M Isa, Zulkifli, Razuardi Ibrahim, Agustin, dan Jafar di Diklat Depdagri 9 Desember 2014 |
Kebenaran
Dalam
renungan dirgahayuku, Selasa, 9 Desember 2014, terlintas empat kebenaran
berlaku yang pernah kudengar beberapa tahun silam. Di hari jadiku yang ke-53
ini, tatkala ibukota, Jakarta, terusik
ragam perdebatan partai politik, lintasan kebenaran dalam pikiran mengajak
membangun jawaban atas friksi kelompok anak bangsa seperti yang diusung
berbagai media saban hari. Sejak beberapa pesan singkat ucapan selamat untukku
tadi malam, tatkala pergantian hari kalender dari delapan ke sembilan, renungan
semakin keras untuk mengukur persoalan yang terjadi dengan empat kebenaran itu.
Pertama,
kebenaran hakiki, yakni kebenaran yang hanya dimiliki oleh tuhan pencipta
semesta alam. Kebenaran ini tidak mungkin terusik oleh bantahan pemikiran
manusia karena terakui oleh masing-masing. Kedua, kebenaran aksioma, yakni
pendapat umum yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya. Aksioma yang cukup
populer dan dianut oleh banyak pemikir, yakni vox populi vox dei, yang maknanya suara rakyat adalah suara tuhan. Selanjutnya yang ketiga, kebenaran
konstitusi, yakni kebenaran yang didasari atas aturan formal dalam Negara atau
lingkungan tertentu. Kemudian yang ke-empat, kebenaran tradisi, yakni kebenaran
yang dijunjung oleh adat berlaku di suatu tempat.
Kulanjutkan
pencermatanku hingga malam hari melalui televisi, dalam episode Indonesia Lawyer Club (ILC) yang
dimotori Karni Ilyas. Perdebatan semakin hangat yang diusung sosok-sosok orator,
bertahan dalam alasan kebenaran mewakili partainya masing-masing. Aku merasa
sulit menyimpulkan tentang kebenaran yang sesuai dengan ke-empat kebenaran di
atas. Namun untuk tidak terlalu memusingkan kepala, aku maknai sementara bahwa situasi sedang
membangun satu kebenaran lagi, yakni kebenaran membangun debat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar