CERITA
BARANGKALI (CERBAR)
Nafsu
Mengabaikan Botol
BAGIAN
TIGA
Sekira pukul
20.00 WIB, botol berisi cairan kuning kemerahan diletakkan di atas meja. Kencing
di botol itu ramai-ramai diamati dan diperdebatkan, untuk dipertanyakan kepada
pemuda teraniaya nantinya. Tanpa mampu melawan, dia didudukkan di bangku
berhadapan langsung dengan botol yang masih berisi seperempat cairan. “Nanti setelah seluruh warga hadir baru kita
tanyakan kepada dia,” kata Kepala Kampong dengan suara sedikit serak,
kelelahan. Tiada lama dari waktu itu, warga desa berduyun-duyun hadir, tidak
terkecuali perempuan tua maupun muda. Mereka membentuk lingkaran mengelilingi
sosok pemuda berwajah jengkel memandang kencing dalam botol kemasan. “Gara-gara dia saya dan beberapa warga bau
pesing,” kata Kepala Kampong di hadapan warga desa membuka bicara. Hadirin
terperanjat bersegera untuk menghukum tanpa menggubris bantahan pemuda itu. “Memang anak muda sekarang tidak lagi
menghargai orang tua,” ungkap istri Kepala Kampong dan diiyakan ibu-ibu
yang lain. Pemuda itu pucat dalam kemarahan warga yang antusias untuk memberi
hukuman. “Terserah hadirin sekalian,
hukuman apa yang pantas untuk dia,” kata Kepala Kampong dengan nada tinggi
di tengah berisik diskusi sesama warga. “Begini,
kita tanyakan saja kepada dia, ini kencing lelaki atau perempuan,” kata
pemuda legam yang aktif mengambil peran sejak awal. “Jika dia salah menjawab, baru kita hukum,” sambungnya lagi. “Setujuuuuu,” sahut warga serentak
disambut mangut-mangut Kepala Kampong seraya mengakui ide brilian itu. “Ya, ya, ya,………,” gumamnya sambil
berdiri di belakang pemuda, “kamu paham
maksudnya ?,” tanya pemimpin desa itu lagi. Tidakpun pemuda itu mengangguk
selain wajahnya semakin cemberut merunduk merenung nasib. “Sekali lagi saya tanya, paham?,” kata Kepala Kampong yang di
sahutinya dengan menengadah. “Ayo
jawaaaab,” menggelegar suara warga seakan jengkel atas prilaku anak muda
yang telah mempermalukan pemimpinnya. “Boleh
saya akan jawab,” katanya singkat, “itu
kencing lelaki yang terjangkit batu karang”. “Haaa, apa alasanmu,” tanya
pemuda bebadan gelap menyusup disela-sela kerumunan. “Lihat saja warnanya, agak kemerahan,” jawab pemuda pesakitan yang
sedang dipersoalkan. Kepala Kampong
mendekat ke botol mencermati dari dekat, “kayaknya
dia salah, bagaimana?,” katanya sembari senyum sinis. “Betullll pak, dia asal jawab,” teriak warga beramai-ramai, “hajar dia,” sambut yang lain. Istri
Kepala Kampong menarik dua wanita paruh baya, mengajak berbicara di pojok balai
desa. Mereka serius dan mengangguk-angguk seakan mengetahui asal kencing dalam
botol itu, “sebentar, kami sudah tau,” kata
istri Kepala Kampong menerobos. Warga lain terdiam, meyakini pendapat ketua PKK
kampong itu lebih pasti, sebagaimana dia melatih warga membuat bumbu pecal dari
kedalai campur kunyit tunggal, pada setiap Jum’at petang. “Dari warnanya, ini kencing perempuan setiap bulan, “ kata Ketua
PKK kampong itu yang disambut diam para hadirin. Banyak keterangan yang dia
berikan seputar hubungan warna air seni dengan kondisi kaum perempuan. Para
lelaki beroleskan kencing dan Kepala Kampong yang menyapu muka sore tadi
menggerak-gerakkan bahunya isyarat kondisi menjijikkan. “Kurang ajar,” kata Kepala Kampong kepada pemuda yang terzalimi
seraya menggepalkan tinjunya. “Stoppp,” jawabnya
dengan wajah pucat pasi, “tidak benar itu
kencing perempuan,” pungkasnya. “Mari
kita buktikan,” sambungnya keras membantah untuk mencegah terjadi amuk
massa ke arahnya. Semua terdiam dan mempersilahkan anak muda itu membuktikan
ucapannya. “Cepat, apa buktinya,” kata
pemuda legam mendesak dan disahuti yang lain beramai-ramai. Lantas pemuda itu
berdiri memegang botol dan bersigap menumpahkan isinya yang lumayan pesing. “Buang jauh-jauh sana, jaga dia jangan sampai melarikan diri,” kata
Kepala Kampong mengingatkan. Beberapa orang mengikutinya berjaga agar tidak
terjadi hal yang tidak diinginkan. Beberapa waktu kemudian pemuda itu kembali
ke tengah kerumunan dengan ratusan pasang mata tertuju. “Ibu kemari,” katanya sambil menarik lengan Ibu PKK yang sedang
bengong. “Tolong ibu ke kakus masukkan
kencing ke dalam botol ini dalam waktu lima menit?, jika berhasil dan tidak
basah bagian luar, ambillah lembuku yang sedang terikat di sana,” katanya
menunjuk kandang lembu yang tidak jauh dari balai desa. Mata perempuan itu
terbelalak dan berbinar, “benar?, kamu
jangan menambah persoalan baru,” jawabnya seakan tak percaya terhadap
ungkapan pemuda itu. “Silahkan, usir aku
dari kampong ini jika aku ingkar,” jawabnya.
Tiada menunggu lama, Ibu PKK dibantu suaminya, Kepala Kampong mengambil botol
itu bergegas menuju kakus balai desa. Dipersilahkan isterinya masuk ke kakus
dan dijaganya, seakan khawatir terjadi sabotase. “Cepat…,” kata suaminya dan, “sebentar
bang agak susah ni,” jawab istri dari dalam kakus. Tiada sabar Kepala
Kampong itu menunggu dan kerap
memperhatikan arloji di tangannya. Sekira waktu yang disepakati jelang akhir,
yakni dua menit lagi, pintu kakus didobrak suaminya sambil marah-marah. “Lama sekali kok, waktu hampir habis,” katanya
di depan pintu kakus sambil memperhatikan ke dalam. “Tidak bisa masuk, lubangnya terlalu kecil. Lihat kain dan bajuku basah
kena kencing,” jelas istrinya. Wajah lelaki itu merah padam dan diam tanpa
kata sambil menyapukan arlojinya yang menunjukkan waktu telah lewat. “Bagaimana pakkk,” tanya beberapa warga
yang hendak menyaksikan penyerahan lembu malam itu. Pasangan suami istri itu
berjalan lunglai dari kakus menuju kerumunan. “Selamat buk,” teriak pemuda pemilik lembu dari jauh setengan
senyum. “Selamat apaan,” kata
perempuan itu malu, “lembunya yang
selamat,” kata ibu itu lagi. “Haaaaaaa,……?,
ada apa dengan ibu,” kata warga menyaksikan kain dan baju basah sambil
berbaris menyambut pasangan suami-istri petinggi desa berjalan pelan menuju
meja tempat botol semula. “Dia benar, itu
kencing lelaki,” kata Ibu PKK sambil menunjukkan tangan ke arah pemuda
terzalimi yang mulai sumringah. “Saya
lupa, kaum perempuan bermasalah dalam usaha memasukkan kencing ke dalam botol,” lanjutnya
disambut dingin kaum ibu yang lain, terlebih lagi dua perempuan yang mula-mula
diajak diskusi. Para lelaki di tempat itu terbahak serempak,”untung tidak sebaliknya buk ya, he he he
he,” celoteh beberapa yang rada nakal. “Maulah
mengamuk bapak,” sahut yang lain. Kepala Kampung terdiam seakan
dipermalukan namun, “kita ambil
hikmahnya,” gumamnya sambil menyalami pemuda pemilik lembu. (TAMAT)