Dokumen Perencanaan KIB Batee Glungku |
Buku Itu Mulai Berkisah
Aku
melintas di Batee Glungku pada siang cerah Selasa, 07 Januari 2014. Jelas
terlihat apa yang telah bangkit di kawasan itu. Tidak berlebihan jika aku cukup
gembira melihat ada aktivitas orang-orang bekerja di tempat itu. Terlintas hujatan
beberapa rekan terhadap Pak Mustafa A Glanggang dan aku beberapa tahun silam,
tatkala aku bertugas di Bireuen. Terberat dalam ingatanku, pada tahun 2008,
beberapa rekan jurnalis mengkomplain tentang konsep bangkitan kawasan industri
tersebut yang hanya dilakoni para pedagang air tebu peras. Namun, kegembiraanku
hari itu cukup beralasan manakala waktu gerakan pertumbuhan terjawabkan, yakni
sejak tahun 2006.
Pada
tahun 2007, aku bersama beberapa rekan aparatur dan masyarakat tempatan,
termasuk Adli Calok, melakukan pemetaan ulang terhadap luas kawasan. Luasnya
kurang lebih 795 hektar yang terdiri dari perbukitan dengan ditubuhi semak
belukar. Mereka cukup antusias menyahuti rencana itu, yang aku maknai dari
pertemuan di Mesjid Kubu Lapan. Aku sampaikan juga perencanaan yang telah
dibuat semasa Bupati Bireuen dijabat Pak Mustafa A Glanggang. “Yang direncanakan adalah Bireuen Industrial
Estate,” kataku dalam pertemuan itu. “Tujuannya
adalah untuk menghambat uang-uang yang melintas dari jalan ini,” sambungku
lagi seraya menjelaskan konsep sekatan uang mengalir ke luar melalui lintasan
jalan Medan-Banda Aceh. “Pelintas baik
pribadi maupun dengan bus umum harus mampir di sini,” kataku seraya
bergurau di warung air tebu suatu ketika.
Pada
tahun 2008, aku bersama beberapa jurnalis Bireuen pernah melakuan survey
informal melalui tanya jawab yang dilaporkan lewat tulisan. Umumnya karya
mereka berkualitas untuk pencermatan kondisi lapangan, meskipin beberapa dari
mereka komplain. “Dulu katanya mau buat
kawasan industri, tapi kok yang ada orang peras air tebu,” komen mereka.
Aku mencoba menjawab seadanya dengan berlandaskan konsep menggetarkan lahan
untuk sebuah pertumbuhan ekonomi masyarakat. Minimal dengan jawaban itu aku
juga memperoleh ilustrasi tentang cara berfikir dari yang tidak setuju tanpa
sebab itu. Suatu kali dalam diskusi dengan mereka, aku mendapatkan dua jawaban
sekaligus, yakni ketidaksepahaman mereka dengan Pak Mus dan sesama para
jurnalis itu sendiri. Hal ini lumayan menarik bagi pencermatanku tentang respon
berbagai elemen dalam menyahuti sebuah konsep ekonomi kawasan.
Aku
berusaha untuk mendapatkan angka kisaran tahun tentang perkembangan fungsi
lahan di Aceh. Rentang waktu dalam kisaran tahun, sejak perencanaan hingga
membangun imej para pelaku investasi yang pada akhirnya melakukan aktivitas di
tempat itu menjadi penting untuk diketahui berbagai pihak berkepentingan, untuk
dapat dijadikan indeks atau faktor-faktor yang mempengaruhi.
Pertumbuhan
kawasan Batee Glungku yang di-launching
pada 2006 hingga membangun daya tarik
pada 2012, rentang waktu yang diperhitungkan selama 6 tahun. Masa ini memaknai,
bahwa jika suatu konsep ekonomi kawasan akan diusung, manfaat pertumbuhan akan
menggeliat pada enam tahun mendatang. Artinya, setiap perencana tidak perlu
cemas terhadap kurangnya tanda-tanda pertumbuhan di tahun pertama dan kedua. Begitulah
kehendak alam adanya.
Dokumen Kawasan, 2006 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar