Manajemen
Konflik Lingkup Aparatur
Manajemen
serupa ini berpeluang terjadi di berbagai organisasi. Istilah ini biasa kudengar
pada kawan-kawan yang eksis di organisasi politik. Namun demikian, aku juga
pernah merasakan manajemen serupa ini pada tempat aku bekerja dulu, di
penghujung tahun 1990-an. Indikasi yang aku rasakan ialah ketidak-nyamanan
suasana kantor, akibat peningkatan kecurigaan sesama kepala seksi, level kedua
setelah pimpinan. Pada mulanya, aku tidak mahfum terhadap kondisi yang semakin
jauh dari senda gurau sebagaimana hari-hari kemarin. Suatu kali aku dipanggil
pimpinan untuk suatu tugas terkait kerja seksi yang aku pimpin. Atasanku itu
memberi tugas yang harus diselesaikan sesegera mungkin. Di sela-sela perintahnya,
dia menceritakan tentang ketidak-mampuan beberapa kepala seksi lainnya. Tentu
aku mengilas kembali kondisi hubungan sesama kepala seksi yang mulai tidak
harmonis ini.
Razuardi Ibrahim, 2007 |
Suatu
kali beberapa kawan mulai heboh membahas kondisi sesama yang mulai memanas. Sebagaimana biasa, aku tidak
terlalu peduli dengan bahasan kontra produktif seperti itu, selain mencari
informasi tentang kualitas sosok pimpinan dari aspek teknis sebagaimana tugas
pokok dan fungsi dari institusi kami. Banyak kelemahan akademis darinya yang
dikhawatirkan akan mengancam jabatannya. Beberapa minggu kemudian, setelah
beberapa kawan menyampaikan pembicaraan pimpinan dengannya tentang black campaign terhadapku, mahfumlah aku
tentang suasana kantor yang terjadi. Aku simpulkan, bahwa atasan itu sedang
melakukan kompensasi diri untuk menutupi berbagai kelemahannya melalui penciptaan
konflik internal. Dalam institusi teknis yang melakukan pelayanan
langsung kepada masyarakat, manajemen serupa ini sangat mempengaruhi kinerja.
Meskipun demikian, setidak-tidaknya pengalaman ini menjadi pembelajaran baru
bagiku pribadi dan layak kuceritakan kepada generasi aparatur mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar