Senin, 25 Februari 2013

BATU NISAN TUN SRI LANANG


Batu Makam Teungku Di Anjong dan Tun Sri Lanang



Batu Nisan
Makam Tgk Di Anjong
Banda Aceh
Makam atau pusara merupakan peninggalan dari manusia yang dikebumikan atau dikubur pada tempat tertentu. Dalam keseharian, konotasi makam lebih di arahkan kepada kuburan sosok berjasa seperti raja, ulama, dan lain sebagainya. Dalam aspek sejarah, keberadaan makam cukup membantu informasi keberadaan sosok tertentu guna dikaitkan dengan kiprah masa hidupnya.

Di Aceh banyak terdapat makam bernisan batu berukir yang tidak memiliki identitas, khususnya di kawasan Aceh Besar. Pada makam tertentu, identitas sosok yang terbaring di pusara dapat dikenal setelah pihak pemerintah memasang pamplet nama yang diketahui melalui penelitian atau kesinambungan informasi dari para ahli waris.

Oleh karenanya, penelusuran makam yang dilakukan para ahli sejarah lebih dikarenakan keterbatasan informasi oleh berbagai hambatan. Kewajaran ini tak serta merta dapat terbantahkan, di samping hambatan baca tulis di kalangan masyarakat terdahulu, juga kepentingan sosial politik antar zaman kerap memupuskan keberadaan sosok tertentu dalam catatan sejarah.

Pendekatan makam yang dipilih untuk pembuktian keberadaan sosok di suatu daerah acap menemui hambatan, tatkala makam tersebut tidak memiliki ciri-ciri khusus seperti batu nisan beserta identitas lainnya. Lazimnya pada batu nisan makam sosok terpandang di Aceh dilengkapi aksara yang menjelaskan perjalanan hidup serta status sosok tersebut. Namun tidak jarang pula tanpa identitas, selain keasrian bentuknya yang mencirikan derajat ketokohan pemilik pusasa di tengah masyarakat.

Batu Nisan
Makam Tun Sri Lanang
Samalanga, Bireuen
Batu nisan yang diletakkan pada bahagian kepala dan kaki pusara beraneka ragam bentuknya. Menurut sebagian sejarawan, bentuk nisan yang melengkapi pusara masing-masing sosok sangat tergantung kepada tingkatan status sosial sosok tersebut semasa hidupnya, dan tidak tertutup kemungkinan terhadap tingkatan perkembangan seni ukir terbaik kala itu. Bahkan tidak pula jarang batu nisan bagi raja tertentu didatangkan dari luar wilayah kerajaan, seperti pada makam Ratu nahrisyah di Pasee yang berkuasa di abad ke-13. Marmer ukiran Persia yang menghiasi makam Sulthanah Kerajaan Pasee tersebut cukup mengisyratkan betapa agungnya pemimpin itu sehingga patut dihargai dengan nisan pilihan terbaik pada zamannya.

Begitupula dengan pusara Tun Sri Lanang di Samalanga, Kabupaten Bireuen. Batu nisan di pusara Tun Sri Lanang ini tanpa aksara yang mencantumkan namanya. Hanya kaligrafi pujian kepada Allah dan Rasulullah menghiasi makam tersebut, di samping dilengkapi pula dengan motif ukiran tertentu.

Secara fisik, nisan bagian kepala sama persis dengan nisan di bagian kaki. Kedua nisan ini dihubungkan dengan batu penutup berukir pada bahagian badan. Terkesan dua nisan dan batu penutup badan merupakan satu kesatuan dalam rancangannya. Indikasi ini dapat dibenarkan melalui pengamatan jenis batu yang sama persis pada makam Teungku (Tgk) Dianjong, Banda Aceh. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa nisan dan penutup makam ini didesain khusus dan siap dipasang pada makam tertentu.

Kesamaan batu yang digunakan pada kedua makam, yakni pada pusara Tgk Dianjong dan Tun Sri Lanang, bukanlah tanpa alasan. Kecenderungan khalayak menterjemahkan bahwa kedua sosok ini memiliki tingkatan sama di tengah masyarakat pada zamannya. Sejarah mencatat bahwa kedua tokoh ini hadir ke Aceh pada abad ke-17. Meskipun berjauhan tempat, kesamaan kedua batu makam tersebut menggiring pemikiran banyak kalangan terhadap hubungan di antara mereka.

Dalam banyak ulasan sejarah Aceh, nama Tgk Dianjong kerap diceritakan. Perlu kiranya mengulas tentang sosok ini meskipun sepintas. Pada masa pemerintahan Iskandar Tsani (1637-1641) didatangkan seorang habib kharismatis yang ditugaskan untuk membimbing dan mendidik masyarakat Aceh. Utusan Syarief Mekkah ini bernama Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H/1680 M), selanjutnya bergelar Habib Tengku Chik Dianjong yang terkenal dan dihormati Sultan beserta masyarakat Aceh umumnya. Bukti sejarah ini masih tersisa berupa  maqam ulama kharismatis itu di Desa Peulanggahan, Banda Aceh.


Minggu, 24 Februari 2013

HAK DALAM PEMBANGUNAN

Pengupas pinang Bireuen, 2010

Pada hakekatnya, pembangunan merupakan upaya pengakomodiran atau pemberian hak semua elemen yang berada di dalam suatu daerah atau kawasan. Hak-hak dimaksud termasuk pembagian belanja pembangunan yang tersistem dalam suatu proses penganggaran. Dalam aplikasinya, pengakomodiran ini dapat disaksikan pada sistem penganggaran pembelanjaan pembangunan daerah atau nasional, yang biasa disebut APBK, APBP atau APBN. Hambatan dalam pengakomodiran hak-hak semua elemen terhadap pengalokasian anggaran yakni kesulitan menginventarisir kelompok sasaran dari pihak berkepentingan (stakeholders) dalam suatu sektor tertentu. Contohnya, dalam suatu sektor perdagangan atau ekspor-impor komoditas pinang serta komoditas perdagangan lainnya. Pertanyaannya, bagaimana cara atau metode pemberian hak pembangunan bagi para pekerja kelas bawah di sektor pinang ini.

PROLOG KAWAH



prolog 
kawah pendakian

pendakian lelah menyenangkan
ulangi cerita kawah terbuka lebar
satu bulan jelang peringatan hari tangisan
yang dikemas untuk layak uji bulan depan
agar tidak gagal kibarkan bendera sukses
di peralihan hari yang satu ke yang lain

o, puncak yang dinanti
janjikan tak lagi berliang bulan lalu
yang dipertanyakan musabab oleh tabib wanita penanti
keganasan seperti apa pendakian itu
tak berbanding dengan Himalaya
juga Fujiama di negeri sakura

o, ini bukan kawah gunung berapi 
takpun aroma belerang ada di sini
bukan pula semerbak edelweis atau sebangsanya
tidak juga semburan gas aneh dari dalam kawah
tapi terus menggoda pengendusan

ah, jangan lagi, kata pengarah pendakian bergurau
ah, tapi ini yang kucari, sanggahnya lagi
biarkan aku tak melihat kawah itu
asal aku tau nikmati indahnya
tapi sepuluh hari pertama akhir tahun ini telah dekat
ya, aku tak peduli dengan kawah yang terjadi
asal pendakian menyenangkan dapat kurengkuh

nopember-desember 2012

MORALITAS RANCANG BANGUN INFRASTRUKTUR

Razuardi Ibrahim didampingi Sofyan M Saleh
dalam kuliah tamu, 18-02-2013 


Membangun Moralitas Rancang Bangun Infrastruktur

Pada Senin, 18 Pebruari 2013, Jurusan Teknik Sipil Unsyiah mengadakan kuliah tamu. Ketua Jurusan Teknik Sipil menghubungiku untuk dapat mengisi kuliah tamu tersebut. Materi yang kusampaikan pada hari itu berjudul Moralitas Rancang Bangun Infrastruktur. Ketua Jurusan Teknik Sipil Unsyiah, Ir Maimun Rizalihadi, M Sc Eng  mengatakan, “bahwa kuliah tamu merupakan program jurusan teknik sipil yang sudah berjalan selama 3 tahun terakhir.” Menurut Maimun, kuliah tamu ini sangat bermanfaat bagi perkuatan civitas akademika Fakultas Teknik Unsyiah, “khususnya mahasiswa,” kata Maimun.

Di hadapan tiga ratus mahasiswa dan dosen jurusan sipil yang mengambil tempat di Balee Keurukon Fakultas Teknik, aku mengharapkan adanya kontribusi moral dalam dunia rancang bangun infrastruktur di Aceh. “Kontribusi moral dalam hal ini dimaksudkan adalah bertahannya nilai-nilai suatu konsep ketekniksipilan yakni mampu membangun dengan safety, efisiensi dan efektif.” Banyak mahasiswa yang aktif bertanya dalam kuliah itu, sementara aku berpesan kepada mereka agar selalu mengedepankan moral dalam mendesain infrastruktur.

Dalam menyongsong usia ke 50 tahun ini, jurusan teknik yang berdiri sejak tahun 1963 ini, telah melahirkan sebanyak 3000-an lulusan yang tersebar di seluruh tanah air.  Di akhir pertemuan, aku berharap adanya keterkaitan berkelanjutan antara alumni yang juga praktisi di luar kampus dengan para pengajar di lingkungan kampus.  


TELAAH SASTRA TIMUR TENGAH


Di millenium ke-3 ini banyak karya sastra roman dari timur tengah yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Karya roman itu relatif vulgar untuk masa sebelum ini dan jarang beredar ke dunia luar. Begitulah keterbukaan dunia, dampak dari budaya massa. 

Sore itu
Terjemahan dari :
That Afternoon
karya : Sembel Du Kosem

Kuhubungi Sefney Dorris untuk bertemu di kantor sore itu. Wanita belia itu mengiyakan dengan perasaan berat. Setidaknya, begitu yang tersirat dari komunikasi beberapa hari terakhir, layaknya pasangan mesra yang sedang dirundung soal pelik. ”Sudah Zel, kita cukupkan saja sampai di sini”, ungkap Sefney sejak tiga hari lalu. Aku selalu berkeras untuk bertahan. ”Tidak Sef, aku tidak mampu melupakanmu”, kataku selalu berdalih. Tak mudah melupakan sosok Sefney, rupawan berparas Lebanon, pemilik banyak talenta yang kerap menumbuhkan opini kekaguman setiap orang berkenalan dengannya.

Cintaku kepada Sefney sulit diukur dengan wujud apapun, begitupula sebaliknya. Banyak kisah romantis mendukung ketulusan cinta kami yang terbangun itu. Begitu indah, begitu hakiki dan semakin menguasai perasaan masing-masing. Terlebih lagi saat berdua beberapa minggu silam yang kami lalui di Venecia Appartement cukup membahagiakan, ”tak berbanding”, komentar  kekasihku itu berkali. Akupun menimpali dengan ucapan sama, penuh pengakuan. Suasana romantis ditambah dengan ekspresi ketangguhan cinta masing-masing seakan melupakan kami berdua punya pasangan lain. ”Rozel, belum laparkah engkau?”, tanya Sefney lembut sayang mengingat aku seharian tidak mencicipi sepotong pizzapun, makanan pokok negeri itu. Aku menggeleng, ”Kenikmatan ini melebihi segalanya”, balasku. Peluang menyiakan waktu seakan tertutup rapat oleh bongkahan besar cinta kami di musim liburan itu.

Pertemuan sore itu terlihat Sefney sedikit murung. Aku menegurnya mesra, sambutannya dingin tanpa ekspresi. Kuungkap perasaanku kepadanya, dia gelisah bercampur marah. Terkadang sedikit mengancam untuk tidak menemuiku lagi. Kuremas jemarinya, dia tak membalas kecuali memandangku jengkel. ”Sudah Zel, kita akhiri semua ini, lupakanlah,” ucapnya pelan. Aku tetap keras bertahan meyakinkan diri, dia milikku.

Kutatap dia lama-lama, kutarik lengannya. Dia berdiri melayani sedikit kesal, ”mengapa tak mengerti juga”, bentaknya pelan.”Tidak Sef, aku sangat mencintaimu.” Lantas kupeluk ia erat sekali, kucium kedua pipinya, keningnya, dan bibirnya juga. Perasaanku semakin tak menentu. ”Aku tak sanggup kehilangan engkau Sef,” mengiringi dekapan eratku jelang melepas. Kami duduk lagi di kursi semula, bersebelahan. Sesekali dia menatapku untuk kembali berpaling. Kami berdua menyambung cerita yang kurang berpihak kepada cinta besar termiliki. Kembali diam, hening tanpa komentar. ”Aku tersiksa Zel, tidak sanggup aku memelihara cinta besar ini”, gumamnya di sela-sela diam.

LUKISAN VISI


Lukisan Visi

Lukisan Visi, 1979
Aku menyaksikan lukisan berwawasan visi yang menginformasikan aktivitas perusahaan ke depan. Lukisan itu buatan tahun 1979 yang tertera di bagian bawah sudut kanan, dengan nama BUT MR 1979.  Aku pertama kali melihat lukisan yang melekat di dinding rumah sakit PT Arun itu pada 1981, tatkala aku menjemput sebuah kalkulator pemberian Om Ridwan Mahmud. Lukisan itu sebelumnya dilekatkan pada ruang resepsionis rumah sakit itu sehingga terlihat jelas dari jalan dan mampu mengundang perhatian yang melihat. Ukurannya terlihat dominan menutupi sebagian dari dinding, kira 1 x 3 meter, yang terdiri dari 2 keping terpisah. Bahan media lukis tersebut bukan dari kanvas, tetapi dari papan yang diketam rapi dengan permukaan bertekstur.

Lukisan itu mengesankan dampak hadirnya kilang LNG terhadap peningkatan pelayanan agama, budaya dan lingkungan. Meskipun dilukis dengan teknik grafis, makna yang dipersaksikan tidak terlalu sulit untuk dipahami awam. Tidak mustahil, manakala pertama kali awam melihat lukisan itu, akan terlintas suatu masa gemilang pasca gas seperti banyak diseminarkan para pakar waktu itu. Memang benar, pada 1995 kalau tidak salah, PT Arun meraih gemilang yang ditandai dengan banyaknya program bantuan ke desa binaan, penyaluran zakat, hewan kurban, pembangunan rumah dhuafa, pentas seni budaya, penanaman pohon dan lain sebagainya. Waktu itu trent kilang itu beroperasi sebanyak 6 unit.

Pada 23 Pebruari 2013, malam, aku melihat lukisan itu berpindah ke ruangan dalam. Aku mencermati lagi pesan lukisan itu setelah 32 tahun lalu kecermati. Kali ini lukisan itu tidak dapat bercerita apa-apa selain mengarahkan perhatianku kepada tangki gas yang memang terlukis hanya 2 buah sejak dulu. Hari ini perusahaan raksasa ini hanya menunggu masa akhir yang banyak diceritakan berbagai kalangan tentang masa depannya. Betapa lukisan itu mampu bercerita dalam diam bagi yang meresapi.

MENDIRIKAN PAUD


Paud Tun Sri Lanang

Aku mendirikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Alibi bersama dua rekan jurnalis Bahrul dan Desi, pada 16 Juni 2006. Misi dominan dari lembaga ini adalah pencerdasan generasi dalam berbagai aplikasinya. Salah satu upaya untuk pencerdasan generasi ini yakni pendirian unit pendidikan anak usia dini (PAUD). Sebagaimana diketahui, pembentukan pola pikir anak yang mudah dan murah adalah pada anak berusia 3 hingga 5 tahun. Mengingat dalam ajaran Islam, tanggung jawab membangun pola pikir anak yang Islami merupakan tanggung jawab generasi sekarang maka tidak ada salahnya lembaga ini mengambil bagian dari tujuan umum mencerdaskan bangsa

Paud yang didirikan oleh lembaga Alibi ini bernama Tun Sri Lanang (TSL), berasal dari nama seorang Bendahara Johor, Malaysia, yang meninggal di Samalanga, Bireuen. Setidak-tidaknya, begitu informasi sejarah yang kerap diseminarkan dalam berbagai kesempatan. Semangat dari nama ini lebih kepada membangkitkan etika Melayu yang Islami kepada pola pikir generasi masa depan.

Paud TSL mulai aktif pada Juli 2011 dengan izin operasional dari Dinas Pendidikan diperoleh pada 23 Maret 2011. Angkatan pertama murid hanya 8 orang, sementara angkatan ke-2 murid sudah mencapai 32 orang diasuh 6 orang guru pada 3 kelas. Pada gilirannya nanti, Paud TSL akan merekrut anak-anak tidak mampu untuk sama mengecap pendidikan usia dini karena pendidikan merupakan hak semua anak-anak yang miskin sekalipun.