Pembelajaran
Alam
Aku
dilantik menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tamiang pada hari Senin, 13
Mei 2013, di Gedung DPRK Aceh Tamiang. Beberapa
hari sebelumnya, banyak beredar isu tentang penolakan orang luar untuk menjadi
pejabat di tempat itu. Tidak cukup dengan itu, pihak tertentu membuat selebaran
tentang penolakan tersebut dan dibagi-bagikan ke semua orang, termasuk kepada
aku sendiri. Waktu itu aku menetap di Hotel Arya karena rumah dinas jabatan
belum tersedia sehingga orang-orang yang ingin bertemu dan berkenalan denganku
datang ke hotel yang lumayan representatif di Kualasimpang. Aku biasa duduk dan
makan malam di Cafe Alfin, penyedia ikan bakar segar di sana. Begitupula untuk
sarapan atau minum kopi, aku biasa menikmatinya di cafe depan Kantor Bupati
Aceh Tamiang. Tentunya dengan aktivitas serupa itu, aku memiliki peluang
berteman dengan banyak orang, dari kelompok masyarakat biasa hingga pejabat
daerah. Menariknya, setelah aku berbincang atau berkelakar dengan orang
tertentu tidak jarang SMS dari orang tak dikenal menghampiri layar hape-ku. Pesannya beresensi agar aku
berhati-hati dengan orang yang tadi bersamaku dan tidak jarang pula dengan
kalimat yang menjelek-jelekkan. Sejak
itu aku mulai membatasi diri untuk rehat atau minum kopi di cafe dan
menyimpulkan, “janganlah orang baik menjadi
buruk karena berbincang denganku”. Pernah aku tanyakan soal ini kepada
Idris Berdan (Wak Reh), kerabat yang kukenal sejak 2006 melalui Hamdan Sati. Ia
berkomentar singkat, “kalo disini gak usah
heran Sek, itu hal biasa,” ujarnya. Gejala seperti itu aku rasakan selama
kurang lebih tiga bulan sejak aku bertugas di kabupaten ujung timur Aceh
tersebut. Untuk arifnya, aku memaknai gejala
ini sebagai proses pembelajaran alam yang cukup berarti bagi perjalanan antar
generasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar