Senin, 12 Agustus 2013

PEKERJA SENI EDI

Pekerja Seni Edi

Edi dan kolam pemijahan
di samping rumah, 2013
Edi, pria kelahiran Jawa Timur 1962, merupakan pekerja seni yang sudah malang melintang di Aceh. Semula ia bekerja sebagai misionaris hingga memeluk Islam pada 1984 di terminal Tumbul Harjo, Jawa Tengah. Pada tahun 1987, Edi sempat beberapa bulan menetap di Jakarta dan mempertahankan hidupnya dengan bekerja sebagai pemulung. Dalam menapaki kerasnya ibukota, ia sempat berfikir untuk hijrah ke Aceh dan hasratnya itu dilaksanakannya pada bulan Nopember 1987. Di ibukota Serambi Mekah, Banda Aceh, pria bertubuh pendek sintal dan rada legam ini bergabung dengan pelukis ternama di kota itu, seperti Mahdi Abdullah, Round Kelana dan beberapa yang lain. Setelah menempa diri bersama para pelukis tersebut, Edi memutuskan pergi ke Langsa untuk bekerja sebagai seniman di kabupaten belahan timur Aceh. Setelah beberapa tahun hidup sebagai tuna wisma di Langsa, ianya mencoba mengadu nasib ke PT Arun sebagai pembuat poster setiap event kegiatan perusahaan gas itu. Ia bekerja sebagai tenaga kontrak di tempat itu sejak 1992 hingga 2009, seraya melatih anak-anak yang ingin belajar melukis.  
 
lukisan Edi
Selepas kontrak di PT Arun, Edi kembali ke Langsa untuk memulai usaha baru yakni menjual ikan hias dan udang lobster hasil pemijahannya sendiri. Jenis ikan hias yang dipelihara Edi beraneka ragam, antara lain ikan gobi Jerman, laga, moli balon, black moli, sepat Arab, louhan dan beberapa yang lain. Banyak para agen yang datang ke rumah Edi untuk membeli ikan hias dan lobster padanya, umumnya dari Lhokseumawe dan sekitarnya. Menariknya, pemijahan lobster air tawar itu dilakukannya dengan coba-coba setelah ia peroleh dari Pak Zul Fire, yang hendak membuang tiga ekor anak udang itu dari akuarium. Pemasaran anak lobster produk Edi menjangkau Jambi. Anak lobster seukuran rokok dijualnya seharga Rp 2.000,- per ekor, sementara induknya Rp 100.000,- per ekor. Harga ikan hias hasil pemijahan Edi juga tidak mahal, yakni Rp 1.000,- per ekor.
 
lobster hasil pijahan Edi

Untuk tempat pemijahan hewan-hewan air itu, Edi membuat kolam pemijahan di sisa lahan pekarangan rumahnya. Dari luas tanah 12 X 24 meter persegi sisa lahan yang dapat dimanfaatkan tidaklah luas, sekitar sepersepuluhnya karena dominan dimanfaatkan untuk rumah tinggal. Penjualan rata-rata per hari dalam keadaan sepi Rp 45.000,- per hari. Namun jika hari-hari tertentu, seperti hari raya, penjualan mencapai Rp 700.000,- per hari.

Jumat, 09 Agustus 2013

LAPORAN INFRASTRUKTUR LEBARAN

Pagi jelang siang, Jum'at, 9 Agustus 2013, Pak Bahrum alias Lebay Senang datang berkunjung melaporkan tentang jalan ke kampungnya Sekumur yang rusak parah. Linatasan jalan itu bernama Sekerak melalui Leubok Sidup berakhir di Sekumur.  Untuk memudahkan dapat dinamakan ruas jalan itu Sekerak-Sekumur sepanjang 30 km. Di tengah ruas jalan itu terdapat rakit penyeberangan karena tidak ada jembatan di situ. Lebar sungai yang diseberangi menurut Lebay Senang adalah 200 meter. Nama lokasi jebatan itu Rantau Bintang. 
Lebay Senang dan Aku, 9 Agustus 2013

Ada lagi laporan dari Ketua MPU Tamiang, Ustad Ilyas Mustawa, tentang jembatan Kampung Pasar yang lantainya berlubang besar. Banyak pengendara yang nyaris terperosok di tempat itu. Beliau menanyakan solusi tentang perbaikan lubang itu. 

Tadi malam datang pula Pak Fatah dari Kecamatan Rantau yang melaporkan tentang banjir di Bukit Suling bila hujan tiba. Bukit Suling terletak pada areal tinggi yang tertletak di lintasan jalan ke Rantau dari Kuala Simpang. "Saya heran mengapa tempat tinggi terjadi banjir," kata Pak Fatah menggeleng kepala. Aku menjawab, "ini engineering problem," disambut perangah Pak Fatah.

GENERASI APARATUR TAMIANG

Hari Jum'at, 9 Agustus 2013, aku dikunjungi praja STPDN asal Tamiang untuk berlebaran. Mereka terdiri dari 7 orang praja putri dan 15 orang praja putra dari empat angkatan. Empat orang di antara mereka akan diwisuda pada akhir bulan Agustus 2013 ini. Banyak perbincangan yang terjadi bersama mereka, khususnya dalam hal penataan kabupaten di masa depan. Aku meyakini, mereka mampu mengemban estafet penyelenggaraan pemerintahan yang dikesankan dalam beberapa diskusi. Razuardi Ibrahim, 090813

Kamis, 08 Agustus 2013

IDIL FITRI 1434 H

Razuardi Ibrahim bersama unsur forkopimda
menanti pelepasan pawai takbiran, tamiang 7 Agustus 2013 

Idul Fitri kali ini aku nikmati pada tempat dan suasana berbeda. Hal ini terkait dengan lokasi tugasku yang baru, Aceh Tamiang. Sejak malam takbiran, 7 Agustus 2013, aku mulai terlibat dalam prosesi seremonial hari besar Islam. Antusiasme masyarakat berkolaborasi dengan para petinggi aparatur di daerah itu cukup mendukung suasana apresiatif terhadap aktivitas syiar agama Islam. Ribuan orang dan ratusan kendaraan tumpah ruah di halaman kantor bupati kabupaten tapal batas itu. Kemacetan di mana-mana, di sepanjang lintasan jalan nasional Banda Aceh-Medan. Malam itu juga, aku dan unsur Forkopimda mengikuti pawai keliling kabupaten yang disambut lambaian masyarakat di sepanjang lintasan. 

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1434 H
mohon maaf lahir bathin

SUATU ADAGIUM

Tidak jarang terberitakan, bahkan tersaksikan kegagalan perencanaan yang bermuara kepada kehancuran konstruksi. Keadaan menajadi fatal, manakala kehancuran yang terjadi mencederai atau menewaskan banyak manusia. Mungkin saja pihak tertentu memvonis bahwa kegagalan itu merupakan tanggung jawab personal. Indikasi ke arah ini dapat disinyalir dari rendahnya responsibiliti kelompok dalam merekomendasi kausalitas dan dampak kegagalan infrastruktur tertentu. Namun, intervensi mindset berpeluang membangun definisi baru terhadap keberadaan kelompok ahli rancang bangun di suatu tempat atau kesamaan proses dari produk perancang itu sendiri. Artinya, tidak tertutup kemungkinan bahwa mindset awam memvonis kualitas sama bagi asal kelompok perancang akibat kontribusi kegagalan personal.  
 
Abutmen tanpa pondasi memadai pada salah satu
jembatan baru di Aceh, runtuh sebelum waktunya, 2013

Aku ingat dalam suatu seminar ke-tekniksipilan tentang suatu semboyan yang terusung sejak lama, yakni kegagalan seorang dokter hanya mengorbankan satu nyawa namun kegagalan seorang insinyur dapat memusnahkan ribuan jiwa. Tetapi aku belum mampu memaknai sejauh mana semboyan ini berlaku dan untuk siapa dia hadir. Para awam pro teknik sipil mengakui kebenaran semboyan ini bahkan sudah merambah dalam suatu strata adagium tanpa bantahan. Pada saat ini aku masih ingin mengingat kembali sosok mana pencetus adagium itu untuk sama mempertanggungjawabkan kelahirannya bahkan keberlanjutannya.

Rabu, 07 Agustus 2013

JUMPA PARTE

Jumpa Parte, 3 Agustus 2013


Mereka duduk semeja, mengisahkan masa lalu tatkala aktif di kampus. Ada Anton Kamal bersebelahan dengan Alfiansyah yang sekarang aktif sebagai dosen FT. Juga Abustian yang aktif di Mapala Leuser bersebelahan dengan T Nahar, sosok low profil yang biasa tanpa bantah dalam berbagai aktivitas kampus. Aku menyaksikan suasana itu layaknya di kantin FT sedang menyusun menu acara. Terlebih lagi ada Ratna Dewi, yang hingga hari ini aktif berperan sebagai pengutip sumbangan. Mereka saling usik tentang masa lalunya yang terlewati dengan banyak cerita. Aku mendengar ocehan mereka tanpa respon berarti, yang katanya sistem kita masih "suka bisik-bisik," tanpa solusi. Mereka dedengkot parte buruh yang pernah berkarya di masanya.

POSE PUASA

3 Agustus 2013