Komentar
Tanpa Solusi
Banda Aceh pasca Tsunami |
Sebelum
tahun 1977, di saat televisi belum tersiarkan di Banda Aceh, masyarakat kota
ini masih beramai-ramai menikmati hiburan lewat bioskop atau perayaan lainnya,
seperti sandiwara, pertandingan bola antar kampung, orang jual obat tepi jalan
dan lain sebagainya. Sepulang menikmati aneka hiburan produk masa itu biasanya
orang tertentu bercerita di warung-warung atau tempat kumpulan orang ramai
lainnya. Khalayak pendengar cukup menikmati cerita sambung dari orang itu,
biasanya tanpa bantah. Alat transportasi waktu itu masih dominan sepeda. Aku
dan beberapa kawan mengalami kondisi ini hingga 1979. Biasanya kami duduk di
kios Lamprit yang sengaja dibuatkan bangku untuk kami berkumpul sambil menunggu
orang tertentu yang pulang dari kota, Peunayong atau Pasar Aceh. Ketika singgah,
orang itu bercerita tentang apa yang dilihatnya di kota dengan ekspresi
menarik. Suatu hal yang aku ingat di kala itu, jika ada suatu isu berkembang,
ramai-ramai orang menghakimi tanpa tahu muasal dan kebenaran terhadap isu
tersebut namun tanpa solusi. Apalagi isu berkembang seputar hujatan terhadap
pemimpin atau pejabat tertentu.
Tidak
jauh berbeda di tahun 2013. Sistem masyarakat masih berduyun kepada masalah
yang lagi trent. Maksudnya, tatkala
ada suatu masalah besar yang menjadi tanggung jawab para pimpinan tertentu
gagal atau menemui hambatan dalam penyelesaiannya maka mereka berduyun-duyun
mengomentari hal yang lagi populer itu tanpa solusi. Artinya, dalam beberapa dekade budaya komentar
tanpa solusi masih belum bergeser dari tradisi meski peralatan informasi
telah berkembang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar