Mindset
Pernikahan
Suatu
kali di tahun 1990, aku saksikan suasana pergaulan bebas di sebuah kota, di
Pulau Jawa. Waktu itu aku baru menjadi pegawai negeri di Dinas Pekerjaan Umum
Aceh Utara. Kami dari seluruh Indonesia mengikuti Loka Karya Program Pembangunan
dan Pengembangan Kota Terpadu, suatu program ke-ciptakaryaan yang cukup populer
di kala itu. Di tahun itu juga aku baru pertama kali menumpang pesawat terbang
dan menginjak Jakarta, kota yang banyak dicita-citakan para pegawai untuk dapatkan
surat perintah tugas (SPT). Para seniorku dari departemen dan Kanwil PU
Provinsi mengajak mengunjungi salah satu tempat hiburan, diskotik terkenal. Cukup
bising tempat itu oleh suara musik yang keras mendebarkan dada sehingga
percakapan hanya bisa terdengar saat rehat. Selain membosankan bagiku, suasana
hingar bingar dan gemerlap begitu rupa tidak menjadi keinginanku untuk
menikmati suatu hiburan. Aku saksikan banyak perempuan paruh baya merokok dan
bercengkrama dengan pria yang lebih muda. Mereka terbahak di sela-sela
perbincangan yang tidak aku mengerti. Tetapi intinya mereka bercanda tentang
kebebasan memilih pasangan. Suatu komentar yang aku dengar dari mereka dalam
guyonan itu, “kalo nikah pake surat, kalo kawin pake aurat,” kata salah
seorang di situ. “Bedanya ‘s’ dengan ‘a’
aja,” sahut yang lain. Ungkapan itu aku anggap aneh dan lucu kedengarannya
hingga sering terulang dalam pikiranku. Di tahun 2014 ini aku mendapatkan
berita koran tentang ribuan pasangan tak berbuku nikah di Aceh. Tentu ungkapan
aneh beberapa tahun silam itu muncul kembali untuk memaknai keadaan.
Pernikahan
dipahamkan sebagai penjagaan atau pembatasan
individu untuk menikmati syahwat kepada lain pihak meskipun kehidupan
persyahwatan dengan pasangan masing-masing tidak menyenangkan lagi. Harapan
penjagaan itu mentradisi dan ter-mindset dalam
kultur masyarakat tertentu. Tidak jarang kejenuhan pasangan terekspresikan dari
tampilan masing-masing pasangan yang
tidak mempedulikan keharusan membangun daya tarik. Oleh karena itu, pada
masyarakat yang masih menghargai pernikahan sebagai legalitas sakral dalam mindset menyeluruh, perasaan bersalah di
tengah pandangan publik selalu terakui manakala aktivitas perselingkuhan dan
prostitusi diketahui para pihak tertentu.
Namun
demikian, pada masyarakat yang mengutamakan legalitas administrasi
kewarganegaraan, pernikahan merupakan pernyataan status untuk mendapatkan
pengakuan hak sebagai pasangan berkeluarga dalam suatu sistem legalisasi
kewarganegaraan meskipun kepuasan seksual didapatkan dengan cara lain di luar
ikatan pernikahan itu (ilegal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar