Beda
Dua Dialog Paruh Baya
Di
sebuah cafe teras di Jakarta, yang
artistik dan terbuka, banyak orang-orang menikmati kopi. Tidak saja anak-anak
muda, tetapi komunitas paruh baya bahkan pensiunan pun terlihat duduk santai
sambil bercengkerama. Satu kelompok yang terindikasi paruh baya, terdiri dari
dua lelaki dan enam perempuan memilih duduk di sebelah mejaku. Gerombolan yang
terkesan polos bercerita seenaknya dan asal-asalan itu menyiratkan mereka
merupakan kerabat dari generasi yang sama. Sebagian perempuan dari mereka
menggunakan jilbab sehingga dapatlah disimpulkan mereka dari golongan muslim.
Aku terkesima dengan dialog mereka yang “asal
bunyi (asbun)” tetapi layak dicermati meskipun aku membelakangi.
“Kita
dilarang oleh agama untuk tidak merusak lingkungan tau....,” suara
salah seorang perempuan di situ tiba-tiba.
“O,
iyalah jelas karena dampaknya langsung,” beberapa perempuan lain ramai-ramai merespon.
“Memangnya
kalau yang tidak merusak langsung tidak di larang ?,” komen beberapa perempuan
saling berebutan dengan nada tinggi.
“Contohnya
apa ?,” kata
perempuan yang mulai membahas.
“Ya,
banyak. Salah satunya minum tuak,” sahut
yang lain.
“Lho,
jelas ngerusak lah, nelap kok nggak ngerusak” kata yang lain sambil
bersorak.
“O,
iya, jadi orang berzina di mana rusaknya,” celoteh suara bariton, terindikasi laki-laki.
“Hooiii,
laki-laki taunya itu saja,” serempak
suara perempuan menyorak.
“Logis
kan suka sama suka ?, mana pula ada yang dirusakkan. Malah saling membantu,” bantah suara bariton itu
lagi.
Aku
merenung seraya menyimpulkan kondisi, khawatir jika ada pihak-pihak tertentu
menanyakan hal itu kepadaku. Pertanyaan dari dialog mereka aku simpulkan
sederhana saja dengan kalimat, “apa yang telah dirusakkan oleh suatu perzinaan”.
Jika yang menanyakan dari kerabat sesama muslim, aku akan menjawab, “moral Islam”. Namun jika pertanyaan
serupa datang dari kelompok yang melegalkan zina, tentu aku harus banyak
memiliki referensi.
Di
sebelahku ada juga kelompok lain, yang membahas tentang hal tidak jauh berbeda.
Mereka membahas tentang berita seorang ustad melakukan hubungan seksual dengan
santriwati.
“Tandanya,
iman ustad itu tidak kuat,” celoteh seorang pria.
“Iya,
semakin tinggi ilmu agama seseorang, semakin tinggi pula godaan terhadapnya,” sambung yang lain.
Aku
menyimpulkan dialog mereka, bahwa
menurut kelompok yang satu ini nafsu birahi itu diberikan tuhan hanya
sebagai alat ukur untuk menguji ketangguhan iman manusia. Lebih jauh,
aku menyimpulkan banyak dialog-dialog awam serupa ini di kalangan masyarakat
yang membutuhkan jawaban, bahkan solusi. Ada hal menarik dalam tradisi
berkembang dalam masyarakat, manakala dialog-dialog serupa itu didengar
khalayak, kelompok itu dianggap telah melakukan kejahatan sehingga tiada
terungkap persoalan-persoalan awam serupa itu. Begitulah adanya. Jakarta, 26 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar