Razuardi Ibrahim bersama Sekwan Tamiang Hidayat, Desember 2013 |
Dialog
Tak Punya Uang Pemilu
Suatu
malam di bulan Desember 2013, aku makan malam bersama Bupati Aceh Tamiang dan
beberapa kawan. Salah satu dari kawan tadi merupakan peserta pemilu legislatif
tingkat kabupaten yang akan berkompetisi pada April 2014. Dia bercerita bahwa
dia tidak memiliki dana yang cukup untuk persiapan pesta demokrasi tersebut.
Lantas
aku bertanya,
“berapa suara bapak perlu? ”.
Dia
menjawab,
“seribu lima ratus suara”.
“Jadi berapa bapak perlu
uang?,” tanyaku
lagi.
“Paling tidak dua atau tiga ratus juta lah untuk semuanya,” jawabnya
berharap mendapat respon bantuan dariku.
“O, tidak banyaklah,” kataku singkat.
“jadi............
?,” sambutnya
setengah penasaran dengan mata berbinar.
“Bapak
utang saja sama 1500 atau 2000 orang pemilih di daerah bapak, masing-masing
seratus ribu dan janji bayar setelah pemilu,”
sambungku
lagi.
“Wah apa maksudnya, payah lah
itu,” katanya
setengah kecewa.
“Kok
payah, ini sambil menguji benar atau tidak mereka setia kepada bapak,” jelasku.
“Nanti bayarnya gimana ?,” tanyanya penasaran.
“Tidak
usah digunakan uang itu, cuma untuk mengikat batin saja, jika ada yang tidak memberi
artinya dia tidak setia kepada bapak dan tidak akan memilih bapak,” jelasku lagi.
“Iya juga ya, cuma capek juga mencari orang sebanyak itu,” gumamnya.
“Ah,
tidak lah kalau diatur. Setelah pemilu kembalikan uang itu,” kataku lagi.
Aku
lihat dia merenung sejenak seraya
mengunyah tumis kangkung dan disambut gelak tawa kawan-kawan lain serta Bupati.
Aku menjelaskan juga, bahwa sebenarnya pemilu itu tidak perlu mengeluarkan uang
atau membeli suara. “Apa adanya saja Pak,” kataku ketika awal
bahasan. “Tapi tidak mungkin tanpa uang,
karena orang lain semua pakai uang,” sahutnya. “O, iyalah karena zaman sudah terbalik-balik, kita balik saja
konsepnya,” sambungku lagi seraya menjelaskan jika kita tak mampu memberi uang
maka kita harus mampu mengutang uang pada konstituen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar