Sabtu, 30 Maret 2013

GOLDEN WAYS MENARIK


Menarik aku tonton  malam itu, tidak seperti biasa. “Mengapa selalu wanita yang disimbolkan penderitaan, sasaran kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal banyak kaum pria menderita dalam rumah tangganya, tapi tidak tersiarkan.  Perempuan itu menyiarkan penderitaan,” kata Mario Teguh pada event Golden Ways, Metro tv, 6 Januari 2013. “Adakah pria berkomentar terhadap pemakluman mempertahan imej kelanggengan kenikmatan seksual pasangan dalam kolaborasi monopause,” sambung seorang pemirsa di warung tempat kami menonton. Ungkapan pria awam itu menarik untuk kucermati lebih jauh. Aku berfikir, ungkapan Mario perlu dipahami oleh berbagai pihak untuk dikaitkan dengan kondisi kekinian dalam sistem masyarakat. Hal ini masalah utama yang perlu disikapi dengan aturan aplikatif, tidak sebatas diskusi semata.

TELAAH SASTRA ROMAN EROPA


dalam mengungkap bahasa roman, sastrawan Eropa juga tidak jauh berbeda dengan sastrawan negeri-negeri Melayu. Perkembangan ini semakin gencar di era millenium ke-3. Pada masa sebelumnya, para sastrawan lebih memilih ungkapan dalam bahasa perumpamaan, seperti roman Siti Nurbaya dan beberapa yang lain.

It’s Not Dream
Itu Bukan Mimpi

Suatu malam lepas kumengantar Sefney pulang, dadaku senang bukan kepalang, pikiranku menerawang ke cerita lalu yang pernah kami lalui berdua. Millan, sebuah kota moderen yang banyak membuat kami leluasa lampiaskan cinta. Perkembangan mode di kota itu menjadikan orang-orang di sana acuh kepada banyak pasangan kobarkan cinta. Kelompok mafioso cukup disegani banyak bekerja mendukung kehidupan hiburan kota. Orang-orang Lisbon, tempat tinggalku, tumpah ruah menghabiskan waktu liburannya di kota Italia itu. Tentu mereka umumnya mencicipi kesenangan dunia yang banyak disajikan perempuan pekerja hiburan malam, diskotik. Tidak ketinggalan, aku dan Sefney menyenangi kota itu untuk berlibur bersama.

Hari itu Sefney mendapat tugas kantor di Millan. Ia mengajakku menemaninya untuk beberapa malam. ”Boleh Sef, tapi engkau pergi lebih dulu,” kataku menyetujui.  Kami sepakat untuk tidur bersama di apartemen kelas menengah yang lumayan bagus. Malam itu juga Sefney lanjutkan perjalanan menuju kota itu. Hatiku harap-harap cemas mengingat perjalanannya, sendirian. Jelang pagi Sefney tiba di sana, dan langsung ke apartemen itu. Aku lega tatkala dikabarinya sekira pukul delapan pagi, keesokan harinya. "Aku tiba Zel," katanya kepadaku lewat telepon.

PELAYANAN APARATUR KABUPATEN


Hingga tahun 2002, aku sering mengunjungi beberapa kabupaten, untuk tugas-tugas tertentu. Secara umum, permasalahan kabupaten hampir sama di setiap kabupaten yang pernah aku kunjungi. Permasalahan utama masih dominan berkisar pada minimnya pelayanan aparatur. Setidak-sidaknya, begitu data yang diperoleh dari ekspose masing-masing kabupaten kunjungan tersebut. Beberapa kekurangan tingkat pelayanan aparatur dalam menjalankan administrasi kabupaten antara lain,
 
Aparatur sedang uapara
1.    1 Tidak tersedianya data base dalam bekerja dan tidak pula ter-update hasil kerja tahunan yang mencerminkan kinerja kabupaten
2.       Tidak mampunya pejabat kabupaten menyelenggarakan kewenangannya
3.       Pola pikir pejabat daerah yang masih mesti dilayani oleh publik
4.       Wawasan aparatur yang terkemas dalam konsep money oriented
5.       Tidak memiliki kompetensi dalam jabatan masing-masing
6.       Tidak respon terhadap masalah publik
7.       Tidak mampu menghadirkan solusi permasalahan publik di sektornya masing-masing
8.       Dan beberapa yang lain yang belum terdeteksi.

Tugas yang harus dilakukan adalah mempositifkan nilai negatif dari kondisi yang ada. Tugas inilah yang memerlukan strategi implementasi dengan mempersiapkan berbagai sumber daya manusia, termasuk kompetensi dan sikap responsibiliti.

SEJARAH ORGANISASI ALUMNI


Sejarah Cacat Organisasi Alumni

Wisuda FT, 1988
Sejak 2008, aku menemukan kesimpulan baru tentang batas keutuhan seuatu organisasi, meskipun organisasi dimaksud merupakan organisasi sosial yang sarat keterkaitan emosi kebersamaan masa lalu. Organisasi semacam ini biasanya handal dan mampu bertahan hingga emosi hubungan sesama pupus oleh sebab berbagai hal. Dengan kata lain kekuatan emosionalisme anggota mengalami kerapuhan di saat intervensi kepentingan parsial dominan menguasai, terlebih lagi pembiaran kondisi terus saja berlangsung. Kesimpulan ini merupakan kehendak alam yang harus lahir melengkapi teori sosial yang telah bahkan mungkin sudah pernah ada.

Ada baiknya, kondisi perjalanan alumni Fakultas Teknik Unsyiah dicermati dengan pendekatan ilmiah meskipun tidak memenuhi standar baku dari prosedur penelitian. Namun, kesimpulan yang diperoleh dapat memberi pengayaan bagi para pihak yang membutuhkannya. Bukankah berkali kalimat Alquran mengingatkan,”.....afala takfuruuun.....” atau “...afala takqiluuun...,” yang maksudnya dalam bahasa Indonesia,”.....apakah kamu tak berfikir,” “....apakah kamu tak berakal.....”.  Setidak-tidaknya, kalimat ilahiah tersebut dapat menggiring pemikiran semua untuk dapat menyimpulkan keadaan yang sedang dan bakal terjadi berdasarkan kondisi masa lalu. Penggalangan emosi almamater Fakultas Teknik Unsyiah dilakukan pada 1988 dan terzalimi pada 2008, oleh kehendak tendensius beberapa rekan senior. Artinya, dalam rentang waktu 20 tahun organisasi almamater mengalami pencacatan oleh kehendak emosi anggota alumni itu sendiri. Betapa ruh kebersamaan yang dilatarbelakangi pengakuan sesama terhadap sosok tertentu harus tercabik oleh sebuah hasrat menggebu dari kepentingan yang tidak jelas tujuannya, selain penyelamatan prestise yang tidak pada tempatnya. Mungkin banyak pihak tidak sependapat dengan kesimpulan ini meskipun dalam diam, tetapi tidak sedikit pula yang mengakui bahwa pendustaan yang dibangun telah mengikis ke-adiluhungan organisasi berbasis premordial serupa.

Banyak faktor yang menggiring kerusakan hubungan sesama alumni, yang paling dominan adalah i’tikat para anggota. Dalam dekade 25 tahun pertama, emosi alumni dikawal oleh nuansa ke-bapak-an para alumni senior yang saling menghargai sehingga di masa rentang waktu 1963 hingga 1988, banyak lulusan di berbagai instansi dan tempat menyempatkan hadir dalam pertemuan akbar kala itu. Tidak berlebihan jika disimpulkan, keterikatan emosi sangat besar dan mampu membangun opini khalayak, bahwa keberadaan alumni Fakultas Teknik Unsyiah siap mendukung berbagai tujuan rancang bangun infrastruktur di Aceh. Setelah para alumni senior terdahulu memasuki masa purna bakti, bahkan ada yang tutup usia termasuk korban bencana tsunami, kelompok tua bertukar dengan sosok baru. Aku kira alamiah juga adanya, usia tua manusia tidak menjamin pengendalian birahi untuk menguasai yang terkemas dalam penghalalan ketabuan. Ke-tidak ikhlasan senior untuk alih generasi turut memperberat jalannya organisasi, yang pada hakekatnya menghambat estafet organisasi. Tidak ada yang bertanggungjawab terhadap keterusikan emosi yang terjadi, selain pemakluman ketimuran.

Sebagian kawan berkesimpulan, bahwa Mubes Alumni pada 2008, merupakan kecelakaan sejarah melalui pencacatan organisasi para insinyur yang juga produk kehendak alam. Peranan para senior perekayasa untuk membangun pendustaan terlalu kuat berpihak kepada kepentingan yang tidak jelas tujuannya. Secara pribadi aku mencermati para politikus mubes yang berkeras menghadirkan sosok pimpinan bukan alumni Fakultas Teknik Unsyiah punya konsep tertentu yang belum layak tayang. 

Jumat, 29 Maret 2013

KISAH LAIN SOSOK ALUMNI

duduk kerabat, 27 Maret 2013

Pagi Jum’at, 29 Maret 2013, di Lamprit, Banda Aceh, mendadak Rachmat ditelepon Hasbi Armas dari Jakarta dengan tiga hal yang disampaikan. “Pertama Hasbi megeluh bahwa kawan-kawan tidak lagi mau mengangkat teleponnya,” kata Rachmat. Aku didampingi Saifullah, mahasiswa teknik angkatan 1999, mendengar cerita Rachmat tanpa komentar karena aku juga banyak dikabari rekan lain tentang hal itu. “Kedua dia minta tolong jualkan tanahnya untuk kau,” sambung Rachmat lagi. Aku mulai respon dan tersenyum menanggapi hal ini,” karena kita dianggap banyak duit,” sambungku sepintas. “Ketiga seputar rencana lustrum fakultas,” kata Rachmat sambil terkekeh. Lantas Rachmat banyak mengulas tentang dialognya dengan Hasbi yang menyita waktu kurang lebih satu jam. Merespon hal yang ketiga Rachmat berbicara keras sambil menyampaikan kepada Hasbi bahwa, “ini semua ulah kau dan kawan-kawan,” kata Rachmat dengan nada tinggi. Menurutnya, Hasbi membantah dan berkelit bahwa tak ada yang bantah ketika dia mengusul nama calon ketua yang bukan alumni, lima tahun silam. 
Rabu, 27 Maret 2013
Lantas Rachmat melanjutkan,”Hasbi sudah meminta kepada Is Samin agar sebuah koran memberitakan tentang kepemimpinan ketua alumni sekarang gagal.”  Menurut Rachmat, Is Samin menolak dengan alasan tuduhan negatif itu akan berpulang kepada mereka sendiri. Dalam nada keras, Rachmat mengatakan kepada Hasbi, ”jangan kau buat fitnah baru lah,” ungkap Rachmat berapi-api. Aku mendengar saja cerita Rachmat tanpa respon berarti karena aku tidak suka mendengar cerita alumni yang menurutku semakin tidak jelas tujuannya itu. Lantas, Rachmat mengulang lagi cerita kelakar bersama kawan-kawan di Harouk Cafe, Kedah, banda Aceh, malam tadi. Akhirnya,“Tidak ada ikatan alumni Fakultas Teknik Unsyiah, selain upaya penciptaan sejarah bersatu yang gagal andil birahi pendustaan,” simpul bersama dalam duduk kongkow-kongkow. 

Rabu, 27 Maret 2013

HARAPAN TIMSES


Harapan Timses

Pilkada 2007
Pada tahun 2007, takala aku ikut Pilkada berpasangan dengan Haji Subarni, beberapa kawan yang tergabung dalam tim sukses (timses) pasangan kami menyampaikan harapannya. Mereka datang menyampaikan hal itu masing-masing tanpa ingin diketahui orang lain. Aku tidak menyampaikan hal ini kepada Bang Subar, karena aku yakin beliau pasti marah mendengar hal serupa ini. Dalam diam aku menginventarisir harapan yang disampaikan untuk langkah ansipatif jika Bang Subar terpilih menjadi Bupati Bireuen. Kenyataannya, kami tidak terpilih dalam Pilkada 2006 itu dan aku masih dilibatkan dalam kabinet bentukan Bupati Nurdin. Keadaan ini menyempatkanku mengevaluasi catatan harapan para timses yang kuduga bakal terjadi pada Bupati Nurdin.
Pilkada 2012
Di tahun 2012, aku juga ikut Pilkada mendampingi H Husaini Prengko. Beberapa orang yang juga sering medampingi kami membisikan harapan seperti yang kudengar lima tahun silam. Mereka juga menyampaikan dalam waktu terpisah, takut diketahui Prengko. Aku melihat catatan lima tahun silam tersebut untuk kukoreksi, mungkin saja ada penambahan. Ternyata tidak, permintaan masih seperti lima tahun silam. Artinya, pola pikir sebagian kawan dari timses masih sama seperti yang dulu.
Massa H Subarni, 2007

Meskipun tidak pernah aku persalahkan, harapan timses kepadaku selaku calon bupati dan wakil, sesuai yang aku dengar di tahun 2006 dan 2012,   masih berkutat pada isue kepentingan kelompok atau pribadi, yakni :

  • §  Proyek atau pekerjaan yang dibisikkan oleh kawan-kawan yang berbasis kontraktor
  • §      Jabatan, dibisikkan oleh kawan-kawan pendukung yang berasal dari kelompok aparatur
  • §      Uang, dimintakan oleh kawan-kawan yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan mengharapkan dengan berperan sebagai timses mereka telah mendapat pekerjaan
  • §  Mendapatkan pekerjaan permanen, dibisikkan oleh kawan-kawan yang memiliki ijazah tetapi belum bekerja
  • §     Hubungan berkelanjutan, dibisikkan oleh rekan yang memiliki status sosial di lingkungan publik
  • §  Rekomendasi, dibisikkan oleh kawan-kawan yang berkebutuhan terhadap dukungan untuk mendapatkan relasi ke berbagai pihak.

 
Massa Pengantar KTP ke KIP, 2012
Aku senang mendengar apa yang mereka sampaikan meskipun tidak mungkin dan sulit untuk aku realisasikan jika terpilih, karena aku milik semua orang. Namun aku catat harapan kawan-kawan itu sebagai tantangan yang harus kuselesaikan dengan berbagai strategi penyelesaian. Oleh karena itu, aku tidak pernah meminta kepada para kerabat agar memilihku dalam Pilkada. Beberapa rekan merasa kecewa terhadap sikapku, namun penelitian perubahan mindset lebih utama dan penting untuk pembelajaran kepada semua. “Menolong lebih baik dari pada meminta tolong,” bisik hatiku yang bertahan dalam dua kali Pilkada Bireuen.

Selasa, 26 Maret 2013

POLA PIKIR

Tatkala menghindar dari Pola Pikir
Menyergap Pola Pikir

Menurut pasangan peramu kehidupan yang menjadi ikon bagi khalayak sekitar kota pesisir dalam kisah Sisilia,  Deborah Stefaney dan Rudolf Illinois,  2007,  pola pikir merupakan”suatu proses olah akal yang terbentuk melalui suatu penilaian pada diri seseorang sehingga melahirkan kebiasaan yang membentuk perspektif dalam menyimpulkan sesuatu. Penemuan mereka yang semakin diyakini semakin memaknai kondisi kekinian, kian menempuh aspek teoritis proses belajar mengajar di lingkungan publik.

 Islam telah mampu membangun tiga konsep besar yang membumi pada era keemasannya dahulu. Konsep self ideal (diri ideal) yang  terbangun melalui sosok idola Muhammad SAW  menjadikan Islam sebagai suatu cita-cita kebenaran  dan mendapat pengakuan dari berbagai pihak baik kalangan Muslim maupun non-muslim sehingga sulit terpisahkan dari informasi sejarah bahwa kegemilangan pada masa itu merupakan produk kinerja sebuah kharisma Rasul yang sempurna itu. Seperti disaksikan hingga saat ini, kebesaran nama Muhammad tak tertandingi dengan jumlah pengikut yang kian bertambah. Indikasi ini jelas terlihat pada peningkatan jumlah jamaah haji dan umrah dari tahun ke tahun. Hasrat berziarah ke kota kelahiran manusia agung itu ditambah dengan ziarah ke maqamnya cukup memperkuat argumen bahwa sosok Muhammad dicintai ummatnya sepanjang waktu.  Begitu yang tersirat dari kondisi itu tentang keberhasialan Muhammad mejadikan dirinya sebagai sosok ideal bagi seluruh ummat manusia.

Selanjutnya pada strata konsep self image (citra diri) yaitu suatu kondisi di mana komunitas muslim mampu bercermin kepada dirinya sendiri atau dengan kata lain kehadiran ajaran ini menjadi alat ukur terhadap perilaku ummat. Sejarah membuktikan bahwa konsep ini telah merubah cara pandang komunitas jahiliyah masa itu menjadi suatu bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Eksistensi Islam yang dibawa Muhammad mampu mengungguli berbagai peradaban terdahulu dan menjadi tempat perlindungan kaum tertindas kala itu. Persoalan cukup mendasar, menganggap rendah kaum wanita yang mewarnai seluruh  peradaban dunia, seperti peradaban jahiliyah, Persia, Romawi, Yahudi, dan lain lain, dapat dipupuskan dengan ajaran baru itu, yaitu Islam. Masih banyak lagi perubahan berbasis kepentingan ummat yang terjadi  di tengah masyarakat saat itu. Kondisi ini semakin mengharumkan ajaran Islam dan mampu meyakinkan ummat bahwa kelahirannya sebagai solusi dalam menjalani kehidupan. Kepercayaan berbagai negeri terhadap kehandalan peradaban Islam meningkatkan daya tarik tersendiri bagi penyesuaian konsep peradaban yang telah mentradisi. Indikasi ini tercermin dengan maraknya kegemilangan wilayah kekuasaan Islam yang mewarnai sejarah dunia. Begitulah pencitraan ajaran Islam yang terbangun masa itu.

Tidak hanya itu, yang ke-tiga adalah konsep self esteem (harga diri), yaitu suatu kondisi di mana ajaran Islam menjadi alat ukur kelayakan berbagai ajaran. Sebagai suatu ajaran yang mengutamakan rahmat bagi semesta alam, tanpa perbedaan, menyeluruh, dan dapat diterapkan ke berbagai komunitas, tak jarang nilai-nilai ke-Islaman diakomodir untuk memperkuat ajaran tertentu meskipun tanpa mengimaninya. Lebih dari itu, Islam mengajarkan seluruh komponen alam mendapat porsi dalam perlindungannya yang dibangun berdasarkan konsep bahwa, “tiada yang sia-sia dari cipta-an Allah”. Dengan pemahaman terhadap penghargaan bagi seluruh komponen alam ini, nilai ajaran Islam secara otomatis  tergiring  ke dalam suatu penilaian di mana ajaran ini memiliki nilai tinggi di mata ajaran lain. 

Sabtu, 23 Maret 2013

KETIKA IBU WKIL BERKOMENTAR



Tatkala Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza, mengekspose melalui Serambi Indonesia (21/03/2013) dengan topik “Free Sex Rambah Banda Aceh,” banyak kalangan masyarakat kelas bawah mengomentari, setidak-tidaknya begitu yang terlihat di warung kopi Kuala Simpang. Bu Illiza beralasan bahwa anak-anak pelaku  sex bebas tersebut berasal dari keluarga broken home. Suatu hal dari beberapa yang dituntut GP Ansor dalam pertemuan itu, yakni jangan jadikan syariat Islam hanya sebagai alat pencitraan belaka.  Dalam ekspose berita hari itu, Wakil Walikota Banda Aceh yang juga kaum perempuan menjelaskan, bahwa anak-anak yang terjerumus ke dalam bisnis free sex itu mengaku berasal dari dua daerah di pantai timur Aceh, tanpa menerangkan daerah mana yang dimaksud. Di akhir berita, Serambi Indonesia menulis sumpah Bu Illiza, yakni “demi Allah kami bersungguh-sungguh dalam penegakan syariat Islam di kota ini,” katanya menutupi. 

Membaca berita itu, aku meyakini bahwa Wakil Walikota Banda Aceh didesak peserta pertemuan untuk bertanggungjawab terhadap pelanggaran syariat Islam yang terjadi di Kota Banda Aceh. Di sisi lain, tidak layak pula kesalahan terhadap pelanggaran yang terjadi dibebankan kepada pemerintahan kota. Namun, dari jawabannya, terkesan adanya pelimpahan kesalahan kepada warga dua daerah lain yang mencemari Kota Banda Aceh. Orang-orang di warung kopi pagi itu bergumam, bahwa warga Banda Aceh jauh dari pelanggaran seksualitas dan tidak tercemar oleh budaya free sex.

Dari pemberitaan itu, aku menyimpulkan, ada dua alasan terjadinya free sex di Banda Aceh, yakni faktor broken home dan penularan dari warga luar daerah. Aku kurang sependapat dengan tudingan semacam ini karena akan membangun imej buruk terhadap warga daerah tertentu. Jika berfikir cerdas, mestinya banyak pihak yang dapat dikaitkan dengan kondisi yang semakin menggejala itu. Aku juga meyakini bahwa gejala ini tidak akan selesai dengan saling tuding serta melimpahkan persoalan kepada pihak lain. 

KE TENGGULUN


Tenggulun, 230313

Sabtu pagi, 23 Maret 2013, aku bersama Bupati Tamiang dan rombongan mengunjungi Kecamatan Tenggulun, melihat ketersediaan air irigasi untuk mengairi persawahan. Kecamatan itu lumayan jauh ke bagian selatan kabupaten kaya potensi alam tersebut. Perjalanan pun cukup melelahkan, di samping debu yang menutupi jarak pandang, juga jarak tempuh yang relatif jauh. Kondisi bendungan yang dibangun tahun 1985 cukup meyakinkan untuk mengairi persawahan yang terindikasi sampainya aliran air ke tujuan. Menurut warga di sana, sawah yang tersisa sekitar 250 hektar dari luasan 900 hektar yang direncanakan. Dalam perjalanan pulang, aku berhenti di sebuah warung nasi, menunggu rekan-rekan yang tertinggal. Aku merasa tersinggung karena beberapa kawan menyatakan warung itu milik seseorang dari kawasan tempat aku bekerja dulu, Lhokseumawe atau Bireuen. Melihat suasana warung itu aku maklum, bahwa rekan pemilik warung ingin menyendiri di dataran tinggi tersebut tak, sudi diganggu rekan lain. Namun hatiku berbisik, "mentang-mentang buka usaha baru, aku tak dikabari."  Aku juga sempat shalat berjamaah di Kampung Selamat yang besajadahkan pesona ornamen. Menarik juga gambar di sajadah itu, namun aku masih berfikir tentang kemungkinan alas shalat itu sumbangan pemilik rumah makan itu.

Kampung Selamat, 230313

Jumat, 22 Maret 2013

WISATA KULINER TAMIANG

Suasana Warung Alvin, 220313

Warung ikan bakar yang baru dioperasikan beberapa minggu di lintasan jalan Banda Aceh-Medan itu terlihat ramai dikunjungi. Pasalnya, tempat itu bukan hanya menjual ikan bakar saja, tetapi juga ikan segar untuk kebutuhan rumah tangga. Banyak kaum ibu datang ke tempat itu untuk memilih ikan segar dengan harga terjangkau. Warung itu bernama "Alvin," yang bertempat di Desa Kedai Besi, dengan menempati dua pintu toko baru berlantai dua. Aku sudah beberapa kali makan malam di Warung Alvin bersama Bupati Hamdan dan beberapa kawan lain. Ketertarikanku jelas, karena ikannya segar dan lauk campurannya pun lumayan dari segi cita rasa. Aku meyakini, kehadiran warung yang dibuka pada sore hingga malam hari ini memperkuat aspek wisata kuliner di Kabupaten Aceh Tamiang sejak Maret 2013.  

Penjualan ikan segar warung Alvin, 220313

POHON LENGKENG

Pohon Lengkeng, 220313

Aku lihat di Karang Baru (22/03/2013), Tamiang, ada pohon buah lengkeng yang berbuah. Pohon itu tumbuh di belakang rumah makan bercirikan Melayu. Aku lihat pohon yang langka berbuah di tempat-tempat lain tersebut, berbuah meskipun jarang. Ada keprihatinan tatkala aku melihat pohon itu, yakni daunnya yang berlubang-lubang kering. Aku berfikir, bahwa pemilik pohon berbuah mahal tersebut tidak memperoleh informasi tentang pengobatan penyakit yang menyerang. Di tempat lain, aku pernah juga melihat pohon yang sama tapi tanpa buah.  

Kamis, 21 Maret 2013

DI WARUNG 18 CAFE

Warung 18 Cafe, Langsa, 20 Maret 2013

Rabu, 20 Maret 2013 malam, aku diundang Zul Melodi untuk datang ke Warung 18 Cafe di Langsa. Di cafe itu pada malam Kamis dan Minggu diadakan live music oleh grop band di bawah bimbingan Bang Anto Langsa. Aku pergi ke sana bersama Rachmat, Bang Sarif, Hendra dan Awi. Memang kami terlambat datang ke tempat itu, sekira pukul  22.00 WIB. Sementara penutupan acara dibatasi pada pukul 23 WIB, sesuai aturan yang disepakati antara pengalola cafe dengan petinggi desa. Setiba kami di tempat itu, Zul yang sedang membetot bass guitar menyambut dari jauh dengan lambaian. Kami duduk dan minum kopi sambil menikmati alunan suara penyanyi Kota Langsa. Jelang akhir acara, Bang Wan, MC dan juga penyanyi di grop itu memanggilku untuk berpartisipasi menyumbangkan lagu. Aku agak canggung juga untuk tampil memenuhi permintaan itu. Namun, karena orang-orang sekeliling melihatku, percaya diriku hadir mendukung tampilan. Zul membisik agar aku menyanyikan lagu Pergi Untuk Kembali, versi Ello. 

PASAR PAGI KUALA SIMPANG

Razuardi Ibrahim  dan Rachmat di Pasar Kuala Simpang, 200313
Pagi, Rabu (20/03/13), aku dan Rachmat diperintahkan Bupati Hamdan Sati untuk meninjau pasar pagi Kuala Simpang. Banyak laporan yang disampaikan beberapa pedagang perempuan di sana. Aku, Rachmat, Bang Syarif dan Bang Adek berkeliling ke seluruh areal pasar yang memang sudah tertata. Pedagang di tempat itu mengharapkan kepada kami agar pasar dibersihkan dari sampah yang berserakan. Lalu seorang wanita penjual sayur di lantai dua mengusung protes kepadaku, "masak kami saja yang jualan di sini, orang-orang lain dibiarkan jualan di bawah," katanya sambil memperlihatkan banyak lapak kosong di sekitarnya. "Mana mungkin laku dagangan kami di sini," keluhnya kepadaku. Selanjutnya, beberapa pedagang pria juga mengeluh tentang lantai lorong-lorong yang rusak tanpa perbaikan. Tidak cukup dengan keluhan itu, mereka juga berharap agar adanya toilet yang representatif di tempat keramaian itu. Para pembeli-pun memiliki keluhan tersendiri terkait kondisi areal pasar, "pasar ini sudah kumuh sejak lama," ungkap seorang ibu muda di sela ke-asyikan menawar ikan segar.
Pintu gerbang pasar pagi, 200313

Menurut pengamatanku, areal itu cukup baik, terindikasi dari daya tampung pedagang kecil dalam jumlah yang relatif besar. Namun beberapa keluhan yang disampaikan beberapa pedagang dan pembeli bukanlah hal luar biasa, meskipun tidak layak untuk diabaikan. Aku dan Rachmat mencari warung kopi untuk rehat dan menyimpulkan keadaan seputar pasar tersebut. Kami mencoba mengungkap kondisi sebagaimana informasi yang kami terima dan saksikan. 
Suasana pasar pagi
Kuala simpang, 200313
Persoalan pertama, yakni permasalahan manajemen pengelolaan pasar yang lebih menuntut pembenahan dalam pengaturan orang-orang berjualan. Kedua, meliputi pemenuhan prasarana pendukung kinerja pasar yang dalam hal ini lebih berorientasi kepada penyediaan prasarana-sarana sanitair, seperti WC, bak sampah, air bersih, saluran dan lain sebagainya. Ke-tiga, sentuhan artistik yang meliputi penciptaan daya tarik pasar baik di gerbang masuk maupun penutupan ruko bertingkat dengan gambar atau iklan menarik pada bahagian tertentu yang memberi kontribusi terhadap kesan kekumuhan. Ke-empat, yakni pembenahan sistem penghawaan dan pencahayaan.  

RENOVASI PENDOPO TAMIANG

Sketsa renovasi eks kantor Kewedanaan Kuala Simpang karya Rachmat, 2013

Renovasi Pendopo Tamiang

Pada tahun 1908, dengan berlakunya Staatblad No.112 tahun 1878, maka wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuverment Aceh en Onderhoorigheden. Maksudnya adalah, Tamiang berada dibawah status hukum Onderafdelling. Dalam Afdeling Oostkust Van Atjeh (Aceh Timur) beberapa wilayah Landschaps berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder, dengan status hukum Onderafdelling Tamiang, termasuk wilayah-wilayah, Landschap Karang, Landschap Seruway/Sultan Muda, Landschap Kejuruan Muda, Landschap Bendahara, Landschap Sungai Iyu, dan Gouvermentagebied Vierkantepaal Kualasimpang.
Rachmat, 200313
Sejak tanggal 2 Juli 2002 Aceh Tamiang resmi sebagai kabupaten yang berdiri sendiri berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2002 tertanggal 10 April 2002. Kondisi hingga Maret 2013, pendopo tempat kediaman Bupati Aceh Tamiang belum tersedia meskipun di kabupaten ini banyak peninggalan bangunan masa kolonial dulu. Untuk memenuhi simbol keberadaan pemerintah di kabupaten paling timur Aceh ini, Bupati Hamdan Sati berencana memanfaatkan, bekas kantor kewedanaan yang juga bangunan peninggalan kolonial tersebut untuk dijadikan pendopo sehingga tidak membebani anggaran belanja daerah yang relatif besar. Kondisi ini disambut positif oleh berbagai kalangan mengingat jika tanpa pendopo, tentu pemerintah daerah akan membiayai anggaran sewa rumah untuk kepala daerah secara berkelanjutan.  Begitupula jika membangun baru, anggaran belanja daerah akan terbebani dengan biaya pembangunan pendopo yang relatif besar.  
Aku terlibat diskusi tentang bangunan ini bersama Bupati Hamdan dan Rachmat untuk membangun batasan perencanaan dalam rangka pilihan renovasi bangunan yang berusia ratusan tahun tersebut sehingga tidak menghilangkan nilai-nilai arsitektur masa lalu. Mengingat kebutuhan kegiatan pemerintahan yang relatif banyak dan beragam, bangunan heritage tersebut perlu penambahan ruang baru pada bagian tertentu, namun tetap memperhatikan batasan arsitektur yang ada.
Kediaman Controleur pada masa kolonial
yang direnovasi Rachmat
Rachmat merupakan sosok arsitek yang dipercayakan Bupati Aceh Tamiang, Hamdan Sati, untuk membuat konsep renovasi rumah kediaman Controleur Belanda yang banyak diceritakan dalam sejarah. Untuk mendapatkan literatur pendukung perencanaan, Rachmat membutuhkan waktu sekira bulan. Desain renovasi yang dibuatnya diperlihatkan untuk pembahasan dari aspek sejarah dan arsitektur pada 20 Maret 2013.

SASTRA NGANGA

butir-butir nganga
nganga ternganga

banyak lukisan nganga di dinding itu
cermati hingga maghrib
menantang sosok memaknai
tak pun rela kedib hampiri
yang coba pupuskan terawang
terlintas aroma segar
sayup bergelombang
lazim membasahi
di antara joli kendi
yang katanya mulai kerontang
andil nakal bocah gemas
yang terbahak tatkala dikejut
ah, lamunan
butir-butir kopi dari Gayo nyata
bungkam alunan gejolak
dalam lolong masa belakang



Selasa, 19 Maret 2013

PELESTARIAN KESYIRIKAN

Pagi, Rabu (20/03/13) di Arya Hotel, aku dan Rachmat nonton berita di TV One yang menayangkan berita seputar Indonesia. Tapi yang menarik, Rachmat mengungkap tentang kecerdasan presenter di acara itu seraya dia mengungkap,"adakah orang Banda Aceh secerdas presenter itu," katanya. Rachmat melanjutkan komentar bahwa sosok presenter itu cerdas, komunikatif, ramah, dan berbagai lebel positif lainnya terkait imej ketangguhan sosoknya. Aku dan Rachmat sepakat, bahwa banyak sosok serupa yang kita jumpai di Jakarta, tempat tinggal Rachmat. Pertanyaan tergiring kepada mengapa di tempat kita sosok seperti ini langka berkelanjutan. Rachmat menyatakan, kelangkaan ini akibat pendidikan yang kurang atau ada akibat lain yang belum terungkap. Tapi satu hal yang disampaikan oleh Rachmat bahwa masyarakat kita masih terjebak dalam masalah kecil yang selalu dibahas berulang tanpa solusi. "Dan juga selalu menyalahkan sosok lain tanpa mengetahui persoalan," sahutku menyela. "Iya, terkadang masih susah melihat orang senang," sambung Rachmat lagi. Akhirnya kami menyimpulkan, kondisi masih berkutat seputar pelestarian kesyirikan, yang juga merupakan sifat manusia. Sesungguhnya sifat manusiawi akan berubah seiring perjalanan budaya massa.   

Senin, 18 Maret 2013

GEJALA TULAK ANGEN MEULABOH

salah satu tulak angen karya Rachmat, 2004


Penggejalaan Tulak Angen Di Meulaboh

Tulak angen merupakan segitiga penutup tombak layar yang dibuat dengan  Penggunaan tulak angen pada rumah-rumah moderen di Meulaboh dimulai pada 1989. Pada masa itu Bupati T Rosman meminta Rachmatsyah Nusfi untuk menambah teras kantor bupati yang bercirikan Aceh karena bentuk kantor yang ada lebih mencirikan arsitektur kantor yang standar seluruh Indonesia. Rachmat menyentuh bagian pintu utama kantor itu dengan mengekspose tulak angen beserta dudukannya. Oleh karena perubahan yang terjadi terhadap imej bangunan kantor tersebut berubah seketika dan mengagumkan maka para pemilik rumah-rumah indah di sana berusaha melengkapi rumah masing-masing dengan tulak angen.   Sejak saat itu penggunaan tulak angen pada rumah-rumah tinggal menggejala di Meulaboh.

Sabtu, 16 Maret 2013

UNDAK-UNDAK BAITURRAHMAN


Undak-undak Baiturrahman

Mesjid Raya Baiturrahman, 1989

Undak-undak pada bahagian depan mesjid masih menjadi trend pada bangunan mesjid di Aceh. Banyak kalangan desainer mesjid di Aceh mengakui, bahwa undak-undak atau tombak layar berjenjang, merupakan tradisi arsitektur Eropa yang berkembang di awal abad-18, khususnya Belanda. Tradisi Eropa ini bukan untuk bangunan mesjid atau bangunan keagamaan lainnya, tetapi lebih digunakan untuk memperkuat ciri bangunan rumah tinggal atau ruko. Namun pada kenyataannya, setelah bentuk undak-undak ini terinfiltrasi ke Aceh pada bangunan Mesjid Raya Baiturrahman pada 1879, kemegahannya menjadi tolok ukur dalam tampilan mesjid baru pada umumnya.
Mesjid Agung Bireuen, 2013
Pada awal 2013, aku mengevaluasi kembali tentang penggunaan undak-undak pada mesjid kabupaten-kota di sepanjang lintasan jalan nasional Banda Aceh-Medan. Karena aku awam dalam istilah sentuhan arsitektur, tombak layar berjenjang ini aku namakan saja dengan Undak-undak Baiturrahman. Tidak jarang aku mampir shalat pada mesjid yang tengah dibangun dengan menggunakan langgam Undak-undak Baiturrahman sambil mencermati perbedaan kenikmatan pandangan dari beberapa. Ada yang indah menurutku serta beberapa komentar masyarakat pemerhati, setidak-tidaknya dalam ukuran ketertarikan komunitas awam sepertiku. Tidak sedikit pula yang kurang menarik dalam ukuran ketertarikan seperti di atas. Tentu aku berusaha menyimpulkan dari apa yang kusaksikan terhadap keberadaan mesjid berlanggam seperti ini dengan tujuan sharing bagi yang memerlukan. Perhatianku ini lebih kepada menjawab pertanyaan beberapa rekan yang tidak setuju terhadap pembongkaran bahagian depan atau keseluruhan dari mesjid hanya dengan alasan “kurang pas.” Kondisi kurang pas yang dimaksudkan ini lebih dapat diartikan kepada tidak menariknya mesjid tersebut setelah ekspresi undak-undak gagal meningkatkan daya tariknya. Kejenuhan dari kondisi akibat tingginya espektasi yang terjadi berdampak kepada bongkar, renovasi atau rehabilitasi  mesjid tertentu.
Undak-undak bangunan Eropa, 1800an
 Aku pernah menjadi panitia pembangunan mesjid di beberapa tempat di Banda Aceh, Lhokseumawe dan Bireuen. Aku memperhatikan pada saat membahas masalah bentuk atau arsitektur mesjid tertentu, para panitia saling berdebat menurut pemahaman masing-masing.  Masing-masing melapor tentang indahnya suatu mesjid di daerah tertentu dan mengintervensi kelompok diskusi untuk mengkomodir pengalamannya. Dari beberapa kepanitiaan yang aku ikuti, setelah debat kusir berkelanjutan tanpa arahan yang jelas, terjadi friksi dalam panitia panitia tersebut dan tidak jarang pula panitia bubar sebelum desain mesjid terwujud. Umumnya, mereka berdebat tentang gerbang mesjid yang kebanyakan memilih bentuk Undak-undak Baiturrahman. Ada persoalan lain tatkala mesjid ber-undak Baiturahman itu mulai dibangun dan terlihat bentuknya, yakni penilaian tentang bentuk mesjid yang hadir di tempat itu. Tampilannya tidak seperti yang disaksikan pada mesjid lain bahkan Mesjid Baiturrahman sendiri. Artinya, undak-undak yang ter-mindset sarat kemegahan dan keindahan, tampil tidak seperti yang diharapkan. 
Mesjid Batuphat Timur Lhokseumawe, 2013
Dalam evaluasi tanpa dasar akademis yang aku lakukan, aku berkesimpulan sementara bahwa keindahan undak-undak sangat dipengaruhi oleh kondisi proporsional, kemiringan, keterpaduan antar elemen, ornamen, bahan dan mungkin saja masih ada beberapa yang lain. Meskipun begitu, hingga awal 2013, keinginan masyarakat tertentu, masih terobsesi membangun mesjid dengan mengacu kepada arsitektur Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, tanpa memperhatikan batasan keindahan yang harus dipenuhi.

Mesjid {Peureulak, 2013
Aku tertarik mencermati kasus ini sejak tahun 1990-an, lebih dikarenakan ketidak-setujuanku tentang membongkar untuk merehab mesjid yang tiada henti akibat ketidak-puasan jamaah tertentu. Konsekuensi perlakuan ini tentunya menggiring nafsu kepada kondisi pemborosan belaka. Sementara, konsep arsitektural yang dipersoalkan seputar kemegahan mesjid lewat tradisi Eropa yang memang terinfiltrasi dan berkembang di saat desain arsitektur mesjid di Aceh masih terkekang dalam bentuk-bentuk tradisional. 

Mesjid Caleue Pidie, 2013

Jumat, 15 Maret 2013

MENGINGAT PKA

Pentas Utama PKA-4, 1988


stand Aceh Barat, 1988 
Pekan Kebudayaan Aceh yang digelar dalam rentang waktu 5 tahun sekali, merupakan pesta seni budaya yang bertujuan untuk mengangkat dan mengkonservasi kekayaan bangsa dari  aspek tersebut. Sejak tahun 2004, PKA Ke-4, pehelatan ini dilaksanakan di Taman Sultanah Safiatuddin, yang juga merupakan sebuah taman untuk mengenang seorang Ratu Aceh yang pernah berhasil memimpin Aceh sejak 1641-1672. Taman ini dibangun pada masa Gubernur Aceh dipimpin Abdullah Puteh. Aku menyaksikan pada 2004, Ibu Marlinda Abdullah Puteh intens mengawasi persiapan kabupaten kota di tempat itu. Beberapa kegiatan utama PKA, biasanya meliputi pawai budaya, pameran, seminar budaya, gebyar seni, permainan rakyat, atraksi budaya, anugerah budaya, pasar wisata dan seni, tour wisata, kenduri rakyat dan renungan malam budaya. PKA pertama kalinya digelar pada tahun 1958, dalam kondisi sarat keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran. Namun kehendak yang kuat pada masa itu, PKA berhasil diselenggarakan dan mampu menjadi event berkala di Aceh.  

stand Aceh Tenggara, 1988
stand Aceh Selatan, 1988
 
Stand Aceh Timur, 1988
stand Aceh Utara, 1988



SASTRA SLIP



slip terslip

slip yang lupa
guncangkan kabar terslip
slip pagi binar-binar
katanya slip dalam tanya

sarankan simpan slip
slipkan di tempat bisa
yang bisa slipkan semerbak slip
karena terbawa slip

dia punya slip
untuk umpatkan slip
hanya takut rusak slip
padahal slip biasa terslip dalam slip

130313

JANJI JUTA JATI JITU


Janji Juta Jati, Jitu

razuardi ibrahim di kebun jati percontohan, 2009 
Di tahun 1999, aku membeli 50 batang bibit jati emas dari seorang kawan yang juga membuka usaha di bidang itu.  Promosinya terhadap masa depan ekonomi dari kayu kualitas tinggi itu cukup mengagumkan. Katanya waktu itu, dalam 15 batang yang kita tanam, dalam waktu tujuh tahun kita dapat menunaikan ibadah hajji yang waktu itu ongkosnya sekitar 20-an juta per-orang. Diperlihatkannya juga perhitungan investasi dan penjualan komoditas jati itu. Memang cukup meyakinkan bagi para pembaca, apalagi aku yang awam dalam hal ini. Tanpa berharap banyak dari apa yang diceritakan teman itu, aku beli juga dengan harga 18 ribu rupiah per bibit seukuran tinggi 20 cm yang disemai dalam polybag. Setelah dia melihat lokasi tanam di dekat rumahku di jalan Line Pipa, Desa Padang Sakti, Lhoksewmawe, dia meyakini tempat ini sangat cocok untuk tanaman jati. “Karena tanah ini banyak mengandung kapur,” kata temanku itu. Lalu aku meminta tolong Tgk Tarmizi yang tinggal di kebun abang iparku itu untuk menanam bibit jati yang baru kubeli dan masih segar.
jati yang dipanen, 2013 
Kami menanam semua jati tersebut di pertengahan tahun 1999, setelah membersihkan lahan itu terlebih dahulu. Hampir setiap hari aku dan Tgk Tarmizi datang ke kebun untuk melihat-lihat jika ada ternak besar datang memporak-porandakan tanaman jati tersebut. Pertumbuhannnya cukup lumayan, terlihat daunnya lebar dan hijau kelam. Setiap ada cabang yang tumbuh, kami potong sesuai anjuran penanaman, agar pertumbuhan meninggi dan tidak bercabang-cabang. Pada tahun 2002 aku pindah ke komplek PT Arun Batuphat, karena aku berangkat ke pendidikan Diklatpim II di Jakarta, selama tiap kurang lebih 2,5 bulan.  

Pada tahun 2009, kira-kira usia tanaman sudah mencapai 10 tahun, aku pergi ke kebun tersebut untuk mengevaluasi tingkat pertumbuhannya. Dari evaluasi yang aku lakukan, batang jati yang hidup hanya 48 batang dan mati 2 batang. Diameter batang terbesar hanya terdiri dari 2 batang, yakni berdiameter kurang lebih 30 cm. Batang yang berdiameter 10 cm, juga tidak dominan yakni 2 batang saja. Selebihnya 44 batang lagi, diameternya berkisar antara 15 hingga 20 cm saja dan tingginya terbatas pada 5,5 meter. Semua batang jati itu kutebang pada bulan Juni 2012 dengan usia 13 tahun.  Ujicoba ini memberi pengetahuan tambahan bagiku, bahwa tidak serta merta promosi ekonomi menjanjikan mendekati harapan.