Esensi Anggaran
Anggaran pembelanjaan daerah kabupaten secara
umum dimaksudkan untuk melanjutkan roda pemerintahan kabupaten. Populernya dikenal
dengan istilah APBK, yang diusul untuk setiap tahun anggaran. Dokumen APBK ini
merupakan produk eksekutif (biasanya ditangani oleh Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten,
TAPK) bersama Legislatif atau DPRK melalui Tim Badan Anggaran (Banggar). Idealnya,
besaran anggaran yang menjadi pendapatan daerah dibelanjakan semaksimal mungkin
untuk kepentingan masyarakat. Oleh karenanya, dalam APBK itu secara umum unsur
pembelanjaan terbagi ke dalam dua kelompok besar, yakni belanja aparatur dan
belanja publik. Saat ini lebih mudah dipahami dengan istilah belanja langsung
(belanja modal), yang beresensi belanja untuk pelayanan kepentingan masyarakat,
termasuk pembangunan infrastruktur. Sementara itu, belanja tak langsung lebih
beresensi kepada anggaran operasional aparatur. Persoalannya, tidak jarang besaran belanja
tak langsung ini melebihi belanja langsung. Artinya, besaran anggaran untuk kepentingan
masyarakat relatif kecil dibandingkan dengan biaya operasional aparatur. Banyak
pihak memahami keliru tentang keberadaan APBK ini, khususnya dalam aspek
penentuan besaran belanja publik dan aparatur. Malah tidak sedikit Satuan Kerja
Perangkat Dinas (SKPD), melakukan protes tentang besaran anggaran yang
dikelolanya, bahkan “bubarkan saja dinas
kami jika memang tidak diperlukan,” ungkap sebuah pesan singkat tak jelas
asal usul. Sesungguhnya, pesan ini layak dicermati untuk menyimpulkan keadaan
seputar pengetahuan aparatur tentang tujuan dinas, badan, kantor atau lembaga
lain. Bahkan perlu juga untuk mencermati tingkat pemahaman aparatur terhadap jumlah
kelompok dan besaran dari stakeholders yang
dilayaninya.
Adalah suatu isu menarik seputar pembahasan
APBK Aceh Tamiang 2014 yang dapat diselesaikan tepat di akhir tahun 2013 lalu.
Isu berasal dari SMS gelap yang di-foward
oleh Sudirman, Kepala Bidang yang mengoreksi anggaran kabupaten-kota di
DPKKA Propinsi Aceh, kepada Abdullah, Kadis DPKKA Aceh Tamiang, semakin
memperkuat keyakinan tentang perlunya pemahaman tentang untuk siapa anggaran daerah itu disusun. Ungkapan dalam SMS yang
beresensi keluhan kepada pihak lain, seakan lebih mampu menyelesaikan persoalan
masyarakat di daerah itu. Bahkan tersirat, tendensi lobby yang dianggap lebih
berpotensi menyelesaikan keluhan itu telah ter-mindset sebagai suatu tradisi. Tentu kekeliruan dalam mengarahkan keluhan
semakin memperkuat asumsi bahwa ketidak-tahuan pihak tertentu tentang esensi
keberpihakan anggaran. Keadaan ini layak dijadikan bahan pembelajaran sebagai
upaya pencerahan aparatur dalam hal keberpihakan anggaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar