Kamis, 16 Agustus 2012

PENGALAMAN





Antara Kemampuan dan Kebutuhan

210203



Ketika pertemuan kecil berlangsung di ruang salah seorang Asisten Sekretariat Daerah Kabupaten Bireuen, seorang pemimpin sebuah institusi mengeluh berat yang katanya, “Bagaimana ini semua, ……….., usulan proyek yang masuk dari masyarakat sudah 30 milyar, hutang proyek tahun lalu saja sudah mencapai 12 milyar, itu belum tiga bidang lain yang berada di bawah saya…………………”.  Asisten dan pemimpin institusi lainnya hanya terdiam tidak memberi tanggapan apa-apa, namun menyimak keluhan itu. “Itu belum lagi usulan dari tokoh-tokoh masyarakat, maksud saya jangan kerja kita berulang-ulang, maunya kita sekali kerja klop……,sambungnya lagi. Pemimpin institusi perencanaan kabupaten yang hadir dalam forum kecil itu sedikit terusik, “Hm….begini pak, kita semestinya mengetahui bahwa kita sedang berkecimpung dengan manajemen perubahan.  Jadi dengan kesadaran yang tinggi kita dan para staf mesti mampu untuk mengatur dan mengantisipasi setiap kendala yang terjadi dalam manajemen perubahan itu, sebab perubahan itulah yang abadi….”, katanya menjelaskan.

Aku juga diam saja, karena waktu itu aku menjabat Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) yang tidak layak berkomentar panjang tentang keluhan serupa itu.  Namun aku paham, sepenggal dialog tadi bermakna cukup mendalam bagi para birokrat.  Di sana tersirat bahwa ada permasalahan yang cukup mendasar dalam menyahuti program pembangunan  sebagai suatu kebutuhan dengan kegiatan pembangunan sebagai suatu keinginan. Kebutuhan pembangunan  memiliki esensi tentang tuntutan yang harus dipenuhi dalam mengatasi persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dengan jumlah yang tidak terbatas, sementara kemampuan untuk mewujudkan kondisi itu sangatlah terbatas. Keinginan hanyalah sebatas upaya perwujudan sesuatu yang sifatnya naluriah dan kadangkala tidak memenuhi standar jastifikasi yang diperlukan.

Dalam paradigma baru sudah semestinyalah terpola pemikiran pada setiap aparatur bahwa diperlukan langkah-langkah dalam menyikapi suatu kebutuhan yang besar dengan keterbatasan yang ada, khususnya anggaran, oleh karena para aparatur telah terpola dengan pemikiran bahwa setiap kegiatan berkaitan erat dengan alokasi anggaran, yang akhirnya kemampuan menyelesaikan suatu kegiatan diukur dengan nilai kontrak ke pihak ketiga.

Sesungguhnya, kontrak, swakelola, gotong royong, bagi hasil, kerja paksa (rodi) dan lain-lain sebagainya, merupakan suatu tindakan dalam mengupayakan agar kegiatan yang menjadi kebutuhan dapat segera diwujudkan. Dengan kemampuan alokasi anggaran yang relatif kecil, sementara gambaran kebutuhan yang relatif besar, mestinya dapat dipilih metoda pelaksanaan kegiatan di atas dengan target pencapaian kebutuhan semaksimal mungkin, sehingga persoalan pembangunan yang ada di tengah masyarakat dapat teratasi semaksimal mungkin pula.

Kontrak ialah suatu sistem melaksanakan  kegiatan pembangunan dengan melibatkan pihak ketiga (biasa dikenal dengan kontraktor) dengan segala konsekuensinya. Konsekuensi yang dimaksudkan di sini ialah segala beban-beban yang menjadi kewajiban dari pihak pemberi tugas dan tuntutan hak dari pihak pelaksana  tugas sebagai akibat diadakannya sebuah transaksi kontrak. Dengan demikian harga kegiatan yang menjadi beban kontrak menjadi relatif besar karena telah mengandung, pajak, keuntungan, biaya tak terduga, dan lain-lain.

Swakelola ialah suatu sistem melaksanakan kegiatan pembangunan dengan mengandalkan keahlian yang dimiliki oleh organisasi serta peralatan yang tersedia, namun kemampuan anggaran yang tersedia hanya cukup untuk pengadaan  material atau bahan-bahan yang diperlukan untuk kegiatan itu. Dengan demikian harga pekerjaan yang dilakukan dengan sistem swakelola ini relatif lebih kecil oleh karena, keuntungan, biaya tak terduga, dan lain-lain yang menjadi beban kontrak tidak terdapat di sini.

Gotong royong adalah sistem pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Cara membangun seperti ini telah biasa dilakukan yang umumnya untuk fasilitas umum seperti tempat ibadah, jalan desa, prasarana olah raga, dan lain-lain dalam skala kecil.  Potensi yang diandalkan dalam bergotong royong ialah kemauan bersama yang ada dalam masyarakat untuk mewujudkan kebutuhan bersama. Tentu dana yang dibutuhkan dalam gotong royong ini hanya untuk pengadaan material dan biaya akomodasi atau konsunsi saja.

Bagi hasil juga merupakan upaya dalam mewujudkan produk pembangunan dengan membangun sistem bagi hasil dari hasil pembangunan itu sendiri. Kecenderungan dari sistem bagi hasil lebih berorientasi kepada perhitungan untung rugi dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kegiatan bagi hasil ini. Dengan anggaran yang relatif terbatas tidak tertutup kemungkinan bagi pihak pemerintah untuk menerapkan sistem ini dengan pihak ketiga, tentunya dengan aturan yang disepakati bersama serta berkekuatan hukum.

Kerja paksa pernah dilakukan pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu. Suatu  pembangunan hasil kerja paksa yang sangat populer dalam sejarah ialah pembangunan jalan dari Anyar ke Panarukan sepanjang ribuan kilometer di bawah pengawasan Daendles. Pihak penjajah waktu itu ingin segera mewujudkan pembangunan kendati dengan alokasi anggaran sekecil mungkin bahkan jika mungkin tanpa dana sama sekali. Walau cara membangun seperti ini tidak manusiawi, sebagai ilustrasi masa lalu, diperlukan untuk memberikan imej bahwa dalam melakukan pembangunan ada dua variabel penting yaitu, kebutuhan yang nyata dan kemauan yang keras.

Beberapa gambaran di atas adalah sebuah pemikiran sebagai pengayaan untuk mencari solusi guna mengimbangi keterbatasan anggaran terhadap tuntutan  besar dari kebutuhan pembangunan.  Masih banyak solusi lain yang mungkin dihadirkan oleh para birokrat untuk menyikapi segala gejala yang menitikberatkan kepada kebutuhan pembangunan yang pada akhirnya diharapkan akan mampu untuk menyingkap tabir “Antara Kemampuan dan Kebutuhan”.  

Selasa, 19 Juni 2012

Peninggalan Seni Di Bireuen

Pelaminan ini merupakan rekonstruksi hasil bahasan beberapa perajin pelaminan Bireuen masa lalu, 2001




 PELAMINAN  KHAS  BIREUEN
Aceh kaya akan budaya dan adat istiadat warisan masa lalu. Bagi komunitas tertentu, merupakan satu keharusan agar budaya peninggalan tersebut perlu dipertahankan sebagai satu kekayaan yang tak boleh pupus keberadaannya. Termasuk keberagaman motif khas Aceh dari sejumlah kabupaten di Aceh. Menelisik lebih jauh, masing-masing daerah memiliki ciri khas tertentu dengan gaya, aksen maupun pesona motif tersendiri. Cara pembuatannyapun relatif berbeda dengan daerah Aceh lainnya. Di samping menarik, makna dan nuansa magis tersirat pula di dalamnya. Begitu halnya di Kabupaten Bireuen, motif orisinil seperti pada pelaminan Aceh semakin hambar karena jarang ditampilkan. Di banyak bagian, motif, corak bahkan permainan warna telah berbaur dengan daerah Aceh lainnya. Padahal kekuatan pesona motif Bireuen terletak pada lekukan tipis yang dibuat oleh tangan-tangan terampil perempuan setempat di masa lalu. Menurut perajin pelaminan masa lalu, pelaminan Aceh khas Bireuen hanya didominasi empat warna dasar, yakni merah, kuning, lembayung, dan hijau. Aksennya pun terbilang sederhana, sarat pengaruh kawasan berpenduduk dengan etos kerja tinggi.
catatan
Pada tahun 2001, pernah diadakan seminar nonformal bersama beberapa bidan pengantin masa lampau untuk mendapatkan gambaran bentuk asli pelaminan khas Bireuen, yang difasilitasi Dekranas Bireuen. Pelaminan tradisional khas Bireuen lebih menggambarkan kesederhanaan dengan memposisikan tempat duduk pengantin tersembunyi di bahagian dalam. Warna dominan pada pelaminan ini adalah merah buah jemblang (bahasa Aceh disebut mirah jambe kleng). Kekhasan lain yang ditemukan pada pelamin Bireuen ini adalah penggunaan tirai terikat pada bagian depan dengan warna hijau, kuning, dan merah. Gambar di bawah merupakan rekonstruksi pelaminan tradisional yang diinformasikan oleh beberapa bidan pengantin terdahulu, dalam rangka mendukung Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV, Agustus 2004 di Banda Aceh. Sebagian bahan-bahan pendukung diperoleh dari sisa peninggalan masa lalu. Namun kasap bagian luar banyak dipakai dari produk terbaru dan bukan bermotif Bireuen. Di samping itu, pelaminan ini tidak dilengkapi dengan gantungan bola-bola benang (boh keuleumbu), bewarna merah, kuning, dan hijau. 

KIAT MEMBANGUN

MEMBANGUN JEMBATAN DI BIREUEN

klipping koran Tahun 2001
Pada masa awal pemekaran Bireuen sebagai kabupaten, yang ditandai dengan pelantikan kepala dinas, badan dan kantor di lingkungan pemerintahan kabupaten baru ini, dilakukan pembahasan tentang prioritas pembangunan fisik (infrastruktur), khususnya jalan dan jembatan. Dari aspek ini yang lebih utama adalah pembangunan jembatan besar yang terdapat pada sungai-sungai luas. Asumsi yang diperkirakan waktu itu adalah peluang prioritas pembangunan dari pemerintah atasan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur daerah sebagai  bahagian dari tujuan pembangunan nasional. Pada kesempatan ini, disusunlah rencana kerja pembangunan jembatan  dalam wilayah Kabupaten Bireuen meliputi, jembatan Krueng Meuseugob (sekarang Kecamatan Simpang Mamplam), Blang Mane (Kecamatan Peusangan Selatan), Sarah Sirong (Kecamatan Juli), Mon Klayu (Kecamatan Gandapura), Lawang Wie (Kecamatan Peudada), dan Lawang Uneuen (Peudada).  Perencanaan dan survey semua jembatan itu dilakukan oleh tenaga Dinas Bina Marga. mengingat ketiadaan anggaran waktu itu. Pada tahun 2001 jembatan-jembatan besar itu mulai dibangun dengan alokasi anggaran seadanya sesuai kemampuan APBK waktu itu. Penyelesaiannyapun memakan waktu beberapa tahun, ada yang dua tahun, tiga, bahkan terakhir yakni jembatan Mon Klayu yang diresmikan pemakainanya pada 2011 oleh Bupati Nurdin.
Jembatan Blang Mane, Peusangan Selatan, produk 2001 
Jembatan Krueng Meuseugob, Simpang Mamplam, 2001
Jembatan di atas merupakan jembatan rangka baja yang jika diperkirakan dengan kemampuan anggaran daerah relatif sulit dilaksanakan. Namun, kebersamaan yang terjalin dari berberapa tokoh masyarakat dalam mendukung Kepala Dinas Bina Marga beserta Staf untuk pengurusan ke Jakarta, berbagai kesulitan teratasi.   Hal ini perlu dikisahkan untuk menambah spirit pihak tertentu, khususnya aparatur dalam menyikapi kebutuhan pembangunan daerah.

Rabu, 13 Juni 2012

GANDAPURA, Gerbang Timur Bireuen Yang Mulai Tumbuh

RAZUARDI IBRAHIM di Gandapura, 2006, saat baru dilantik sebagai Kepala Bappeda Bireuen




Kawasan Gandapura dengan PKS (Pabrik Kelapa Sawit) 

 
 
SENI EKSPLOITASI KAWASAN
Sketsa Kawasan Gandapura Dengan Konsep Kebutuhan Pertumbuhan, tahun 2005
Gandapura, Membangun Dengan Kekuatan Kawasan
Kali ini saya mengulas tentang uji coba pertumbuhan kawasan, yakni Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen Aceh. Uji coba yang saya maksudkan bukanlah upaya coba-coba, akan tetapi mencoba menggerakkan potensi kawasan agar menjadi suatu ide pertumbuhan yang dapat sama diakui oleh semua elemen kawasan.
Pada saat saya dipercayakan menjadi Kepala Bappeda Kabupaten Bireuen pertama kali, yakni 6 Desember 2005, masa Bupati Mustafa A Glanggang. Saya berdiskusi dengan beliau tentang teknik-teknik membangkitkan ekonomi kawasan, dan beliau respon sekali kala itu. Pada 9 Desember 2005 saya membuat sketsa kawasan Gandapura, seadanya, hadiah dari saya untuk hari ulang tahun saya ke 44.
Dalam laporan terdahulu di Bappeda, banyak fasilitas yang dibangun pemerintah terbengkalai di sana, seperti pasar hewan, pabrik pakan ternak, dan lain sebagainya. Saya berasumsi waktu itu bahwa pertumbuhan Gandapura akan terpuruk mengingat pertumbuhan Kota Kutabalang yang berdampingan langsung dengan Gandapura, di sebelah barat, begitu hebatnya. Banyak orang-orang berniat berdagang di tempat itu, yang diindikasikan dengan banyaknya tumbuh ruko baru dan hari pekan yang ramai. Tidak kalah ketinggalan, Kota Krueng Mane, Kabupaten Aceh Utara yang terletak berdampingan langsung di bahagian timur, juga menunjukkan pertumbuhan luar biasa. Gandapura terjepit di antara dua pertumbuhan ekonomi kecamatan yang kuat, yang berpeluang menjadikan masyarakat Gandapura menjadi konsumtif tanpa produksi karena harga barang lebih murah di dua pertumbuhan yang menjepit itu.
Awal 2006, saya coba meliput ke kawasan kering dan tinggi, Glee Kuprai, bagian selatan Gandapura bersama dua rekan wartawan, Yusmandin Idris dari Serambi Indonesia dan Desi Safnita dari Harian Raja Post, di samping beberapa rekan lain dari Pemkab Bireuen. Saya merasa berkepentingan untuk mengekpose kawasan itu ke publik guna mendapatkan respon, sharing, kritikan, komentar, dan nilai positif lainnya. Sepulang dari tempat itu saya melihat kembali sketsa kawasan Gandapura beserta beberapa kebutuhan kawasan yang dirasakan dapat dijadikan titik tumbuh ekonomi. Sketsa itu saya perlihatkan kepada Ismail Adam, tokoh partai politik asal daerah itu. Respon beliau serta merta dan menjadikan saya lebih akrab serta dapat dijadikan rekan diskusi. Di coretan sketsa seadanya itu saya mengkhayal di tempat itu mestinya ada sekolah pertenakan, pabrik minyak kelapa, pabrik pakan yang berproduksi, pabrik besar, dan lain sebagainya, yang waktu itu tidak ada sama sekali, kecuali pasar hewan terbengkalai dan pabrik pakan ternak yang terbiarkan.
Ternyata banyak hambatan dalam menterjemahkan konsep ini ke sistem yang ada di lingkungan saya bekerja. Keuangan daerah yang belum kondusif, tenaga ahli yang minim, opini apatisme berkembang, dan lainnya, cukup memperberat pertumbuhan ekonomi. Dari beberapa presentasi yang saya lakukan, termasuk di legislatif dan lembaga-lembaga teknis daerah di  Bireuen, tidak membuahkan produk legalitas maupun desain teknis untuk landasan eksploitasi kawasan. Namun saya tetap menikmati sebagai suatu aktivitas seni yang harus dilalui. Waktu itu saya berusaha menghibur diri dengan semboyan, “Inilah Kanvas Sesungguhnya”.
Razuardi bersama Bupati Nurdin dan Muspika Gandapura rapat persiapan kawasan
Pada tahun 2007 saya dipercayakan Bupati Nurdin sebagai Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Kabupaten Bireuen, di samping tugas temporer sebagai Bapel KIB. Dalam posisi ini saya berpeluang mengajak rekan-rekan untuk berfikir kawasan. Tahun 2009 saya kembali lagi menjadi Kepala Bappeda setelah reposisi struktural produk mutasi. Hari itu saya ternikmati dengan menemukan kembali kanvas yang hilang,  kawasan Gandapura. Saya bicara lagi dengan bupati yang menjabat tentang konsep yang terbengkalai. Bupati humanis inipun bersedia untuk mendampingi aktivitas saya dalam mengunjungi Gandapura setiap saat. Dalam diskusi lanjutan, saya bersama Ismail Adam dan beberapa rekan mencoba mengulang kaji tentang judul konsep kawasan ini. Dengan keterbatan yang ada, produk diskusi hanya mampu menghadirkan suatu ungkapan konsep yakni, “Kawasan Industri Perternakan Terpadu Gandapura”.
Razuardi, Damdim Bireuen dan Kapolres Bireuen meninjau kesiapan PKS Gandapura
Singkat kisah, berbagai tempat konsentrasi masyarakatpun tumbuh di sana mendampingi pasar hewan tradisional yang telah lama menjadi andalan kawasan itu. Beroperasinya pabrik kelapa sawit (PKS), pada 2011, dalam sekala besar di dataran tinggi Gandapura semakin menjadikan kawasan itu dikunjungi berbagai pegiat ekonomi. Di samping saya menikmati kanvas terlukis oleh waktu, ulasan ini dapat dijadikan informasi bagi ang memerlukan. Setidak-tidaknya, semua kita terinformasikan teinformasikan tentang waktu relatif yang diperlukan untuk pembangunan kawasan di Bireuen, yakni 2006 hingga 2011, lima tahun. Hari ini kanvas itu dinikmati banyak orang, investasi dunia usaha dan masyarakat lumayan besarnya di sana. Tidak perlu khawatir terhadap ketiadaan atau keterbatasan finansial pemerintah, kemudahan perizinan dan respon serius dari aparatur cukup kuat dijadikan investasi pemerintah untuk menggerakkan kawasan. Begitulah kehendak alam. [rajju, 130612]
Bersama Yusmandin Idris di Gandapura, 2006

SMK Perternakan Gandapura



PKS jelang selesai konstruksi

Senin, 11 Juni 2012

TRADISI BUNGA DI ACEH






Wangi Bunga Aceh
Para wanita Aceh telah memanfaatkan aroma beberapa jenis bunga untuk ciptakan suasana nyaman dalam ragam acara atau perhelatan, ritual tertentu seperti ziarah, dan lain sebagainya. Wangi yang dimanfaatkan untuk itu masih dalam wujud bunga segar yang ditempatkan dalam wadah tertentu seperti dalong, talam, atau wadah terbuka lainnya.
Sekurang-kurangnya ada tiga jenis bunga yang terkenal di Aceh dan kerap menjadi trade mark dalam berbagai penamaan, seperti sanggar, kelompok kerja masyarakat, group tari, dan sebagainya. Jenis bunga dimaksud yakni, bungong jeumpa (bunga cempaka), bungong seulanga (bunga kenanga), dan bungong meulu (bunga melati). Ke-tiga jenis bunga tersebut memiliki wangi yang berbeda dan mampu dibedakan seketika. Bentuk dan jenis tumbuhannya pun berbeda, meskipun batangnya memenuhi unsur kayu. Cempaka memiliki bentuk panjang lancip dan memiliki dua jenis warna yakni, kuning dan putih. Pohonnya tinggi hingga mencapai belasan meter.
Kenanga juga memiliki pohon yang tinggi seperti cempaka, namun ada juga berjenis pohon rendah. Bunganya berwarna hijau kekuningan dengan bentuk seperti daun memanjang. Melati memiliki pohon yang rendah, paling tinggi seukuran manusia. Warna bunga ini putih bersih, namun dari jenisnya ada yang terdiri dari satu kelopak bunga, ada yang berlapis.  
Tak jarang pujian kepada gadis tertentu diibaratkan seperti bunga-bunga ini yang sering diungkap lewat syair lagu. Di saat farfum belum dikenal luas di Aceh, para wanita menyematkan bunga-bunga ini pada sanggul mereka. Ketiga bunga ini dirangkai memanjang untuk mudah dililitkan pada sanggul.
Masyarakat Aceh sudah memanfaatkan aroma bunga alami ini sejak masa kerajaan dulu. Untuk mengharumi istana, bunga-bunga ini ditamam di taman sehingga tatkala mekar keharuman menyusup ke ruang istana. Untuk mengharumkan ruangan, ketiga jenis bunga ini ditempatkan dalam wadah tertentu seperti diceritakan di atas. Keharuman yang disebarkan bunga-bunga ini bertahan kurang lebih hingga tiga hari, sebelum kering pada hari selanjutnya.
Semerbak ini juga dimanfaatkan masyarakat Aceh masa lalu untuk pelengkap aroma pelaminan  sekaligus bahan dekorasi. Belum lagi untuk ritual tertentu yang mentradisi di tengah masyarakat, seperti peusijuk, peusunteng, dan lain sebagainya. Memang banyak jenis bunga yang digunakan masyakat Aceh terdahulu, seperti bunga tanjung, mawar, dan lainnya, namun tidak sehebat kharisma ke-tiga bunga ini.