Mutualisma
di Sarapan Pagi
Di
pertengahan tahun 1989, aku pernah ke tempat Nek Bunda, orang-orang Meunasah
Timue menyebutnya Cut Bunda, pagi-pagi dan sarapan di sana. Tetapi keluarga
nenekku itu membeli saban pagi atau tidak memasak untuk sarapan. Makanan
sarapan itu dibeli dari para penjual yang menggunakan gerobak di seputaran
Keudee Matang Geulumpang Dua. Ada nasi gurih, lontong, nasi sate, nasi bebek, pulut,
dan lain sebagainya. Waktu itu aku tidak begitu perhatian dengan keadaan
sarapan pagi yang harus dibeli atau dimasak di rumah. Pada tahun 2002, aku menginap
di rumah Tante Dali, termasuk adik sepupu ayahku, di jalan Langgar Kota Bireuen
yang berjarak kurang lebih 10 kilometer dari tempat Nek Bunda. Lama aku nginap
di situ, karena transportasi antar kota mogok dengan batas waktu yang tidak
pasti. Tante Dali pun saban pagi menyuruh Ibel untuk membeli sarapan pagi dari
pedagang gerobak di seputaran Bireuen. Kali ini aku mulai berpikir tentang
pembelian sarapan di setiap pagi. Aku coba hubungkan antara pembelian sarapan
pagi dengan penjual di gerobak-gerobak itu. Para pedagang bekerja sejak jam
setengah enam pagi hingga pukul 09.00 atau pukul 10.00 WIB. Sementara, keluarga Tante Dali tidak
direpotkan dengan harus bangun pagi-pagi untuk masak. Waktu itu aku
berkesimpulan, bahwa interaksi pembeli dan pedagang, khususnya sarapan pagi
sudah mentradisi di Bireuen dan Matang Geulumpang Dua. Oleh karena itu tidak
mengherankan, jika para pedagang sarapan pagi menjamur di kedua tempat itu,
dengan suasana saling menguntungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar