaan dan bentuk rumoh Aceh sudah sering dilakukan, baik pada sekala lokal seperti Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), Musabaqah Tillawatil Qur’an, Pameran Pembangunan, dan lain-lain sebagainya. Namun oleh karena kerangka acuan, konsep, serta tujuan yang tidak jelas bahkan tidak didiskusikan oleh masing-masing komunitas yang mengerti tentang itu maka pergeseranpun terjadi, dan dalam hal ini pergeseran yang jelas terlihat adalah perubahan fisik bangunan.
”.....Saya lihat pada PKA pertama, tahun 1972, seluruh bangunan Aceh yang ditampilkan masing-masing kabupaten/kota, waktu itu Dati II namanya masih bercirikan bangunan khas masing-masing..........., semua dari kayu.....”, ungkap Rachmat saat melatih para tukang di stand Kabupaten Nagan Raya, ”...........sekarang kan tidak,.....mereka membangun sesuka hatinya saja,......jauh,......jauh,........sudah bergeser dari konsep.”
Kekecewaan seorang Rachmatsyah ada benarnya, ”..........mestinya, kalaupun materialnya berbeda tapi konsep bentuk bangunan kan harus spesifik............coba lihat, ada yang kayak rumahlah, kayak restoranlah, wah........macam-macam............ini pertunjukan budaya”, tambahnya dengan mata berkaca-kaca.

Anjungan Seuramo Bireuen di PKA-4 masih mengutamakan khas daerah
Bireuen yakni rumoh santeuet


Memang pada arena PKA-4, Taman Sri Ratu Sfiatuddin terlihat beragam jenis bangunan baik dari bentuk maupun bahan yang digunakan. Kecenderungan membangun rumah di atas tanah lebih dominan, namun masih ada juga beberapa anjungan yang mempertahankan karakter bangunan yang berkembang di daerahnya masing-masing meskipun material yang digunakan telah ditukar dengan bahan-bahan moderen seperti genteng metal, tiang beton, dan lain-lain, mengingat kesulitan mencari atap daun rumbia dan kayu pada saat itu. ”.......tapi bentuk kan bisa dipertahankan........”, ungkap Rachmatsyah. ”.............kalau ingin memperlihatkan daerah kita mampu membangun gedung moderen tidak disini tempatnya,.......ini pesta eksibisi budaya, bangun dengan dinding tepaspun boleh, asal bentuknya khas daerah..........”. 

Papan nama anjungan Bireuen yang masih menggunakan bahasa daerah.

Anjungan Kabupaten Bireuen (Seuramo Bireuen) pada PKA-4 masih menggunakan kayu dan bentuknya mengikuti bangunan rumoh santeuet yang banyak berkembang di Aceh dan Bireuen khususnya. Hanya saja tiangnya ditinggikan sedikit, ”..........secara fungsi anjungan Bireuen sudah maksimal, cukup manusiawi, karena kalau hujan pengunjung yang menyaksikan acara di bawah tidak kewalahan,................yang penting kan masih proporsional bentuknya”, komentar Rachmatsyah.



Permainan atap bangunan pada PKA-4 sungguh bervariasi, ada yang mengadopsi atap Cakradonya yang berlapis tiga, adapula yang mencoba mengikuti bangunan khas Aceh dengan atap menurun hingga mendekati tanah. Pergeseran disain ini boleh jadi karena para seniman bangunan Aceh yang kian sulit didapati, atau ketidakpahaman dari para seniman bangunan lokal terhadap batasan proporsi dari sebuah bangunan rumoh Aceh, bahkan terbuka kemungkinan para pelaksana bangunan ini bukan orang yang tepat untuk itu.
Zakaria Ahmad menceritakan, ” Sejak semula arsitek de Bruin menyadari bahwa ia tidak bermaksud menghancurkan arsitektur  tradisional dengan pembuatan Mesjid Raya Baiturrahman tersebut. Hal ini dibuktikannya sewaktu Gubernur Aceh Swart tahun 1916 meminta kepadanya merencanakan sebuah bangunan kecil tempat gantungan lonceng Cakra Donya. Bangunan kecil itu diwarnai oleh arsitektur tradisional yaitu bahagian atap berundak-undak. Atap lapis pertama mengambil model atap rumah Aceh lengkap dengan tulak angennya dan atap pada lapis selanjutnya mengambil model dari mesjid tradisional Aceh”.  
Dari yang diceritakan di atas, tersirat bahwa arsitek de Bruin selaku orang luar (kaum penjajah dari Belanda) bekerja dengan nurani kearsitekturannya meski untuk sebuah banguna kecil sekalipun, tidak serta merta membawa pembaharuan di bidang rancang bangun bentuk bagi kebutuhan kelangsungan budaya. Karya de Bruin inilah yang dapat disaksikan hingga sekarang di lingkungan meusium Aceh di Banda Aceh.
   
c.   Aspek Ketahanan Budaya

Rumah bantuan korban tsunami yang mengikuti trend rumoh Aceh
            Ketahanan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian sempit yakni suatu upaya agar masyarakat awam mudah mengerti terhadap budaya Aceh yang telah lama berkembang dan menuntun peradaban di tengah masyarakat. Biasanya, ketahanan budaya di tengah masyarakat ini terindikasi dalam bentuk upacara peradatan, tingkah laku keseharian, serta kehendak untuk mengakomodir ragam seni yang telah mengakar di tengah masyarakat, termasuk seni rancang bangun.

          Di Aceh banyak kebutuhan seni bangunan yang mengakomodir arsitektural Aceh, meskipun bukan milik pemerintah. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam masyarakat Aceh sendiri masih bertahan nilai-nilai budaya masa lalu.

Pustaka Ali Hasymi Banda Aceh menggunakan ornamen Aceh
Rumah Aceh di lingkungan Pustaka Ali Hasymi, Banda Aceh
 


DAFTAR PUSTAKA
 
  • Akbar, Ali, 1990, Peranan Kerajaan Islam Samudra-Pasai Sebagai Pusat Pengembangan Islam Di Nusantara, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.
  • Dekranas Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam, 2002, Ragam Hias dan Motif Aceh, Banda Aceh.
  • Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat, 1996, Piasan Raya Alam Budaya Pantai Barat, Meulaboh.
  • Yusuf, Maimun, 1996, Catatan Seminar Motif Aceh pada Perencanaan Kantor Bupati Aceh Utara, Lhokseumawe.
  • Nusfi, Rachmatsyah, 1988, Laporan Survai dan Perencanaan Stand Pameran Mobil Oil pada PKA-3, Blang Padang, Banda Aceh.
  • Nusfi, Rachmatsyah, 2004, Persiapan Seminar Rumoh Aceh pada PKA-4, Taman Sri Ratu Saifuddin, Banda Aceh.
  • Nusfi, Rachmatsyah, 2004, Pembangunan Rumoh Aceh Stand Kabupaten Nagan Raya pada PKA-4, Banda Aceh.
  • Ibrahim, Razuardi, 2004, Pembangunan Seuramo Bireuen pada PKA-4, Banda Aceh.
  • ZZ, Muhammad, 1986, Seni Rupa Aceh, Dinas Perindustrian Daerah Istimewa Aceh bekerjasama dengan Taman Budaya Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh. 
  • Yayasan Festival Istiqlal, 1993, Al Qur’an Mushaf Istiqlal Menapak Kembali Seni Asasi Islam.