Sebab Tidak Hujan
razuardi, Tamiang, 15.12.13 |
Ketika pembekalan kader Partai Demokrat Tamiang di
Hotel Grand Arya, aku diundang atas nama Pemkab dan memberi kata sambutan. Pembuka
acara itu kerabatku juga, Mirwan Amir, selaku pimpinan pusat partai tersebut.
Aula hotel itu lumayan sesak oleh para kader muda. Cuaca pun cukup cerah dan dominan
mendukung suksesnya acara pada pagi jelang siang hari Minggu (15/12/13) itu.
Memang ketika pagi, sekira pukul 7.00
WIB, cuaca rada mendung. Banyak juga peserta yang harus ditunggu kedatangannya
karena alasan cuaca tersebut. Jelang pukul setengah sebelas perhelatan itu
dimulai dengan respon antusias luar biasa dari para kader. Kawanku yang juga
kawan Mirwan Amir, Rachmatsyah Nusfi, seniman Aceh, sibuk mondar mandir
memotret setiap momen bagus untuk diabadikan dalam Ipad, sebangsa komputer mini canggih yang mampu digunakan untuk banyak hal bidang
informatika. Rachmatsyah dikenal sebagai sosok nyentrik baik dari penampilan, pemikiran, berdialog, dan kesigapan
bergerak. Tentu segala atribut yang dimiliki Rachmatsyah, khususnya penampilan,
menyita perhatian seluruh peserta dalam ruangan itu. Setelah pembukaan, acara
dilanjutkan dengan rehat untuk minum kopi dan makan kue sejenak. Para peserta
memenuhi gang antar ruang di lantai tiga hotel itu sambil senda gurau, mengusik
sesama, bercerita, dan lain sebagainya layaknya orang-orang menikmati suasana
santai. Aku dan Mirwan juga berlaku sama seraya mohon ijin melintas di antara
kesesakan, untuk turun ke lantai dasar karena meyakini Rachmatsyah berada di
sana. Dalam henti di tengah gang berdesakan itu, suatu topik dialog dua
perempuan kader sempat mencuri perhatianku.
“O alah Na, hampir
aku gak bisa datang kesini,” kata seorang perempuan muda kepada lawan
bicaranya.
“Iya, aku juga
begitu, tempatku mendung, takut hujan,” sahut yang lain.
“Syukur Pak Mirwan
tanggap ya,” sambung perempuan pertama.
“Tanggap kenapa ?,” tanya
yang satu lagi.
“ Tadi kan pawang
hujan yang ada di ruangan, di bawa dari
Jakarta,”
“O iya, pantesan, dia
mondar-mandir dalam ruangan tadi,”
Rachmat, Yudha, dan Mirwan, Tamiang 15.12.13 |
Seakan tak percaya dengan yang aku dengar, jalan
kuperlambat sambil berpura-pura menuang kopi dari iglo. Pembicaraan mereka terhenti, entah apa sebabnya, yang jelas
bukan karena aku berhenti di dekat mereka. Aku memperhatikan kedua perempuan
muda berkerudung itu berharap ada yang kukenal. Tentu untuk mengulas tentang “sosok pawang hujan dari Jakarta” yang
didatangkan Mirwan Amir. Namun keduanya tidak kukenal selain menyaksikan mereka
terdiam kagum akan kehebatan ketua mereka yang mafhum akan situasi kadernya di
daerah. Lantas, “iya ya, nggak habis
pikir juga kita, sampai hal pawang hujan pun sanggup dipikir Pak Mirwan,” kata
salah satu dari mereka dan diamini yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar