Rukun
Islam Yang Cerah
Suatu
kali di era tahun 1980 hingga 1990-an aku sering berdialog dengan beberapa
orang kawan yang beda keyakinan denganku. Umumnya, pertanyaan mereka seputar
kelelahan kaum muslim menjalankan ritual agama. Tersirat mereka tidak
mengetahui tentang kewajiban dalam Islam, sementara tersaksikan oleh mereka
tentang aktivitas tambahan yang sering dilakukan komunitas tertentu. “Itu tidak wajib,” kataku suatu ketika,
tatkala seorang kerabat menanyakan tentang aktivitas perkumpulan suatu perkumpulan
dakwah di Lhokseumawe.
Dalam
pemahaman awam, Islam dapat diartikan selamat. Setidak-tidaknya, pengertian
seperti ini aku sampaikan kepada beberapa rekan non-muslim yang sering bertanya
tentang hal itu. Dalam posisi begini rupa aku berupaya agar tidak terjebak
dalam diskusi berat bahkan debat kusir yang berakibat ketidak-nyamanan berinteraksi
dengan mereka. Aku tidak merasa lebih baik atau puas, mana kala ada beberapa
dari kerabatku itu menjadi mu’allaf. Pencerahan
yang aku berikan relatif sederhana seputar Rukun Islam yang beresensi manusiawi,
“mudah dan tidak memberatkan,” kataku.
“Pertama mengucap dua kalimah syahadat,
sebagai pengakuan kita kepada Allah dan Rasulullah, Muhammad SAW,” kataku
sambil menjelaskan bahwa ungkapan ini merupakan keyakinan awal selaku muslim. Selanjutnya
shalat lima waktu yang diwajibkan kepada setiap umat Islam dan, “aktivitas ini untuk kepentingan kita dalam
berdialog dengan Allah, Tuhan yang telah kita akui tadi,” kataku sambil
menjelaskan shalat itu bukan kepentingan Tuhan. “Karena tidakpun kita melakukan shalat, Allah tetap sebagai Tuhan
sekalian alam,” sambungku lagi. Di
sela-sela pencerahan ini mereka bertanya dengan esensi hubungan sebab akibat
dari berbagai penjelasanku. Tentunya aku cukup berhati-hati dalam penjelasan
itu, khawatir terjebak dalam situasi tendensius yang menyudutkan karena aku
sadari tingkat keawamanku tentang Islam itu sendiri.
razuardi ibrahim, 2008 |
Selesai
berdiskusi tentang shalat, aku menyinggung soal puasa (bahasa Arabnya, shaum) sebagaimana dipesankan dalam
rukun Islam yang ke-tiga. “Puasa ini
ibadah untuk Tuhan,” kataku disambut mangut-mangut mereka. Aku menjelaskan
bahwa puasa ini hanya diketahui, “oleh
kita pribadi dan Tuhan,” kataku seraya menguraikan kalau kita tidak
berpuasa secara sembunyi-sembunyi tidaklah ada orang yang tahu. “Jadi, puasa ini mutlak uji keimanan kita
kepada Allah serta kejujuran kepada diri sendiri,” kataku meyakinkan
mereka. Setelah tuntas tiga rukun aku ceritakan, mereka bertanya tentang zakat
yang mereka khawatirkan tentang kewajiban itu. “Zakat ini bagi yang mampu, yakni orang-orang yang memiliki kelebihan
dari hartanya,” jelasku. Tentu maksudku kelompok orang-orang berada yang
telah diberi rejeki yang lebih oleh Allah SWT. “Malah jika ada orang Islam yang miskin atau papa, dia berhak terhadap
zakat dari orang kaya,” kataku memupus kekhawatiran mereka. Begitupula
berhajji, “jika kita belum mampu tidaklah
wajib kita menunaikan hajji,” jelasku lagi.
Akhir
dialog itu aku menyimpulkan kepada mereka, bahwa menjalankan rukun Islam itu
tidaklah berat. Dari ke-lima kewajiban itu, tiga di antaranya mampu
dilaksanakan dalam kondisi kaya maupun miskin. Hanya sebab musabab fisiklah
yang dapat ditolerir untuk tidak melaksanakannya, seperti hilang ingatan,
sakit, dan lain sebagainya. Sedangkan zakat dan hajji tidak menjadi kewajiban
bagi yang tidak mampu. “Sekarang mau apa
lagi, tidak sulit kan ?. Kesimpulan kita jika ada orang tertentu menjalankan tiga
saja dari lima rukun Islam karena
ianya papa maka sudah Islamlah dia,” kataku menutup. “Kalau punya kemampuan materi, wajiblah bagi orang Islam menunaikan
zakat berikut hajji,” menyela pertanyaan akhir mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar