Antara Kemampuan dan
Kebutuhan
210203
Ketika
pertemuan kecil berlangsung di ruang salah seorang Asisten Sekretariat Daerah Kabupaten Bireuen, seorang pemimpin
sebuah institusi mengeluh berat yang katanya, “Bagaimana ini semua, ……….., usulan proyek yang masuk dari masyarakat
sudah 30 milyar, hutang proyek tahun lalu saja sudah mencapai 12 milyar, itu
belum tiga bidang lain yang berada di bawah saya…………………”. Asisten dan pemimpin institusi lainnya hanya
terdiam tidak memberi tanggapan apa-apa, namun menyimak keluhan itu. “Itu belum lagi usulan dari tokoh-tokoh
masyarakat, maksud saya jangan kerja kita berulang-ulang, maunya kita sekali
kerja klop……,”
sambungnya
lagi. Pemimpin institusi perencanaan kabupaten yang hadir dalam forum kecil itu
sedikit terusik, “Hm….begini pak, kita
semestinya mengetahui bahwa kita sedang berkecimpung dengan manajemen
perubahan. Jadi dengan kesadaran yang
tinggi kita dan para staf mesti mampu untuk mengatur dan mengantisipasi setiap
kendala yang terjadi dalam manajemen perubahan
itu, sebab perubahan itulah yang abadi….”, katanya menjelaskan.
Aku juga diam saja, karena waktu itu aku menjabat Kepala
Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) yang tidak
layak berkomentar panjang tentang keluhan serupa itu. Namun aku paham, sepenggal dialog tadi bermakna
cukup mendalam bagi para birokrat. Di sana tersirat bahwa ada
permasalahan yang cukup mendasar dalam menyahuti program pembangunan sebagai suatu kebutuhan dengan kegiatan
pembangunan sebagai suatu keinginan. Kebutuhan pembangunan memiliki esensi tentang tuntutan yang harus
dipenuhi dalam mengatasi persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dengan
jumlah yang tidak terbatas, sementara kemampuan untuk mewujudkan kondisi itu
sangatlah terbatas. Keinginan hanyalah sebatas upaya perwujudan sesuatu yang
sifatnya naluriah dan kadangkala tidak memenuhi standar jastifikasi yang
diperlukan.
Dalam paradigma baru sudah
semestinyalah terpola pemikiran pada setiap aparatur bahwa diperlukan
langkah-langkah dalam menyikapi suatu kebutuhan yang besar dengan keterbatasan
yang ada, khususnya anggaran, oleh karena para aparatur telah terpola dengan
pemikiran bahwa setiap kegiatan berkaitan erat dengan alokasi anggaran, yang
akhirnya kemampuan menyelesaikan suatu kegiatan diukur dengan nilai kontrak ke
pihak ketiga.
Sesungguhnya, kontrak,
swakelola, gotong royong, bagi hasil, kerja paksa (rodi) dan lain-lain
sebagainya,
merupakan
suatu tindakan dalam mengupayakan agar kegiatan yang menjadi kebutuhan dapat
segera diwujudkan. Dengan kemampuan alokasi anggaran yang relatif kecil,
sementara gambaran kebutuhan yang relatif besar, mestinya dapat dipilih metoda
pelaksanaan kegiatan di atas dengan target pencapaian kebutuhan semaksimal
mungkin, sehingga persoalan pembangunan yang ada di tengah masyarakat dapat
teratasi semaksimal mungkin pula.
Kontrak ialah suatu sistem
melaksanakan kegiatan pembangunan dengan
melibatkan pihak ketiga (biasa dikenal dengan kontraktor) dengan segala
konsekuensinya. Konsekuensi yang dimaksudkan di sini ialah segala beban-beban
yang menjadi kewajiban dari pihak pemberi tugas dan tuntutan hak dari pihak
pelaksana tugas sebagai akibat
diadakannya sebuah transaksi kontrak. Dengan demikian harga kegiatan yang
menjadi beban kontrak menjadi relatif besar karena telah mengandung, pajak,
keuntungan, biaya tak terduga, dan lain-lain.
Swakelola ialah suatu sistem
melaksanakan kegiatan pembangunan dengan mengandalkan keahlian yang dimiliki
oleh organisasi serta peralatan yang tersedia, namun kemampuan anggaran yang
tersedia hanya cukup untuk pengadaan
material atau bahan-bahan yang diperlukan untuk kegiatan itu. Dengan
demikian harga pekerjaan yang dilakukan dengan sistem swakelola ini relatif
lebih kecil oleh karena, keuntungan, biaya tak terduga, dan lain-lain yang menjadi
beban kontrak tidak terdapat di sini.
Gotong royong adalah sistem
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan seluruh
komponen masyarakat. Cara membangun seperti ini telah biasa dilakukan yang
umumnya untuk fasilitas umum seperti tempat ibadah, jalan desa, prasarana olah
raga, dan lain-lain dalam skala kecil.
Potensi yang diandalkan dalam bergotong royong ialah kemauan bersama
yang ada dalam masyarakat untuk mewujudkan kebutuhan bersama. Tentu dana yang
dibutuhkan dalam gotong royong ini hanya untuk pengadaan material dan biaya
akomodasi atau konsunsi saja.
Bagi hasil juga merupakan upaya
dalam mewujudkan produk pembangunan dengan membangun sistem bagi hasil dari
hasil pembangunan itu sendiri. Kecenderungan dari sistem bagi hasil lebih
berorientasi kepada perhitungan untung rugi dari pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap kegiatan bagi hasil ini. Dengan anggaran yang relatif
terbatas tidak tertutup kemungkinan bagi pihak pemerintah untuk menerapkan
sistem ini dengan pihak ketiga, tentunya dengan aturan yang disepakati bersama
serta berkekuatan hukum.
Kerja paksa pernah dilakukan
pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu. Suatu
pembangunan hasil kerja paksa yang sangat populer dalam sejarah ialah
pembangunan jalan dari Anyar ke Panarukan sepanjang ribuan kilometer di bawah
pengawasan Daendles. Pihak penjajah waktu itu ingin segera mewujudkan
pembangunan kendati dengan alokasi anggaran sekecil mungkin bahkan jika mungkin
tanpa dana sama sekali. Walau cara membangun seperti ini tidak manusiawi,
sebagai ilustrasi masa lalu, diperlukan untuk memberikan imej bahwa dalam melakukan
pembangunan ada dua variabel penting yaitu, kebutuhan yang nyata dan kemauan
yang keras.
Beberapa gambaran di atas adalah sebuah pemikiran sebagai
pengayaan untuk mencari solusi guna mengimbangi keterbatasan anggaran terhadap
tuntutan besar dari kebutuhan
pembangunan. Masih banyak solusi lain
yang mungkin dihadirkan oleh para birokrat untuk menyikapi segala gejala yang
menitikberatkan kepada kebutuhan pembangunan yang pada akhirnya diharapkan akan
mampu untuk menyingkap tabir “Antara Kemampuan dan Kebutuhan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar