Jumat, 31 Oktober 2014

BANTUAN RAWAN

Bantuan Rawan

Kebiasaan membantu pihak lain baik berupa barang hidup maupun mati, sudah mentradisi di kalangan masyarakat Aceh sejak lama. Indikasi ini tidak sulit disaksikan di berbagai tempat, seperti pemberian kepada peminta-minta, sumbangan tempat ibadah, anak yatim, sumbangan acara, dan lain sebagainya. Namun demikian, ada suatu ciri elemen sistem tak boleh dibantu, yakni manakala setiap masalah yang timbul dari bantuan itu dipersoalkan kepada pemberi bantuan. Memang sulit mencermati kebenaran peminta bantuan sesungguhnya selain mendengar keluhan yang disampaikannya. Terlebih lagi dengan linangan air mata seraya mengungkap tanggung-jawabnya memelihara anak yatim, tidak makan selama seminggu, dan lain sebagainya. Isu keprihatinan serupa ini cukup cepat mendapat respon dari masyarakat Aceh dan terpola dalam suatu keharusan sesuai kemampuan. Pernah terjadi tatkala aku di SMA dulu bersama beberapa rekan yang berlebel santun dalam keluarga terhormat. Satu di antaranya cukup terpilih untuk memenuhi syarat sebagai anak baik tanpa dosa. Suatu kali ianya meminta sedikit uang kepada rekan yang lain untuk membeli peralatan sekolah dan diberikan. Dengan bantuan itu, dibelikannya minuman beralkohol yang masih langka diminum para siswa kala itu. Tatkala guru dan orang tua mengetahui, dengan serta merta kerabat itu mengungkap rekan lain yang memberi bantuan, ditambah sedikit rekayasa fitnah. Artinya, dalam ketulusan bantuan masih terselip ancaman. Dengan demikian, benarlah Islam yang mengajarkan bahwa harta, anak, jabatan, dan lain sebagainya merupakan fitnah.


BUDAYA PEUJAMEE



Hari Anak Nasional Indonesia, 2014
Budaya Peujamee

Budaya peujamee juga merupakan tradisi masyarakat Aceh secara umum. Kebiasaan ini mudah tersaksikan manakala datang seseorang atau sekelompok dari tempat yang jauh untuk berkunjung ke rumah kerabatnya di lain tempat. Lantas pemilik rumah sibuk mempersiapkan masakan untuk suatu perjamuan sesuai kemampuannya. Tujuannya adalah agar tamu yang datang tidak lagi berpersoalan dengan jadwal makan. Kalimat yang lazim terucap dari pemilik tempat atau rumah, “ta pajoh khauri meu dua neuk, peu-peu nyang mudah,”. Pengakuan beberapa orang-orang tua, tradisi ini telah mengantarkan kerukunan antar warga di Aceh sejak abad ke-15.


ASAL ACEH


Tarian Teuku Umar 

Asal Suku Aceh


Beberapa hari kemarin, masih di bulan Oktober 2014, aku mendengar lagi tentang asal orang Aceh dalam sebuah pidato sosok elite. Katanya, Aceh itu berasal dari Arab (A), Cina (C), Eropah (E), dan Hindia (H). Pemahaman ini telah berkembang cukup lama dan pertama kali aku dengar di tahun 1970, tatkala aku masih di kelas 3 sekolah dasar. Tiada yang bantah anggapan itu, sementara aku pernah mendengar diskusi keliru itu tatkala ejaan diperdebatkan. Masa itu tulisan Aceh adalah Atjeh sehingga perdebatan asal suku Aceh ini menjadi Arab (A), Turki (T), Jaman (J, maksudnya Yaman), Eropah (E), dan Hindustan(H). Secara pribadi, kemarin aku coba luruskan sendiri dengan pertanyaan, “kapan orang-orang menggunakan singkatan untuk mengungkap sesuatu?”. Untuk tidak terlalu memusingkan kepala, aku batasi saja tradisi menggunakan singkatan menggejala secara mendunia ketika perserikatan bangsa-bangsa di bentuk pada 24 Oktober 1945. Waktu itu masyarakat dunia telah mengenal nama lembaga itu dengan UNO, yakni singkatan dari United Nations Organization. Sementara, nama Aceh sudah populer jauh sebelum kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam, di abad ke-17. Dengan demikian tiada alasan untuk memperdebatkan singkatan kata Aceh sebagai asal usul suatu suku  di Indonesia, tanpa dilandasi sejarah yang konkrit. Minimal upaya ini dapat mencegah pembiaran suasana kontra pencerdasan generasi yang terjadi selama ini, khususnya bagi lingkungan elite tertentu.  

YANG TERMEMALUKAN

protes wakil rakyat, Oktober 2014

Sejak pelantikan anggota DPR-RI, banyak peristiwa yang tidak layak ditonton publik seputar ekspresi wakil rakyat di gedung terhormat, Jakarta. Terakhir, atraksi yang disaksikan publik yakni penjungkir-balikan meja di ruang sidang. Banyak komentar di media massa yang menyayangkan peristiwa tersebut,"cukup memalukan," ujar masyarakat yang menyaksikan. Namun aku berusaha mencari bandingan terhadap aneka malu yang biasa terjadi di lingkup hubungan antar manusia. Akhirnya,  “tiada ketabuan memalukan melebihi keterlanjuran membuang angin (kentut) di depan kekasih,” pikirku seketika. (31.07.14)
 

Senin, 27 Oktober 2014

BUDAYA MEUDAHEOH

Budaya Meudaheoh



Budaya meudaheoh merupakan tradisi meminta-minta atau ada yang memahaminya dengan budaya mengemis. Meskipun kebiasaan ini dibenci masyarakat Aceh, namun pemandangan ini kerap tersaksikan. Di masa stasiun kereta api aktif di Aceh, banyak pelaku meudaheoh ini beroperasi di sana. Bagi orang-orang tertentu yang mengenal pelaku, semisal pelaku orang sekampung dengannya, mereka berujar,”peu meudaheoh sabee, manteng teuga”. Ketika banyak unsur aparatur daerah berbondong-bondong ke Jakarta untuk mengusul ragam proyek dan memohon bantuan keuangan lainnya, rekan sesama aparatur di pusat berujar, “kok masih minta ke pusat, kan anggaran sudah dialihkan ke daerah masing-masing”. Banyak kalangan memahami meminta bantuan pusat berkembang sejak era 1970-an, tatkala pola pembangunan terimplementasi secara sentralistik. Propinsi yang paling siap dan terkenal yakni Sumatera Barat sehingga upaya ini menjadi model waktu itu. Manakala sistem pengelolaan anggaran pembangunan sudah berubah menjadi desentralistik, namun prilaku meminta itu masih dipertahankan, terjebaklah cara ini ke dalam suatu definisi budaya.

KRISIS EKSISTENSI

Krisis Eksistensi



Status ini dapat tersimpul dari banyaknya orang-orang yang kerap mengoreksi keadaan tanpa memberi solusi. Dalam lingkup pimpinan atau pekerja, para pakar menyimpulkan status ini sebagai suatu gejala post power syndrome  dalam artian munculnya kekhawatiran terhadap proses marjinalisasi diri dari sistem masyarakat. Krisis eksistensi ini tidak saja mewabah di lingkup aparatur, namun lebih menggejala pada sosok tersanjung lainnya. Hal ini dapat disaksikan pada sosok-sosok borjuis yang dieluk-elukan andil kecantikan, kemewahan, serta keagungan lainnya, yang mulai tersaingi oleh hadirnya penampil atau pendatang baru. Pemangku status krisis eksistensi ini juga rentan terhadap sikap defend atau upaya mempertahankan keberadaan berikut ketersanjungannya. Untuk mengatasi situasi, sebaiknya setiap sosok yang khawatir, membesarkan ragam talenta yang termiliki dalam dirinya.


CERBAR BAGIAN SATU

CERITA BARANGKALI (CERBAR)




Nafsu Mengabaikan Botol 

BAGIAN SATU


Suatu ketika, bus angkutan umum lari kencang melewati sebuah desa yang sedang ramai berkumpul pria duduk di tembok  tepi jalan. Tiba-tiba dari kedaraan itu terlempar keluar sebuah botol kaca berukuran isi kurang lebih setengah liter, tertutup rapat berisi air yang tidak bening layaknya air minum biasa. Semua pria yang berkumpul terperanjat, seraya bangkit berebut mendekati botol misteri itu namun yang cepat bangkit lebih sigap melangkah. Beberapa lelaki yang sukses mendekat ke botol itu saling sikut dan seorang di antaranya berhasil merebut lebih awal. Mereka mengamati tajam sambil berdebat tentang isi botol serta menerka-nerka musabab pelontarannya dari bus. “Ini madu bening berasal dari lebah bunga angsana hutan yang dijaga naga leluhur,” kata lelaki lebih muda yang pertama mengambil botol bermulut kecil seukuran butir kacang tanah itu. “Mana mungkin bus buang-buang madu,” protes yang lain sambil membuktikan botol itu sedikit hangat. “Coba buka, kalau sudah kita cium kan sudah tau,” kata seorang dari mereka yang berbadan tegap hitam. “Tidak, nanti sampai di rumah saja, aku yang dapat terserah akulah,” bantahnya.  Sambil mengoceh mereka berjalan menuju tempat kerumunan asal, dengan semua tatapan menanti, ingin tahu wujud benda yang jatuh dari bus itu. Botol air didekap erat oleh pemuda itu, khawatir terjadi perampasan oleh rekan seiring yang penasaran. Setelah berjarak beberapa langkah saja dari kerumunan, “bawa sini botol itu,” teriak sesorang bersuara baritone dari kerumunan. “Jeh, saya yang dapat kok mesti serahkan pula,” balas pemuda pendekap botol sedikit keras. “Bawa siniiiiii,” ulang lelaki yang ternyata ianya Kepala Kampong di tempat itu. Tetap saja pemuda itu berkeras seraya disambut hujatan beramai-ramai dari warga yang hadir. Dapat ditebak, tiada satupun yang berpihak kepadanya. Serta merta terlontar ucapan dari orang-orang dekat Kepala Kampong, “pindahkan saja dia dan bapaknya dari kampong ini”.  Tanpa berdaya, botol dalam dekapan pemuda itu dirampas beramai-ramai dan beralih tangan ke Kepala Kampong. Sambil mencermati dalam-dalam tentang warna cairan kuning kemerahan dalam botol itu, berkesimpulanlah pemimpin warga itu, “ini bukan sembarang air, melainkan air yang telah  dimantrai oleh makhluk sakti mandraguna,” sambungnya lagi disambut hening dan mangut-mangut warga. “Ada usul?,” tanyanya ke semua warga untuk menghindari pertikaian sesama. “Tidaaaaak,” jawab pemuda yang merasa memiliki mutlak benda itu. “Diam kau, karena semua melihat benda itu terlempar, haknya sama bagi semua,” bentak Kepala Kampong. “Tapi hak ku bagaimana?,” tanyanya keras memekakkan telinga. “Kamu mendapat seperempat botol, ngerti,” bentak beberapa orang tua ke telinga pemuda yang lagi jengkel itu.  

CERBAR BAGIAN DUA

CERITA BARANGKALI (CERBAR)
Nafsu Mengabaikan Botol 
BAGIAN DUA

Kepala kampong mulai mengeksekusi cairan dalam botol kemasan, “ambilkan kapas, biar adil saya sapukan ke kerah baju masing-masing,” katanya. “Kalian berbarisss…., jangan berebutan,” kata pemuda kekar legam dengan suara lantang dan dipatuhi. “Mulai dari sini pakkk…,” kata seseorang yang berposisi sebelah timur. “Tidak…., dari sini dulu,” jawab yang di sebelah barat. “Diaaam,” kata pemuda legam pengatur tadi, “baris menurut umur, yang tua duluan,” sambungnya. Kepala Kampong bersiap dengan kapas di tangan yang di berikan seseorang dari balai desa. Sosok berpeci itu memulai sapuan cairan isi botol ke kerah baju warga yang paling kanan. “Terima kasih pak,” ucap mereka bergiliran satu persatu usai sapuan di kerah masing-masing. Namun tidak sampai setengah dari jumlah warga, mereka mulai merasakan aroma menyengat yang luar biasa. “Kayaknya bau pupuk cair,” kata seseorang dari mereka. “Huss, jangan banyak perotes,” sahut yang lain sambil menjelaskan bahwa air keramat mulai beraksi. “Tapi……….,” kata yang lain meyakinkan tentang aroma semakin menguat di seputaran itu. “Diaammm……,” kata pemuda legam meredakan protes warga yang mulai kasak kusuk, “ini ujian untuk kita dari air keramat,” katanya lagi. Giliran terakhir, Kepala Kampong menggunakan haknya, “karena saya pimpinan kalian maka saya boleh lebih sedikit lah,” ungkapnya. Tiada bantah dari yang lain kecuali diam seraya mengerutkan hidung menahan bau menyengat. Kepala Kampong menyapukan kapas berair ke wajah secara berulang, “hak pimpinan, yang lain tak boleh protes,” katanya sedikit senyum. Sisa cairan yang tinggal seperempat botol lagi diberikan kepada pemuda pemilik yang sedang mendongkol. Suasana tempat itu mulai berubah, hidung kepala kampong kembang kempis antara menahan bau dan menghirup udara. “Kurang ajar, ini kencing,” katanya keras disambut riuh warga yang lain. “Iya, kan sudah saya bilang,” kata warga yang protes mula-mula dan diikuti yang lain beramai-ramai. Pemuda pemilik mengepit botol tanpa merasa bau yang sedang dihebohkan itu. “Hanya dia yang tidak kena kencing pak,” tunjuk seseorang seakan melapor ke Kepala Kampong. “Yaaa, semua harus kena lah,” kata belasan warga beramai-ramai. “Tadi kalian merampas air ini, saya kan melarang,” bantah pemuda itu sengit. “Sabaaaar,” bentak Kepala Kampong melerai protes warga. “Kita adili saja dia nanti malam, kencing siapa  dalam botol ini,” kata Kepala Kampong, “jika dia tidak bisa menjawab, kita mandikan dia dengan sisa air itu, bagaimana?”.  Serempak mereka menjawab, “setujuuu, okeeee, pimpinan patennnn, adiiiilllll,” gemuruh suara warga.  


CERBAR BAGIAN TIGA

CERITA BARANGKALI (CERBAR)
Nafsu Mengabaikan Botol 
BAGIAN TIGA

Sekira pukul 20.00 WIB, botol berisi cairan kuning kemerahan diletakkan di atas meja. Kencing di botol itu ramai-ramai diamati dan diperdebatkan, untuk dipertanyakan kepada pemuda teraniaya nantinya. Tanpa mampu melawan, dia didudukkan di bangku berhadapan langsung dengan botol yang masih berisi seperempat cairan. “Nanti setelah seluruh warga hadir baru kita tanyakan kepada dia,” kata Kepala Kampong dengan suara sedikit serak, kelelahan. Tiada lama dari waktu itu, warga desa berduyun-duyun hadir, tidak terkecuali perempuan tua maupun muda. Mereka membentuk lingkaran mengelilingi sosok pemuda berwajah jengkel memandang kencing dalam botol kemasan. “Gara-gara dia saya dan beberapa warga bau pesing,” kata Kepala Kampong di hadapan warga desa membuka bicara. Hadirin terperanjat bersegera untuk menghukum tanpa menggubris bantahan pemuda itu. “Memang anak muda sekarang tidak lagi menghargai orang tua,” ungkap istri Kepala Kampong dan diiyakan ibu-ibu yang lain. Pemuda itu pucat dalam kemarahan warga yang antusias untuk memberi hukuman. “Terserah hadirin sekalian, hukuman apa yang pantas untuk dia,” kata Kepala Kampong dengan nada tinggi di tengah berisik diskusi sesama warga. “Begini, kita tanyakan saja kepada dia, ini kencing lelaki atau perempuan,” kata pemuda legam yang aktif mengambil peran sejak awal. “Jika dia salah menjawab, baru kita hukum,” sambungnya lagi. “Setujuuuuu,” sahut warga serentak disambut mangut-mangut Kepala Kampong seraya mengakui ide brilian itu. “Ya, ya, ya,………,” gumamnya sambil berdiri di belakang pemuda, “kamu paham maksudnya ?,” tanya pemimpin desa itu lagi. Tidakpun pemuda itu mengangguk selain wajahnya semakin cemberut merunduk merenung nasib. “Sekali lagi saya tanya, paham?,” kata Kepala Kampong yang di sahutinya dengan menengadah. “Ayo jawaaaab,” menggelegar suara warga seakan jengkel atas prilaku anak muda yang telah mempermalukan pemimpinnya. “Boleh saya akan jawab,” katanya singkat, “itu kencing lelaki yang terjangkit batu karang”. “Haaa, apa alasanmu,” tanya pemuda bebadan gelap menyusup disela-sela kerumunan. “Lihat saja warnanya, agak kemerahan,” jawab pemuda pesakitan yang sedang dipersoalkan.  Kepala Kampong mendekat ke botol mencermati dari dekat, “kayaknya dia salah, bagaimana?,” katanya sembari senyum sinis. “Betullll pak, dia asal jawab,” teriak warga beramai-ramai, “hajar dia,” sambut yang lain. Istri Kepala Kampong menarik dua wanita paruh baya, mengajak berbicara di pojok balai desa. Mereka serius dan mengangguk-angguk seakan mengetahui asal kencing dalam botol itu, “sebentar, kami sudah tau,” kata istri Kepala Kampong menerobos. Warga lain terdiam, meyakini pendapat ketua PKK kampong itu lebih pasti, sebagaimana dia melatih warga membuat bumbu pecal dari kedalai campur kunyit tunggal, pada setiap Jum’at petang. “Dari warnanya, ini kencing perempuan setiap bulan, “ kata Ketua PKK kampong itu yang disambut diam para hadirin. Banyak keterangan yang dia berikan seputar hubungan warna air seni dengan kondisi kaum perempuan. Para lelaki beroleskan kencing dan Kepala Kampong yang menyapu muka sore tadi menggerak-gerakkan bahunya isyarat kondisi menjijikkan. “Kurang ajar,” kata Kepala Kampong kepada pemuda yang terzalimi seraya menggepalkan tinjunya. “Stoppp,” jawabnya dengan wajah pucat pasi, “tidak benar itu kencing perempuan,” pungkasnya. “Mari kita buktikan,” sambungnya keras membantah untuk mencegah terjadi amuk massa ke arahnya. Semua terdiam dan mempersilahkan anak muda itu membuktikan ucapannya. “Cepat, apa buktinya,” kata pemuda legam mendesak dan disahuti yang lain beramai-ramai. Lantas pemuda itu berdiri memegang botol dan bersigap menumpahkan isinya  yang lumayan pesing. “Buang jauh-jauh sana, jaga dia jangan sampai melarikan diri,” kata Kepala Kampong mengingatkan. Beberapa orang mengikutinya berjaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Beberapa waktu kemudian pemuda itu kembali ke tengah kerumunan dengan ratusan pasang mata tertuju. “Ibu kemari,” katanya sambil menarik lengan Ibu PKK yang sedang bengong. “Tolong ibu ke kakus masukkan kencing ke dalam botol ini dalam waktu lima menit?, jika berhasil dan tidak basah bagian luar, ambillah lembuku yang sedang terikat di sana,” katanya menunjuk kandang lembu yang tidak jauh dari balai desa. Mata perempuan itu terbelalak dan berbinar, “benar?, kamu jangan menambah persoalan baru,” jawabnya seakan tak percaya terhadap ungkapan pemuda itu. “Silahkan, usir aku dari kampong ini  jika aku ingkar,” jawabnya. Tiada menunggu lama, Ibu PKK dibantu suaminya, Kepala Kampong mengambil botol itu bergegas menuju kakus balai desa. Dipersilahkan isterinya masuk ke kakus dan dijaganya, seakan khawatir terjadi sabotase. “Cepat…,” kata suaminya dan, “sebentar bang agak susah ni,” jawab istri dari dalam kakus. Tiada sabar Kepala Kampong itu menunggu dan kerap memperhatikan arloji di tangannya. Sekira waktu yang disepakati jelang akhir, yakni dua menit lagi, pintu kakus didobrak suaminya sambil marah-marah. “Lama sekali kok, waktu hampir habis,” katanya di depan pintu kakus sambil memperhatikan ke dalam. “Tidak bisa masuk, lubangnya terlalu kecil. Lihat kain dan bajuku basah kena kencing,” jelas istrinya. Wajah lelaki itu merah padam dan diam tanpa kata sambil menyapukan arlojinya yang menunjukkan waktu telah lewat. “Bagaimana pakkk,” tanya beberapa warga yang hendak menyaksikan penyerahan lembu malam itu. Pasangan suami istri itu berjalan lunglai dari kakus menuju kerumunan. “Selamat buk,” teriak pemuda pemilik lembu dari jauh setengan senyum. “Selamat apaan,” kata perempuan itu malu, “lembunya yang selamat,” kata ibu itu lagi. “Haaaaaaa,……?, ada apa dengan ibu,” kata warga menyaksikan kain dan baju basah sambil berbaris menyambut pasangan suami-istri petinggi desa berjalan pelan menuju meja tempat botol semula. “Dia benar, itu kencing lelaki,” kata Ibu PKK sambil menunjukkan tangan ke arah pemuda terzalimi yang mulai sumringah. “Saya lupa, kaum perempuan bermasalah dalam usaha  memasukkan kencing ke dalam botol,” lanjutnya disambut dingin kaum ibu yang lain, terlebih lagi dua perempuan yang mula-mula diajak diskusi. Para lelaki di tempat itu terbahak serempak,”untung tidak sebaliknya buk ya, he he he he,” celoteh beberapa yang rada nakal. “Maulah mengamuk bapak,” sahut yang lain. Kepala Kampung terdiam seakan dipermalukan namun, “kita ambil hikmahnya,” gumamnya sambil menyalami pemuda pemilik lembu.  (TAMAT)    


Rabu, 22 Oktober 2014

SEMANGAT HIDUP

menara sutet, oktober 2014


Semangat Hidup

Pagi banyak diskusi yang terjalani seputar pergerakan ekonomi Aceh bersama tim dari Bank Indonesia Lhokseumawe. Tidak saja itu, dengan tim yang lain terjalin pula diskusi kemanusiaan dengan beberapa kelompok seni budaya. Terlintas dalam ucapanku seketika tentang apresiasi kepada ragam sosok berprestasi yang mungkin terlupakan zaman. Dari diskusi bergerak dan merambah ke berbagai hal, tersimpul pula perbedaan  dorongan hidup antara kaum perempuan dan lelaki. Jika kaum perempuan hidup atas kolaborasi kecemburuan dan kerinduan, lelaki lebih hidup atas dorongan ambisi dan prestasi.   





Selasa, 21 Oktober 2014

RESTORASI

razuardi Ibrahim, atas nama Pemkab Aceh Tamiang melakukan penanaman mahoni di hutan restorasi, 29.09.14
Razuardi Ibrahim, atas nama Pemkab Ace Tamiang melakukan penebangan perdana untuk restorasi, 29.09.14


restorasi

ranting patah tua alami
tumpuan lompatan primata
dan penghuni lain di gunung itu
yang lama tak bergaung
hutan berganti kebun

hari ini genta kamu kembali
nikmati hari-harimu kemarin
yang hilang tanpa harapan datang lagi
tangismu sayup perlahan
terusir pongahnya zaman
yang lakonkan ekonomi

tangan menggapai restorasi
ajak kerabat lihat hidupnya pulih
layaknya ciptaan lain
semoga upaya ini
untukmu, untuk kami, dan untuk kita

tenggulun, 29.09.14





BUDAYA BUNGONG JAROE




Budaya Bungong Jaroe
Budaya bungong jaroe merupakan tradisi masyarakat Aceh tatkala mengunjungi kerabatnya di tempat lain. Bungong jaroe adalah bawaan dari tamu berupa makanan atau bahan makanan. Biasanya kaum perempuan mempersiapkan bungong jaroe ini berupa penganan yang dibuatnya atau buah-buahan yang tersedia di tempatnya. Tidak mengherankan, jika kue thimphan yang berbahan baku dari pisang dan tepung itu sangan popular sebagai penganan bawa-an para permpuan di Aceh. Bagi kaum pria biasa membawa bungoeng jaroe ini berupa gula atau hasil kebun yang bisa langsung digunakan seperti buah-buahan.


BUDAYA MEUREUPAH BAYEUE

talkshow razuardi ibrahim

Budaya Meureupah Bayeue
Budaya meureupah bayeue merupakan tradisi masyarakat Aceh pesisir. Meureupah bayeue dalam aplikasinya cukup sederhana dan sering terlihat di warung-warung kopi di Aceh, yakni berebutan membayar makan atau minum bersama dalam satu meja. Praktek budaya ini dapat disaksikan manakala kelompok orang dalam satu meja  hendak bubar usai minum atau makan bersama, sementara seseorang di antaranya bangkit untuk membayar dan yang lain secara serempak melarangnya. Tradisi ini masih terlihat di beberapa tempat saja dan seyogiyanya dapat dipertahankan. “Bek,… bek,…. bah lon bayeue,”  demikian kalimat yang biasa terujar dalam adegan itu.


Minggu, 19 Oktober 2014

BATU KARANG MENJENGKELKAN

Solidaritas Penghujat Batu Karang


Batu Karang Menjengkelkan

Suatu kali kami mengunjungi seorang kerabat pria paruh baya (Pripaba) yang opname di sebuah rumah sakit, di Aceh juga. Etisnya, tidak disebutkan nama dan tempat rumah sakit itu mengingat pentingnya menjunjung tinggi azas menutupi aib sesama. Ia telah seminggu dirawat sementara radang yang terjadi sudah berjalan selama sebulan, “karena batu karang,” kata bawahannya di kantor. Kami yang terdiri atas 8 orang lelaki berangkat ke rumah sakit itu selepas Maghrib. Setiba di rumah sakit, terlihat Pripaba tengah duduk santai dan terbahak bersama istrinya. Tentu pimpinan pengunjung di antara kami terperanjat dan merasa didustai. “Lho tapi kabarnya opname, kok tidak tidur di dalam,” tanya pimpinan kami. Pripaba gugup berusaha menjelaskan apa yang terjadi seraya bangkit masuk ke ruang inapnya. “Begini pak tadi sore sudah keluar,” katanya sambil mengambil sebuah bungkusan kapas. Ia membuka kapas itu memperlihatkan sebentuk batu berwarna coklat kehitaman sebesar biji kurma persis. “Tapi kok sudah terbelah dua,” tanya kami lagi bersama. Pripaba menjelaskan betapa sakitnya tatkala batu itu keluar bersama air seni seraya ia menunjukkan dagunya ke arah istri yang terdiam di sudut kasur. “Entah dia pegang-pegang lantas patah,“ jelas Pripaba tentang peristiwa terbelahnya batu itu akibat ulah istrinya.  Kami tersenyum dan mengerti tentang ihwal kekesalan istrinya sehingga membanting batu karang yang dianggap musabab dari suatu persoalan. “Sebulan pula di depan mata, ya wajarlah jengkel,” kata pimpinan kami seraya mengajak pulang. Di halaman parkir terlihat beberapa kenderaan sedang menurunkan penumpang untuk membesuk juga. Satu oplet menarik perhatian, berisikan banyak kaum ibu yang sejak sore berjalan di depan kami, hadir juga di pelataran parkir rumah sakit itu. Meskipun belum terinformasikan, aku menduga, mereka kelompok ibu-ibu yang antusias hendak menyaksikan kejahatan batu karang yang telah menyusahkan kaumnya yang lain. Jika memang benar, kukira kondisi ini merupakan solidaritas yang layak ditiru.  



COFFEE MORNING

Razuardi Ibrahim, Hamdan Sati, dan Iskandar Zulkarnain



Coffee Morning
Jum’at, 17 Oktober 2014, diadakan coffee morning antara jurnalis Aceh Tamiang dengan pihak Pemkab. Dalam dialog pagi tadi, tersirat ada upaya bersama untuk melakukan pembinaan informasi di daerah. Aku menyikapi berbagai hambatan yang disampaikan rekan-rekan pers dengan melakukan perencanaan pembinaan pers. Satu kata yang kuungkap dalam konsep itu, yakni dian nan tak kunjung padam.


Kamis, 16 Oktober 2014

PANTON POLIGAMI

Panton Poligami

Semua yakin Islam yang berkah
Namun perlu syiarkan selalu
Jarang dibahas hukum menikah
Hanya berpuas dengan yang satu

Alkisah ada satu riwayat
Sekilas hidup petani udik
Urusan makan tidak terhambat
Masalah syahwat yang jadi pelik

Usia istri yang sama renta
Gadis di desa berseliweran
Bertambah pula banyaknya janda
Malam termenung cari alasan

Suami berpikir pesan ustad
Poligami amalan agama
Takut sekali dibilang murtad
Biarlah hewan jadi contohnya

Sungguh gelisah hati si bapak
Melihat kambing banyak beristri
Tiada ribut bahkan bertekak
Ibu cemburu tak tanak nasi

Kambing rukun bapak pun tersenyum
Seekor bandot handal merayu
Betina tidak pentingkan harum
Bapak bersedih melirik ibu

Sungguh malang nasib manusia
Begitu keluh di hati bapak
Lihat kambing sangat leluasa
Agama boleh aturan tidak

Ibu menunjuk ke kandang ayam
Satu betina satu pejantan
Betina lain datang diterkam
Bapak pun kesal ludah ditelan

Kesal-lah bapak melihat ayam
Tiada mengerti perasaan
Diambil minyak langsung disiram
Kandang dibakar ibupun pingsan

PANTON SEKEJAB

Panton Sekejab

Walau beruban tiada usang
Tetua sekarang memang begitu
Paling durhaka keripik pisang
Tak alpa mendera  gigi palsu

Anak kota membeli sepatu
Untuk kunjungan di malam minggu
Memang jaman tidaklah menentu
Mertua lewat dikira babu

Banyak mesjid tiada jamaah
Semua imam turut berseru
Mana mungkin kata penceramah

Hendak  dibagi satu per satu


APREAIASI SENIMAN DUA

Adnan PMTOH, seniman tutur Aceh, sumber google

Banyak para seniman di Aceh terdahulu yang menghasilkan karya spektakuler sesuai dengan masanya. Karya masa lalu itu masih bisa dinikmati hingga sekarang, namun tanpa penelusuran tentang keberadaan para seniman tersebut. Ketidak-kepedulian zaman tentang keberadaan mereka menciptakan iklim pengabaian nilai dalam aspek moral antar generasi secara berkesinambungan yang diperkirakan dimulai sejak tahun 1977. Untuk kearifan dalam menyikapi keaadaan, dibutuhkan upaya pemberian apresiasi sosok agar terbangun tradisi penghargaan berkelanjutan melaui suatu kemasan sistem.  





PINTA PERUPA



Sketsa Mahdi Abdullah, Mahdi 2007
Serambi Indonesia, 29.08.14

Rabu, 15 Oktober 2014

BONDONG VERSUS GONTOK

razuardi ibrahim, 14.10.14

Bondong-bondong
versus
Gontok-gontok

Beberapa bulan lalu sebelum pemilu legislatif, aku mendengar beberapa masyarakat berceloteh tentang ramainya para caleg yang mengusung diri. Orang berbodong-bondong mencalonkan diri menjadi caleg karena peluang untuk itu terbuka lebar. Sementara masing-masing sosok yang mengusung diri merasa dirinya lebih pantas dan mampu mengemban amanat rakyat. Tatakala pelantikan DPR RI, 1 Oktober 2014, pemandangan di televisi cukup menarik dalam ekspresi gontok-gontokan. Bagi pemikiran arif, dapat dicermati tentang hubungan dua persoalan, yakni hubungan antara berbondong-bondong dengan gontok-gontokan.




IBA RAIH POPULAR

Razuardi Ibrahim, 2008


Iba Raih Popular

Tradisi berpikir masyarakat di suatu tempat bahkan di Negara tertentu, merasa iba terhadap sosok teraniaya, terlecehkan, terhujat, dan lain sebagainya. Tidak jarang keadaan ini menjadikan sosok tersebut kian popular dan dijadikan ikon dalam banyak hal tanpa memperdulikan kekurangan kompetensinya. Prosesnya cukup sederhana, yakni bermula dari iba berupah menjadi empati, dan pada akhirnya menjadi simpati. Kenyataan ini dapat dilihat dalam ragam election, tak jarang sosok serupa ini terpilih dan keluar sebagai pemenang.





KATA BIJAK DUA OKTOBER

Razuardi Ibrahim, 2014
Razuardi Ibrahim, 2007

"kesungkanan adalah hambatan"

raju-13.10.14

FRANKY HEWAN KURBAN



franky kambing pekarangan
teramat jinak dan memahami nama itu
beberapa tahun ia bersama
di belakang rumah
menyantap daun petai yang disuguhkan
badannya semakin besar

ia disembelih pada lima oktober
idul adha dua ribu empat belas ini
tenggorokku tersumbat
mendengar ia telah disantap dalam hidangan

aku maknai emosi antar makhluk terusung
dalam kasih sayang
tapi ia memenuhi syiar ismail
beberapa abad silam

Selasa, 14 Oktober 2014

KATA BIJAK OKTOBER EMPAT BELAS

Razuardi Ibrahim, 17 April 2014



"tidaklah besar seseorang
tanpa
membesarkan generasi masa depan"

raju, 14.10.14

PUISI LSM

razuardi ibrahim, 2008

giat lsm

suatu kali
ada harapan dari sorot mata
sepulang kolaborasi bersama remaja
yang khawatir akan masa depan
banyak indah di sana
bahkan teramat indah

tahun itu
rasa kuat sekali 
untuk apa saja
tiada hambat cuaca
juga waktu padat
apalagi gemuruh malam 

ya tahun-tahun dekat
yang tampilkan dekap
saban waktu



PUISI TAKUT NARSIS


takut narsis

malam ini
kulihat foto giatku silam
satu menarik kucermati
dalam presentasi depan khalayak
pecinta motif
model bahasan karya kupiah warna-warni
aku terusik dalam perasaanku sendiri
manakala penting untuk menjawab
hati berbisik narsis
pikiran nyatakan tidak
tiada pilihan untuk menyatakan

MUSRENBANGNAS 2008


Irhamsyah, Ariman, Razuardi Ibrahim, Fadli, 2008


reuni tak duga

ada yang tersisa dari tahun itu
pertemuan tak duga
dari beberapa kerabat di kampus dulu
sisipan beda angkatan
namun reuni terusung
layaknya di kantin sarat sonder bayar
begitulah tatkala hunjam berhasrat


Senin, 13 Oktober 2014

MELIGE TAMIANG


kondisi Agustus 2013

 
kondisi  Januari 2014

Memasuki tahun ke-dua belas pemekaran, Kabupaten Aceh Tamiang belum memiliki pendopo tempat kediaman bupati kepala daerah. Di sisi lain, keberadaan bangunan heritage yang dibangun masa pemerintahan Kolonial Belanda cukup beralasan untuk dijadikan simbol kepemimpinan daerah yang otonom. Selain menghargai karya cipta arsitektur akhir abad ke-19 dan aman dari banjir, pemanfaatan dan renovasi bangunan ini dapat memberi kontribusi terhadap nilai efisiensi, keberlanjutan perjalanan sejarah bangsa, terlebih lagi terhadap perkembangan arsitektur itu sendiri. Mengingat berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang akan memanfaatkan warisan masa lalu ini sebagai pendopo yang juga dapat berperan sebagai landmark kawasan. Arsitek renovasi bangunan ini Rahmatsyah Nusfi. 


FUTURE CONECTION

Pengcekan Future Conection Semadam, 13.10.14
Future Conection (FC) di Semadam Tamiang jelang rampung. Instalasi di jalur pipa gas itu merupakan tindak lanjut antara Bupati Hamdan Sati dengan pihak Pertagas beberapa bulan lalu di Jakarta. Instalasi ini dapat berperan sebagai sumber kegiatan ekonomi baru di Aceh Tamiang. Jumlah FC yang akan dipasang sebanyak 3 unit, yakni di Semadam, kawasan Kota Kualasimpang, dan  kawasan Simpang Opak.    

PUISI TOPI KAMAR


topi kamar

topi rajutan
buatan kerabat pulau besar
diantarkan usai nikmat
hiasi kamar pagi
menggapai terawang lama sekali
lewat jendela tinggi

topi kamar lengkapi seprai kusut
lengkapi warna dinding bersaksi
beribu jarak indah tinggi
yang tertunggu berbilang bulan

topi serah pagi
ingatkan waktu ke waktu

jakarta, 25.03.14 

KOPIAH SOEKARNO

Kopiah Soekarno
kopiah soekarno

ia sukses merebut ciri
tampilan bangsa indonesia
di tengah orang dunia
yang usung gaya ragam

soekarno dan kopiah itu
bertahan dalam gejolak mode
belenggu simpati anak negeri
kebanggaan tidak berbanding zaman

kualasimpang, 13-10-14



Minggu, 12 Oktober 2014

PUISI SENIMAN

RAZUARDI IBRAHIM, Agustus 2014



untuk para seniman
rajju-06.10.14


kita ini terbuang dalam kepuasan
teronggok bisu dalam khayal
tiada protes merubah
agar kulit keriput segar kembali

kita ini pesaing tanpa rival
selain naluri seberang
atau masa berganti
yang abaikan kisah gemilang lalu
tatkala negeri butuh sentuhan
jemari apik terampil

kita ini pencakar angan-angan
rentan beralih saling cakar
mencabik sesama menggapai ransum
lewat kita yang bukan kita

kita ini masih panjang
dalam alih tukar
ke tubuh-tubuh segar titipan zaman
ya, kita masih ada



PUISI OPNAME

opname

opname katanya lagi
terserang sakit sama lalu
sejak lebaran kurban
tak dapat merespon tanya
pun menuntun lelaki urus bangku pinjam

tapi ini waktu rehat
tugas belajar menerpa jua
ya, rehat

jalanan, 12.10.14

TSUNAMI MEMAKNAI


mesjid Lampuuk, sumber google 


Wujud Kokoh Gempuran Tsunami

Usai gempuran gelombang tsunami yang dahsyat pada 26 Desember 2004, permukaan lahan berikut puing bangunan yang porak-poranda kian tersaksikan. Di sela air laut surut perlahan, terdapat onggokan bangunan atau bagian tertentu yang kokoh masih dapat dicirikan. Tidak berlebihan jika dicermati dua wujud kokoh yang tersisa tersebut, yakni masjid dan WC, untuk dimaknai sedikit mendalam. Aku membahas makna ini bersama Erick Kethang, Minggu (12/10/14) kerabatku yang kerap menjadi volounteer dalam berbagai peristiwa bencana alam. Sepakat kami di siang itu, bahwa tsunami berpesan dalam symbol masjid kokoh, “di tempat itulah seharusnya umat manusia menggantungkan harapan”.  Untuk onggokan wc yang utuh, terselip pesan “jujur dan tuluslah seperti orang memanfaatkan tempat itu”.