Selasa, 04 Desember 2012

PEMANASAN GLOBAL

Razuardi Ibrahim, 2012, di Pebukitan Kota Baru

Isu Pemanasan Global
dan Perubahan Iklim
Saat sekarang sebagian kalangan sering mengaitkan kerusakan hutan berdampak kepada terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Isu efek rumah kaca yang selalu didengungkan dalam berbagai event pertemuan masyarakat konservasi lingkungan dunia, juga sering dikaitkan dengan kerusakan hutan. Kerusakan hutan sering dikaitkan dengan kerusakan DAS yang pada hakikatnya terganggunya daur hidrologi atau siklus tata air dalam satu kawasan atau wilayah. Pada tatanan dunia para pakar menggiring pemikiran global yang membangun kebersamaan untuk mengungkap berbagai faktor penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Kelompok kerja DAS juga turut memberi kontribusi terhadap upaya mempertahankan ekosistem DAS dengan berbagai konsep aplikatif. Berikut sekilas uraian tentang isu efek rumah kaca yang dapat menjadi pengayaan bagi para kelompok kerja DAS.
Efek Rumah Kaca (ERK) dan Penyebabnya

      Efek Rumah Kaca dapat divisualisasikan sebagai sebuah proses. Pada kenyataannya, di lapisan atmosfer terdapat selimut gas. Rumah kaca adalah analogi atas bumi yang dikelilingi gelas kaca. Nah, panas matahari masuk ke bumi dengan menembus gelas kaca tersebut berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang panjang.
      Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa menyentuh permukaan gelas kaca dan terperangkap di dalam bumi. Layaknya proses dalam rumah kaca di pertanian dan perkebunan, gelas kaca memang berfungsi menahan panas untuk menghangatkan rumah kaca. Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itu lah yang disebut Efek Rumah Kaca. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah Kaca.
      Efek Rumah Kaca terjadi alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin. Sejak awal jaman industrialisasi, awal akhir abad ke-17, konsentrasi Gas Rumah Kaca meningkat drastis. Diperkirakan tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5 – 0.6 derajat Celcius akibat emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari aktivitas manusia.

Efek Rumah Kaca itu benar-benar terjadi melalui beberapa bukti berikut sebagai berikut :


-        Pertama, berdasarkan ilmu fisika, beberapa gas mempunyai kemampuan untuk menahan panas. Tak ada yang patut diragukan dari pernyataan ini.
-        Kedua, pengukuran yang dilakukan sejak tahun 1950-an menunjukkan tingkat konsentrasi gas rumah kaca meningkat secara tetap, dan peningkatan ini berhubungan dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan industri dan berbagai aktivitas manusia lainnya.
-        Ketiga, penelitian menunjukkan udara yang terperangkap di dalam gunung es telah berusia 250 ribu tahun.

     Artinya, konsentrasi gas rumah kaca di udara berbeda-beda di masa lalu dan masa kini. Perbedaan ini menunjukkan adanya perubahan temperatur di berbagai tempat dan waktu di bumi. Selanjutnya, konsentrasi gas rumah kaca terbukti meningkat sejak masa praindustri.

      Perlu dijelaskan bahwa yang termasuk dalam kelompok gas rumah kaca (GRK) adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), sampai sulfur heksafluorida (SF6). Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan dinitro oksida. Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transport, penggundulan hutan, dan pertanian. Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6 ) hanya menyumbang kurang dari 1%. Sumber-sumber emisi karbondioksida secara global merupakan hasil pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara):
-          36% dari industri energi (pembangkit listrik/kilang minyak, dan lain sebagainya)
-          27% dari sektor transportasi
-          21% dari sektor industri
-          15% dari sektor rumah tangga dan jasa
-          1% dari sektor lain-lain.

       Sumber utama penghasil emisi karbondioksida secara global ada 2 macam. Pertama, pembangkit listrik bertenaga batubara. Pembangkit listrik ini membuang energi 2 kali lipat dari energi yang dihasilkan. Semisal, energi yang digunakan 100 unit, sementara energi yang dihasilkan 35 unit maka energi yang terbuang adalah 65 unit. Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5,6 juta ton karbondioksida per tahun. Kedua, pembakaran kendaraan bermotor yang mengonsumsi bahan bakar sebanyak 7,8 liter per 100 km dan menempuh jarak 16 ribu km, maka setiap tahunnya akan mengemisikan 3 ton karbondioksida ke udara. Dapat dibayangkan jika jumlah kendaraan bermotor di Jakarta lebih dari 4 juta kendaraan. Dengan demikian dapat diperhitungkan jumlah karbondioksida yang masuk ke atmosfer per tahun.

      Untuk mengurangi kontribusi gas rumah kaca penting diingat, emisi gas rumah kaca harus dikurangi. Rekomendasi yang diberikan para pakar lingkungan terhadap sistem industri dan transportasi seyogianya tidak bergantung pada bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara).

     Karena Perubahan Iklim adalah masalah global, penyelesaiannya pun mesti secara internasional. Langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim (Framework Convention on Climate Change) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, yang ditandatangani oleh 167 negara. Kerangka konvensi ini mengikat secara moral semua negara-negara industri untuk menstabilkan emisi karbondioksida mereka. Sayangnya, hanya sedikit negara industri yang memenuhi target. Langkah selanjutnya berarti membuat komitmen yang mengikat secara hukum dan memperkuatnya dalam sebuah protokol. Dibuatlah Kyoto Protocol atau Protokol Kyoto. Tujuannya, mengharuskan negara-negara industri menurunkan emisinya secara kolektif sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990.

      Penghasil emisi karbondioksida paling besar adalah setiap kepala penduduk di negara barat yang mengeluarkan emisi karbondioksida 25 kali lebih banyak daripada penduduk di negara-negara berkembang. Lima peng-emisi karbondioksida terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, Canada, Jerman, Inggris, dan Jepang. Hal ini yang menyebabkan Protokol Kyoto mengharuskan negara-negara maju, yang juga kaya, untuk menurunkan emisinya lebih dahulu. Ironisnya, Cina sebagai negara berkembang menunjukkan sikap kepemimpinan dalam menanggapi isu perubahan iklim, berkebalikan dengan negara-negara industri yang kian terpuruk. Emisi karbondioksida Cina pada tahun 1998 turun hingga 4% dengan tingkat ekonomi naik hingga lebih dari 7%.

Data terakhir menunjuk Amerika Serikat sebagai penyumbang 720 juta ton Gas Rumah Kaca setara karbondioksida—setara dengan 25% emisi total dunia atau 20,5 ton per kapita. Emisi gas rumah kaca pembangkit listrik di Amerika Serikat saja masih jauh lebih besar bila dibandingkan dengan total jumlah emisi 146 negara (tiga per-empat negara di dunia). Sektor energi menyumbang sepertiga total emisi gas rumah kaca Amerika Serikat. Emisi gas rumah kaca sektor energi Amerika Serikat lebih besar dua kali lipat dari emisi gas rumah kaca India. Sementara, total emisi gas rumah kaca Amerika Serikat lebih besar dua kali lipat emisi gas rumah kaca Cina. Emisi total dari negara-negara berkembang besar, seperti Korea, Meksiko, Afrika Selatan, Brazil, Indonesia, dan Argentina, tidak melebihi emisi Amerika Serikat.

      Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim (Climate Change) adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Pemanasan global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan, di belahan bumi lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu. Pemanasan global dan perubahan iklim terjadi akibat aktivitas manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta kegiatan lain yang berhubungan dengan hutan, pertanian, dan peternakan. Aktivitas manusia di kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan komposisi alami atmosfer, yaitu peningkatan jumlah gas rumah kaca secara global.

Perbedaan antara efek rumah kaca, pemanasan global, dan perubahan iklim yakni istilah-istilah yang seringkali digunakan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat. Efek rumah kaca adalah penyebab, sementara pemanasan global dan perubahan iklim adalah akibat. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi panas (atau energi) di atmosfer bumi. Dengan adanya akumulasi yang berlebihan tersebut, iklim global melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud salah satunya peningkatan temperatur bumi, kemudian disebut pemanasan global dan berubahnya iklim regional—pola curah hujan, penguapan, pembentukan awan—atau perubahan iklim. Pada kondisi inilah daur hidrologi telah mulai terusik.

 

Dampak perubahan iklim yang dirasakan yakni, pada tahun 2100, temperatur atmosfer akan meningkat 1.5 – 4.5 derajat Celcius, jika pendekatan yang digunakan hanya “melihat dan menunggu, tanpa melakukan tindakan pencegahan. Dampak lainnya yakni :


-          Musnahnya berbagai jenis keanekaragaman hayati
-          Meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan badai, angin topan, dan banjir
-          Mencairnya es dan glasier di kutub
-          Meningkatnya jumlah tanah kering yang potensial menjadi gurun karena kekeringan yang berkepanjangan
-          Kenaikan permukaan laut hingga menyebabkan banjir yang luas. Pada tahun 2100 diperkirakan permukaan air laut naik hingga 15 - 95 cm.
-          Kenaikan suhu air laut menyebabkan terjadinya coral bleaching dan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia
-          Meningkatnya frekuensi kebakaran hutan
-          Menyebarnya penyakit-penyakit tropis, seperti malaria, ke daerah-daerah baru karena bertambahnya populasi serangga (nyamuk)
-          Daerah-daerah tertentu menjadi padat dan sesak karena terjadi arus pengungsian.

      Prediksi para ahli mengenai perubahan iklim, pada tahun 1988, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk lingkungan (United Nations Enviroment Programme) dan organisasi meteorologi dunia (World Meteorology Organization) mendirikan sebuah panel antar pemerintah untuk perubahan iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) yang terdiri atas 300 lebih pakar perubahan iklim dari seluruh dunia. Pada tahun 1990 dan 1992, IPCC menyimpulkan bahwa penggandaan jumlah gas rumah kaca (GRK) di atmosfer mengarah pada konsekuensi serius bagi masalah sosial, ekonomi, dan sistem alam di dunia. Selain itu, IPCC menyimpulkan bahwa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia juga memberikan kontribusi pada gas rumah kaca alami dan akan menyebabkan atmosfer bertambah panas. IPCC memperkirakan penggandaan emisi gas rumah kaca akan menyebabkan pemanasan global sebesar 1,5 –4,5 derajat celcius.

      Pemanasan global dan perubahan iklim dalam dunia ilmu pengetahuan sudah tidak dipertentangkan lagi terhadap kategori masalah serius atau tidak. Kaum ilmuwan lebih menyibukkan diri pada upaya mengungkap fenomena perubahan iklim itu terjadi, efek yang ditimbulkan, pendeteksiannya, serta langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meminimalisir dampaknya.

      Dalam pengertian spesifik ada perbedaan antara iklim dan cuaca. Iklim dapat dipahamkan sebagai pola cuaca yang terjadi dalam jangka waktu panjang, biasa dicermati pada rentang waktu 30-100 tahun. Contohnya,  iklim tropis, sub-tropis, iklim panas, dan iklim dingin. Sedangkan cuaca dapat dipahamkan sebagai gejala alam yang terjadi dan berubah dalam waktu singkat. Contohnya,  cuaca, suhu, angin, dan lain lain.

Dalam mencermati fenomena alam yang selalu dikaitkan dengan berbagai kerusakan, sering diisukan suatu nama El Nino muasal bencana tersebut.  El Nino adalah fenomena alami yang telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu, meskipun tidak selalu dengan pola yang sama. Ia merupakan gelombang panas di garis equator Samudera Pasifik yang diperhitungkan muncul setiap 2 hingga 7 tahun dan berkontribusi pada peningkatan temperatur bumi. Dampaknya dapat dirasakan di seluruh dunia sehingga memperkuat alasan bahwa iklim di bumi saling berhubungan. Para ilmuwan telah menguji dan membuktikan bahwa pemanasan global yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dapat mempengaruhi El Nino. Akumulasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer cukup membantu   menyuntikkan panas ke Samudera Pasifik. Kondisi itu menjadikan El Nino lebih sering   muncul dan lebih ganas dari sebelumnya.          

      Persoalan penipisan lapisan ozon juga sering disebut-sebut sebagai ancaman bagi kesehatan manusia.  Masalah lingkungan dan kesehatan manusia yang terkait dengan penipisan lapisan ozon sesungguhnya berbeda dengan resiko yang dihadapi manusia akibat pemanasan global. Walaupun begitu, kedua fenomena tersebut saling berhubungan. Beberapa polutan (zat pencemar) memberikan kontribusi yang sama terhadap penipisan lapisan ozon dan pemanasan global. Penipisan lapisan ozon mengakibatkan masuknya lebih banyak radiasi sinar ultraviolet (UV) yang berbahaya masuk ke permukaan bumi. Namun, meningkatnya radiasi sinar UV bukanlah penyebab terjadinya pemanasan global, melainkan berdampak kepada kesehatan manusia seperti kanker kulit, penyakit katarak, menurunnya kekebalan tubuh manusia, dan menurunnya hasil panen.

Negara-negara di dunia sedang berupaya untuk menghentikan pemanasan global (PK). Working Group III—IPCC membuat studi teknologi dan ekonomi secara literatur untuk menunjukkan kebijakan yang berorientasi pasar dirancang sungguh-sungguh agar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus kebijakan pembiayaan untuk menghadapi dampak perubahan iklim (PI). Studi ini dibuat agar akibat dari pemanasan global dan perubahan iklim tetap dapat memberikan manfaat ekonomi, termasuk lebih banyak sistem energi yang cost-effective, terjadinya inovasi teknologi yang lebih cepat, mengurangi pengeluaran untuk subsidi yang tidak tepat, dan pasar yang lebih efisien. Pada intinya negara-negara di dunia berusaha melakukan efisiensi energi dan memasyarakatkan penggunaan energi yang dapat diperbarui (renewable energy) untuk mengurangi atau bahkan menghentikan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Denmark adalah salah satu negara yang tetap menikmati pertumbuhan ekonomi yang kuat meskipun harus mengurangi emisi gas rumah kaca.

Memang masih menjadi perdebatan terhadap kemungkinan pemanasan global sungguh-sungguh terjadi atau hanya sebuah ketakuatan manusia saja. Tetapi Third Assessment Report, dalam sebuah laporan yang disusun oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) –sebuah panel di bawah PBB yang anggotanya lebih dari 700 orang pakar dan peneliti mengenai pemanasan global, menyimpulkan bahwa bumi perlahan-lahan bertambah panas. Kondisi bumi berada dalam keadaan bahaya jika manusia tidak mencari jalan untuk menghentikan pemanasan global, karena suhu rata-rata bumi diperkirakan akan naik antara 2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit (atau kurang lebih antara 1,4 – 5,8 derajat Celcius) sampai akhir abad ke-21. IPCC juga menyimpulkan bahwa pemanasan global yang dicatat dalam 50 tahun terakhir ini, terjadi akibat kegiatan manusia terutama dari pembakaran bahan bakar fosil yakni batubara, minyak bumi dan gas yang meningkatkan jumlah gas rumah kaca di atmosfer. Para ilmuwan itu juga yakin bahwa dampak perubahan iklim terjadi di semua lingkungan dan benua tetapi tidak ada teknologi yang mampu untuk menurunkan dan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Jika suhu rata-rata permukaan bumi naik dengan cepat maka akan terjadi perubahan permukaan bumi secara radikal, akibatnya akan mempengaruhi kesehatan dan keamanan manusia. Kenaikan suhu permukaan bumi sebesar satu derajat Celcius akan menaikkan permukaan laut setinggi limabelas centimeter, yang akan menenggelamkan jutaan rumah dan pesisir. Penguapan akan meningkat sehingga akan menimbulkan kekeringan. Kekeringan menimbulkan kegagalan panen yang mengakibatkan kelaparan di mana-mana. Penyakit malaria dan demam berdarah menyebar dengan cepat kemana-mana. Cuaca buruk, badai topan, yang dipicu oleh fenomena iklim seperti El NiƱo, akan menjadi suatu hal rutin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar