Dalam sejarah perjalanannya, konsep rumoh Aceh telah terinfiltrasi ke dalam
tujuan aplikatif masyarakat yang di rasakan cukup bermanfaat. Tujuan aplikatif
ini tercermin dari beberapa aspek dominan yang langsung dapat terlihat dalam
kegiatan sehari-hari baik disadari, maupun tidak. Berikut uraian terhadap
beberapa aspek dominan hasil pengamatan dan masukan dari berbagai pihak
pemerhati di Nanggroe Aceh Darussalam.
a. Aspek Perencanaan
Pertumbuhan rumah tinggal seiring dengan pertumbuhan penduduk memberi
pengaruh terhadap style atau langgam
disain. Keinginan dari masing-masing pemilik rumah tinggal di Nanggroe Aceh
Darussalam cenderung mendapatkan
sentuhan etnik meski hanya sedikit. Para perencana rumah tinggal juga merasakan
hal serupa terhadap kecenderungan ini. ”.............Banyak
yang minta ambang pintunya bermotif Aceh, saya repot juga mencari
literatur.............”, demikian Iqbal, seorang Arsitek di kota
Lhokseumawe.
Rachmatsyah Nusfi juga sedikit
disibukkan oleh para owner menyangkut
penyusunan kerangka acuan rumoh Aceh
yang akan ditenderkan kepada para konsultan lokal. ”.........Mereka tanya
kerangka acuan sama kita, waktu tender mereka yang menang,..........., tapi
ketika mulai kerja tanya kita lagi...”, demikian keluhnya. Artinya pada aspek
perencanaan konsep dan filosifi rumoh Aceh telah menjadi bahan acuan yang wajar
untuk dipertimbangkan.
Salah satu disain ambang pintu rumah dengan
sentuhan ornamen rumoh Aceh
|
b. Aspek Eksibisi
Eksibisi sebuah istilah yang populer saat ini padahal arti sederhana yang
mudah dipahami oleh masyrakat awam adalah pertunjukan. Namun karena publikasi
dan promosi pada event-event tertentu yang bersekala internasional maka sering
orang memakai istilah ini.
Pameran yang mengeksploitasi keberadaan dan bentuk rumoh Aceh sudah sering dilakukan, baik pada sekala lokal seperti
Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), Musabaqah Tillawatil Qur’an, Pameran Pembangunan,
dan lain-lain sebagainya. Namun oleh karena kerangka acuan, konsep, serta
tujuan yang tidak jelas bahkan tidak didiskusikan oleh masing-masing komunitas
yang mengerti tentang itu maka pergeseranpun terjadi, dan dalam hal ini
pergeseran yang jelas terlihat adalah perubahan fisik bangunan.
”.....Saya lihat pada
PKA pertama, tahun 1972, seluruh bangunan Aceh yang ditampilkan masing-masing
kabupaten/kota, waktu itu Dati II namanya masih bercirikan bangunan khas
masing-masing..........., semua dari kayu.....”, ungkap Rachmat saat melatih para tukang di stand Kabupaten Nagan Raya, ”...........sekarang kan tidak,.....mereka
membangun sesuka hatinya saja,......jauh,......jauh,........sudah bergeser dari
konsep.”
Kekecewaan seorang Rachmatsyah
ada benarnya, ”..........mestinya,
kalaupun materialnya berbeda tapi konsep bentuk bangunan kan harus
spesifik............coba lihat, ada yang kayak rumahlah, kayak restoranlah,
wah........macam-macam............ini pertunjukan budaya”, tambahnya dengan
mata berkaca-kaca.
Anjungan Seuramo Bireuen di PKA-4 masih
mengutamakan khas daerah
Bireuen yakni rumoh santeuet
|
Papan nama anjungan Bireuen yang masih
menggunakan bahasa daerah.
|
Anjungan
Kabupaten Bireuen (Seuramo Bireuen) pada PKA-4 masih menggunakan kayu dan
bentuknya mengikuti bangunan rumoh santeuet yang banyak berkembang di Aceh dan
Bireuen khususnya. Hanya saja tiangnya ditinggikan sedikit, ”..........secara fungsi anjungan Bireuen
sudah maksimal, cukup manusiawi, karena kalau hujan pengunjung yang menyaksikan
acara di bawah tidak kewalahan,................yang penting kan masih
proporsional bentuknya”, komentar Rachmatsyah.
Permainan atap bangunan pada PKA-4 sungguh bervariasi, ada yang mengadopsi
atap Cakradonya yang berlapis tiga, adapula yang mencoba mengikuti bangunan
khas Aceh dengan atap menurun hingga mendekati tanah. Pergeseran disain ini
boleh jadi karena para seniman bangunan Aceh yang kian sulit didapati, atau
ketidakpahaman dari para seniman bangunan lokal terhadap batasan proporsi dari
sebuah bangunan rumoh Aceh, bahkan terbuka kemungkinan para pelaksana bangunan
ini bukan orang yang tepat untuk itu.
Zakaria Ahmad menceritakan, ” Sejak
semula arsitek de Bruin menyadari bahwa ia tidak bermaksud menghancurkan
arsitektur tradisional dengan pembuatan
Mesjid Raya Baiturrahman tersebut. Hal ini dibuktikannya sewaktu Gubernur Aceh
Swart tahun 1916 meminta kepadanya merencanakan sebuah bangunan kecil tempat
gantungan lonceng Cakra Donya. Bangunan kecil itu diwarnai oleh arsitektur
tradisional yaitu bahagian atap berundak-undak. Atap lapis pertama mengambil
model atap rumah Aceh lengkap dengan tulak angennya dan atap pada lapis
selanjutnya mengambil model dari mesjid tradisional Aceh”.
Dari yang diceritakan di atas,
tersirat bahwa arsitek de Bruin selaku orang luar (kaum penjajah dari Belanda)
bekerja dengan nurani kearsitekturannya meski untuk sebuah banguna kecil
sekalipun, tidak serta merta membawa pembaharuan di bidang rancang bangun
bentuk bagi kebutuhan kelangsungan budaya. Karya de Bruin inilah yang dapat
disaksikan hingga sekarang di lingkungan meusium Aceh di Banda Aceh.
c. Aspek Ketahanan Budaya
Ketahanan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian sempit yakni suatu upaya agar masyarakat awam mudah mengerti terhadap budaya Aceh yang telah lama berkembang dan menuntun peradaban di tengah masyarakat. Biasanya, ketahanan budaya di tengah masyarakat ini terindikasi dalam bentuk upacara peradatan, tingkah laku keseharian, serta kehendak untuk mengakomodir ragam seni yang telah mengakar di tengah masyarakat, termasuk seni rancang bangun.
Di Aceh banyak kebutuhan seni bangunan yang mengakomodir arsitektural Aceh, meskipun bukan milik pemerintah. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam masyarakat Aceh sendiri masih bertahan nilai-nilai budaya masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
- Akbar, Ali, 1990, Peranan Kerajaan Islam Samudra-Pasai Sebagai Pusat Pengembangan Islam Di Nusantara, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.
- Dekranas Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam, 2002, Ragam Hias dan Motif Aceh, Banda Aceh.
- Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat, 1996, Piasan Raya Alam Budaya Pantai Barat, Meulaboh.
- Yusuf, Maimun, 1996, Catatan Seminar Motif Aceh pada Perencanaan Kantor Bupati Aceh Utara, Lhokseumawe.
- Nusfi, Rachmatsyah, 1988, Laporan Survai dan Perencanaan Stand Pameran Mobil Oil pada PKA-3, Blang Padang, Banda Aceh.
- Nusfi, Rachmatsyah, 2004, Persiapan Seminar Rumoh Aceh pada PKA-4, Taman Sri Ratu Saifuddin, Banda Aceh.
- Nusfi, Rachmatsyah, 2004, Pembangunan Rumoh Aceh Stand Kabupaten Nagan Raya pada PKA-4, Banda Aceh.
- Ibrahim, Razuardi, 2004, Pembangunan Seuramo Bireuen pada PKA-4, Banda Aceh.
- ZZ, Muhammad, 1986, Seni Rupa Aceh, Dinas Perindustrian Daerah Istimewa Aceh bekerjasama dengan Taman Budaya Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
- Yayasan Festival Istiqlal, 1993, Al Qur’an Mushaf Istiqlal Menapak Kembali Seni Asasi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar