Konsep
Ikhlas
Sejak
hari pemilihan umum caleg, Rabu, 09 April 2014 lalu, banyak orang-orang
mempersoalkan kesetiaan. Tentunya seputar pencoblosan kertas suara, dalam hal
komitmen orang tertentu yang ingkar janji setelah membuat kesepakatan bersama
dengan berbagai konsekwensinya. “Kurang
ajar memang, uang diambil tapi mereka mencoblos calon lain,” kata seorang
yang lagi marah, di tengah kerumunan beberapa warga kawasan Lhokseumawe.
Suasana serupa itu marak di berbagai cafe,
warung, mesjid, meunasah, dan pusat-pusat konsentrasi lainnya, pada sore
hari hingga malam, setelah penghitungan suara. Meskipun aku tak mengenalnya,
namun aku mencermati ekspresi seseorang yang berbicara keras itu sebagai orang
yang sedang bermasalah dengan ke-ikhlasannya. Betapa tidak, “bantuan diterima juga tapi suara yang
dijanjikan jauh di bawah target,” ujarnya
dengan nada tinggi. Agar aku tidak terjebak dengan ungkapan orang itu ditambah
beberapa lagi yang lain, aku mengukur perasaannya dengan hal serupa yang pernah
juga aku alami.
Aku
rasakan mereka lebih beruntung dariku, karena para caleg kecewa tersebut
memiliki harapan tertentu meskipun gagal. Kebiasaan memberi bantuan yang aku
lakukan tidak berorientasi politis seperti yang mereka bahas sehingga kata pengkhianatan lebih banyak muncul dalam
bahasan itu. Orientasi ekonomi yang aku lakukan kepada orang-orang tertentu pun
mengalami hal serupa. Manakala aku diusung untuk turut dalam pilkada, sebagian
orang-orang yang pernah aku bantu turut membangun provokasi terhadapku, padahal
aku tidak mengikat orang-orang itu dengan janji untuk memilihku. “Itu merupakan hak privasi yang tak mesti
dipaksa,” kataku pada masa-masa itu. Terdapat perbedaan mendasar antara
pengalamanku dengan yang mereka rasakan, yakni kekecewaan dan ketulusan. Boleh jadi aku keliru dalam
menyimpulkan, meskipun kecewa mereka lebih beruntung karena memberi sesuatu namun mendapatkan
harapan, sedangkan aku memberi sesuatu dan tidak mengharap sesuatu
apapun, tetapi mendulang hujatan. Namun tidak berlebihan dalam ungkapan ini, aku
pernah mendapat pemahaman konsep tulus sejak aku aktif di kegiatan kampus dulu.
Artinya, konsep ini cukup membantu perasaan tatkala aku mengalami pengingkaran
dari kerabat tertentu. Persoalannya, kemasan perasaan seperti apa yang harus tertanam
sehingga aku dapat melupakan pemberian yang pernah kulakukan kepada orang tertentu.
Konsepnya
sederhana saja, yakni anggaplah segala bentuk pemberian itu
laksana membuang hajat yang memang tidak pernah diingat untuk kembali. Aku
meyakini, terdapat keikhlasan luar biasa dalam diri setiap orang tatkala
membuang hajat. Jika kecewa tidak
terpupuskan juga, tanamkan dalam pikiran bahwa, untuk apa lagi hajat itu bersama
kita, toh benda itu sudah menjadi milik makhluk lain. Bahkan benda
itupun sudah berkumpul dengan komunitasnya di dalam septick tank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar