Asisten Pimpro Perencanaan Jalan
Kabupaten Aceh Utara
Ruang Kerja Asisten Pimpro Bidang Perencanaan, 1991
Waktu itu sekira tahun 1991-1994, aku mendampingi
Ir Razali Muhammad sebagai Asisten Pimpro Bidang Perencanaan Proyek Peningkatan
Jalan Kabupaten Aceh Utara. Pekerjaan cukup melelahkan karena bidang perencanaan waktu itu
bertanggung jawab hingga pengesahan anggaran dalam rapat teknis di Banda Aceh.
Tim asistensi pada rapat teknis, yakni para pejabat yang mewakili kepala dinas
atau lembaga di tingkat propinsi yang terdiri dari, Kepala PU (Kabid Bina
Marga), Ketua Bappeda (Kabid Fispra), dan Biro Pembangunan Setprop Daista
(Sekretariat Propinsi Daerah Istimewa Aceh). Tugas pokok dari bidang
perencanaan yakni mempersiapkan gambar rencana, daftar harga berikut upah dan
bahan tahun berlaku, dan rencana anggaran. Ke semua dokumen itu terangkum dalam
suatu buku usulan yang dinamakan DURP (Daftar Usulan Rencana Proyek). Produk
DURP tentu didasari atas ragam survei yang ditentukan oleh aturan Inpres
Peningkatan Jalan Kabupaten (IPJK) yang meliputi, survei penjajakan, survei
teknis, dan survei laboratorium. Dengan
beban ini, aku menyadari bahwa terbangun talenta mengelola prilaku staf yang
cukup variatif serta penguasaan teknis pembangunan jalan. Kolaborasi dari berbagai keharusan itu, aku
rasakan cukup membangkitkan keberanian untuk eksis dalam dunia rancang bangun.
Beberapa kali terjadi gempa
bumi di Aceh, berdampak kepada hancurnya gedung-gedung publik. Baik dalam
bentuk fasilitas pemerintah seperti perkantoran maupun fasilitas swasta,
pertokoan. Puncaknya pada musibah besar akhir Desember 2004 lalu, peristiwa
gempa berkekuatan 8,9 skala Richter dan gelombang tsunami.
Penghancuran gedung-gedung
fasilitas publik oleh kehendak alam itu telah mencederai sejumlah manusia,
bahkan menjemput ajal ratusan ribu masyarakat Aceh seperti saat tsunami itu. Kesalahan
terhadap penganiayaan masyarakat yang terjadi digiring ke pemikiran untuk
menuduh gempa sebagai musabab peristiwa. Jarang kekeliruan manusia pengelola (human
error) dipertanyakan. Padahal kehandalan konstruksi terhadap gempa telah teruji
dan diperhitungkan. “rubuhnya gedung laboratorium analis itu karena gempa
berat”, ungkap media. Tak pernah terinformasikan, ”rubuhnya
gedung itu karena keliru perencanaan”.
Hal ini perlu direnungkan.
Komunitas mana yang layak bertanggung jawab terhadap kehandalan atau daya tahan
konstruksi dalam pembangunannya. Semboyan yang sering didengungkan komunitas
engineer “jika kekeliruan seorang dokter hanya mematikan seorang manusia,
jika kekeliruan yang dilakukan seorang insinyur dapat memusnahkan ribuan manusia”.
Pasalnya, seorang insinyur yang
nota bene ahli konstruksi telah mengetahui
kekuatan gempa pada daerah tertentu dan dapat diakomodir dalam suatu desain
kekuatan konstruksi, khususnya gedung. Pada gedung yang telah diperhitungkan
akan mengalami gempa sebesar 8,9 skala Richter, tidak akan rubuh pada guncangan
gempa 6 skala Richter. Namun
dalam kenyataannya,
tidak sedikit gedung hancur pada guncangan gempa di bawah batas toleransi.
Banda Aceh yang diketahui banyak insinyur memiliki potensi gempa di atas 8 SR, selayaknyamemperhitungkan keamanan gedung dengan
mengakomodir kekuatan di atas 8 SR.
Peranan pemerintah semestinya
jelas dan tegas dalam hal ini. Aplikasi penerapan pengawasan kasus ini dapat
diterapkan dalam aspek perencanaan hingga pengawasan. Tentu melalui regulasi
yang ditetapkan. Persoalannya, bagaimana menggiring komitmen komunitas rancang
bangun ke dalam pembuatan aturan teknis ke dalam regulasi.
Tikar produk masyarakat Jangka, Bireuen, difoto 2008
Bahan baku sebelum dianyam, 2008
Kerajinan
(Industri Kecil) Masyarakat Bireuen
09122004
Bahasan ini lebih diarahkan
kepada aktivitas masyarakat menghasilkan produk kerajinan tangan (handy craft) berbasis seni budaya yang
berkembang di wilayah Bireuen. Banyak kerajinan rakyat lainnya yang lebih
mengarah sebagai pekerjaan pokok dari masyarakat itu sendiri, seperti kerajinan
kaleng, keripik dan makanan lain, pembuatan parang, dan lain sebagainya.
Meskipun handy craft ini lebih bersifat sambilan yang umumnya dilakukan oleh
kaum wanita, namun cukup membantu ekonomi keluarga. Di samping itu, kelompok
pekerja di bidang ini telah melakukan proteksi budaya secara
berkesinambungan.
Kerajinan
Kasap
Kasap
biasa diartikan sebagai upaya menggambarkan motif tertentu pada kain dengan
menggunakan benang. Biasanya benang yang dipakai untuk membuat kasap adalah
benang emas atau perak. Begitupula terhadap kain yang digunakan sebagai media
untuk menyulam motif itu. Tak jarang masyarakat menggunakan kain beledru,
saten, bahkan kain sutera. Namun pada masyarakat yang berekonomi rendah kain
yang digunakan adalah kain poplen, teteron, dan lain-lain. Benangnyapun hanya
benang warna-warni biasa.
Informasi
yang diterima menggambarkan bahwa kerajinan ini telah berkembang lama di
wilayah Bireuen. Hal ini terindikasi dari masih adanya sisa-sisa kasap
masa lalu yang tersimpan di masyarakat. Motif kasap ini masih dipakai
masyarakat sebagai motif dasar untuk melanjutkan tradisi pembuatan kasap di
Bireuen.
Kerajinan
Perca
Perca adalah sisa
potongan kain yang tidak terpakai lagi setelah dipakai untuk keperluan lain.
Layaknya perca ini disebut limbah dan biasanya terbuang begitu saja. Namun lain
halnya bagi para pelaku kerajinan di Bireuen. Sisa kain itu dirangkai menjadi
suatu produk kerajinan yang dapat dipakai untuk berbagai hal. Dalam aspek ini
tergambar bahwa masyarakat Bireuen telah terbiasa memanfaatkan bahan-bahan
bekas yang tidak terpakai lagi untuk dijadikan produk barang jadi lainnya.
Sisa kain itu
dibentuk segitiga sebelum dirangkai menjadi suatu produk dalam suatu kesatuan. Produk
ini bisa dipakai sebagi alas cerana (dalong), tutup tudung saji (sange), dan
lain sebagainya. Keterampilan para pelaku terlihat jelas pada pemilihan
warna yang disusun rapi dalam suatu rangkaian.
Di samping
itu, tradisi perca ini telah digunakan masyarakat untuk menghiasi tirai
(tabeng), untuk membatasi sela-sela antar kelompok warna. Bedanya, untuk
kebutuhan tirai, motif yang dipakai mengikuti motif timur tengah. Para
perajin menamakan motif ini dengan sebutan gaki
mirahpati (kaki merpati). Kerajinan ini masih bertahan di Kabupaten Bireuen
dan menjadi ciri tersendiri bagi kerajianan rakyat.
Kerajinan Anyaman
Kerajinan
anyam di Kabupaten Bireuen umumnya berbahan baku daun pandan berduri, bambu,
rotan, dan daun lontar (on iboih). Produk
anyaman yang dihasilkan berupa, tikar, tepas, tudung saji, dan peralatan dari
rotan.
Saat
sekarang produk-produk tersebut kalah bersaing dengan produk moderen berbahan
baku plastik. Namun dari teknik pembuatannya yang mampu menampilkan motif-motif
tertentu, sehingga kerajinan anyaman ini mampu bertahan hingga sekarang.
Kerajinan Rajutan
Merajut
juga merupakan kerajinan rakyat di Kabupaten Bireuen. Bahan baku yang digunakan
dalam memproduksi barang rajutan adalah benang. Biasanya
para perajin itu menggunakan benang bol, nilon dan lain sebagainya. Hasil rajutan rakyat itu berupa lobe (penutup
kepala untuk shalat), taplak meja, dan lain sebagainya.
Dalam
produk rajutan itu para perajin telah memasukkan unsur motif dan dipertahankan
sebagai suatu karya seni berkelanjutan.
Kerajinan Logam
Kerajinan
seni logam yang ada di Bireuen dapat disaksikan dari peninggalan ceurana
(dalong), mundam, dan lain
sebagainya. Peralatan itu biasa dipakai masyarakat untuk melengkapi upacara
adat, seperti adat perkawinan, maulid nabi, dan sebagainya. Teknologi pembuatan
kerajinan logam ini melalui proses pencairan logam kemudian dicor ke wadah yang
telah disiapkan. Wadah ini lazimnya bermotif standar yang menjadi ciri
tersendiri.
Banyak lagi jenis kerajinan yang ditekuni masyarakat
Bireuen hingga hari ini namun tidak sempat dikunjungi.
Cacatan ini kutulis pada 9 Desember 2004, saat aku masih berpredikat
sebagai Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bireuen.
Secara gamblang, tanpa analisa akademis aku berkesimpulan sementara bahwa
industri rumah tangga di Bireuen merupakan sumber mata pencaharian masyarakat
ke-tiga setelah pertanian/perkebunan dan perikanan.