Marah Untuk Madonna
Suatu kali aku menghampiri bajaj yang sedang
mangkal di kawasan pasar baru, Jakarta, untuk menumpang. Pengemudinya pria
paruh baya berkulit legam dengan rambut lurus belang hitam putih, kusut masai.
Dia bersedia mengantarku ke Hotel Sriwijaya yang tidak jauh dari tempat itu.
Banyak cerita yang kami ungkap sepanjang jalan dan sesekali ia terbahak
mengulas keadaan zaman. Terkesan pria ini senang menghujat pihak lain, tersirat
dari caranya mengungkap tanpa enggan mengulas kekurangan orang tertentu. Tidak
jarang ia memonyongkan kedua bibirnya yang tipis, meyakinkan keburukan orang
yang dikisahkan.
Dalam bahasan ringan waktu itu, terkesan ia
nyaman menikmati kehidupannya dengan pola hidup sederhana. “Kalau pendapatan sudah mencukupi saya pulang, karena jam kerja saya
tentukan sendiri,” katanya dengan sumringah. Tiba-tiba intonasi suaranya berubah, tatkala
bahasan beralih ke ranah kehidupan artis. “Memang
Madonna itu tak tau diuntung,” katanya mengomentari sosok artis, penyanyi
cantik level dunia. Aku terperanjat seketika menyaksikan perubahan spontan
dalam dirinya, tanpa gejala terlebih dahulu. Keningnya mengerut seakan berfikir
keras tentang sosok artis idola banyak orang itu. Penasaranku semakin memuncak,
manakala mulutnya tak henti menghujat Madonna, mulai gaya berpakaian hingga
tampilan goyang panggung. Aku memperhatikannya dalam-dalam sambil membangun
dialog.
“Wah,
ada apa dengan Madonna?,” tanyaku.
“Dia
memang sombong, sok cantik,” jawabnya singkat.
“Lho,
apa dia kenal dengan abang?,” tanyaku penasaran.
Orang itu diam seakan tak mendengar
pertanyaanku selain matanya memandang tajam lalulintas lain yang berada di
depan bajaj bututnya. Sesekali hidungnya mendesis mendorong nafas petanda
amarahnya belum reda. Kuulangi pertanyaanku beberapa kali sambil menjulurkan
kepala ke depan.
“Apa
Madonna mengganti nomor handphone-nya?,”
“Terserah
dialah, itu bukan urusanku,” jawabnya keras seraya sekilas`memandangku. Aku
semakin penasaran setelah beberapa pertanyaan seputar kedekatannya dengan
Madonna kupertanyakan dan ditepis olehnya.
“Jadi
apa urusan abang dengan Madonna?,” tanyaku keras ke telinganya dengan sedikit
jengkel, berharap mendapat jawaban. Wajahnya
masih legam memerah petanda menahan marah. Tanpa kuduga, dia berujar perlahan, “bagaimana saya tidak marah, sudah cantik,
suara bagus, kaya lagi, tinggal jauh pula di sana”. Aku terdiam lama
memperhatikan pemegang kemudi bajaj itu sambil menerawang tentang suatu gejala.
“Lantas, apa urusan dengan abang?,” tanyaku
rada mengejek. “Ya terserah saya lah,
tidak bisa menjangkau, bisa marah kepadanya,” jawabnya dengan tendensius. “Betul bang, abang benar, minimal abang bisa
nikmati hubungan dengan Madonna lewat cara abang,” kataku sambil berdoa
agar Madonna merasakan kemarahan pemilik bajaj itu bahkan menyesali. “Untung-untung dia datang ke Jakarta minta
maaf kepada Abang atas keteledorannya selama menjadi artis terkenal,” tambahku
lagi disambut senyum dan binar matanya.