Rabu, 28 Agustus 2013

KATA BIJAK ANDIL POSTING

Sejak Wesli menelepon dan membuatkan facebook untukku, aku mulai baca banyak keluhan, saran dan hujatan di beberapa posting. Lama juga aku cermati maksud ragam ungkapan dari para junior alumni Fakultas Teknik Unsyiah. Banyak komentar yang menginginkan sosok ketua dengan kriterianya masing-masing berikut alasan untuk itu. Pada 27 Agustus 2013, aku menyimpulkan sementara kriteria itu sebagai, Sosok Tegar Menentang Badai Niscaya Terampil Menyeberangkan Biduk (raju 27.08.13).

Minggu, 25 Agustus 2013

RAZALI MAHMUD

Razali Mahmud, 1966
kepulangan ayah

hari ini subuh
empat puluh tujuh tahun silam
tahun sembilan belas enam puluh enam
ayahanda razali mahmud
menghadap illahi

hari itu
dua puluh lima agustus
sanak famili berduka
kerabat sigli menangis
hantarkan tubuh kaku ke banda aceh
tempat istirahatnya terakhir

kuala simpang, 25 agustus 2013

PUISI SEURUWAY

Razuardi Ibrahim di Seuruway,
25 Agustus 2013
istana seuruway

tatkala istana seuruway bercerita
banyak kisah mulai terlupakan
yang terbiarkan oleh waktu

kasat mata sungai mengalir
bandar jaya di masa lalu
tempat kumpulan orang melaut
cukupkan hasil berlimpah

kuala simpang, 25 Agustus 2013

MOTIF SEURUWAY DAN BIREUEN

Motif Seuruway Dan Bireuen

Pada Minggu, 25 Agustus 2013, aku mengunjungi Istana Seuruway di Aceh Tamiang. Bangunan tempat kediaman bangsawan di masa lalu itu masih terlihat kokoh berdiri. Meskipun pada bagian tertentu telah rusak dimakan usia. Rumah panggung itu beratapkan genteng dan berdinding papan.  Ketika aku memasuki halaman, terlihat empat wanita paruh baya sudah menanti karena lebih dahulu dikabari camat setempat, Asra. Ke-empat wanita itu merupakan pewaris dari Kerajaan Seuruway,  yang memang pernah berjaya di masa sebelum kolonial menguasai nusantara. Mereka mempersilahkan aku dan beberapa rekan untuk duduk di lantai berlapis tikar yang disediakan,  dengan santun.
 
Motif ayu-ayu Seuruway, 25 Agustus 2013
Tidak berapa lama aku duduk bercerita, penghuni rumah mulai memasuki kamar untuk mengambil bahan kerajinan motif perlengkapan pelaminan masa lalu. Kain produk kerajinan itu dominan berwarna kuning. Meskipun rada lusuh, karya motif itu masih menyisakan nilai-nilai artistik. Umumnya, motif yang disulam bercorak tumbuh-tumbuhan yang berbeda dengan motif Aceh lainnya.
 
Motif ayu-ayu Menasah Meucap, 2008

Namun demikian, aku kaget juga ketika membolak-balikkan tumpukan kain bermotif, terlihat potongan kain yang biasa disebut di Aceh pesisir dengan ayu-ayu, mirip dengan motif di Meunasah Meucap Bireuen. Warna dominannya pun sama, yakni merah buah jemblang. Perbedaan ke-dua produk ini, Seuruway dan Meunasah Meucap, yakni bentuk ayu-ayu dan cara membuat sulaman. Produk sulaman Seuruway menggunakan benang yang dipatahkan mengisi pola motif, sedangkan produk Meunasah Meucap menggunakan sulaman benang berwarna dan diperkuat dengan ikatan  benang sulam bersilangan. 

Sabtu, 24 Agustus 2013

LUSTRUM IX DAN AYAH

Lustrum ke-IX Fakultas Teknik Unsyiah dilangsungkan pada bulan Desember 2008. Serupa tahun ini juga, pada Lustrum ke-X tahun ini, kegiatan dikaitkan dengan pemilihan ketua alumni dan acara kesenian. Acara kesenian yang dinamakan Leha-leha, diselenggarakan pada tanggal 27, sedangkan pemilihan ketua alumni pada tanggal 28, esok harinya. Pada hari inilah awal ketidak-kondusifan suasana antar alumni. Persoalan ini telah kuungkap pada tulisan terdahulu, namun kali ini aku menyinggung keberadaan Ayah Panjang  (alm. Ir Yusmaini) yang cukup dongkol melihat situasi yang terjadi. Ia merupakan sosok dermawan yang aktif membantu finansial kegiatan Parte Buruh. Ketika menjelang pulang, di pintu gerbang fakultas, Wesli marah besar merasa terdustai. Di situ ada Ayah, Bang Acil, Bang Is Samin, Aku dan kalau tidak salah satu lagi Bang Pen.
Ayah panjang di acara fakultas, sumber FB Lustrum

Melihat situasi itu, Ayah menghujat keadaan yang dirusak beberapa oknum senior. Para pecundang yang merusak hubungan antar alumni hari itu tercatat dengan inisial (tidak etis menyebut nama terang karena tiada pengakuan dari mereka namun informasi dari seorang dosen SB), AG, AS, HA, B, IZ dan H. Ayah Panjang pada sore itu terlihat marah sekali dan terang-terangan menyebut nama-nama itu dengan julukan tertentu. Persoalan diperparah tatkala mereka merasa tak bersalah dengan ragam alasan yang diperdengarkan. Dalam perjalanan pulang ke Lhokseumawe, aku, Bang Acil dan Wesli bercerita tentang kejadian yang tidak menyenagkan itu. Dalam perjalanan itu pula aku diSMS Maimun Bewok dari Lhokseumawe, Rachmat dari Jakarta serta beberapa kawan lain yang aku tidak ingat. Perang SMS ketika itu berlangsung selama tiga hari yang melibatkan banyak alumni. Aku memaknai sikap Ayah yang objektif dalam memilah pertemanan dengan sosok ketua KAFT bukan alumni, merupakan pembelaan almamater. Komentar Ayah Panjang mulai saat itu menjadi acuan komitmen para alumni pro Parte Buruh. Kutulis catatan ini setelah kutemui foto Ayah di FB Lustrum yang baru kugeluti kemarin. Semoga upaya Ayah Panjang dalam mempertahankan kekompakan alumni merupakan amal di sisi Allah SWT.

Kamis, 22 Agustus 2013

PEUSIJUK WISUDAWAN

Kisah Spontan Peusijuk Wisudawan

Jelang wisuda lulusan 1985, Fakultas Teknik rada diam tanpa aktivitas. Ketika itu friksi antar mahasiswa pro Senat Mahasiswa dengan Parte Buruh sangat kentara. Waktu itu, aku dan beberapa kawan sedang bekerja menyelesaikan bangunan pameran “Stand Perbankan”, kalau tidak salah berlokasi di lapangan Lingke, Banda Aceh. Kegiatan itu saban tahun kami lakukan untuk mencari biaya kuliah dan keperluan lain.

Di Suatu pagi jelang siang, datang Bang Munar (Munar Gade), Amri AK dan dua orang yang aku lupa, menemui Rachmat, ketua gerombolan Parte Buruh dan pimpinan pembangunan stand itu. Bang Munar dan Amri AK datang meminta Rachmat untuk mengadakan acara peusijuk wisudawan di Pantai Ujong Batee, Aceh Besar. Rachmat berjanji akan mengadakan acara yang diinginkan oleh kedua wisudawan yang juga aktivis kampus tersebut. Saat makan siang, Rachmat mengumpulkan kami untuk mengatur menu acara rencana perhelatan baru di Ujong Batee itu. Namun ada konsekwensi terhadap penghasilan kami, yakni sebagian keungtungan pekerjaan harus disisihkan untuk acara tersebut. Kami tidak akan pernah membantah apa-apa yang dikatakan Rachmat, karena kami meyakini tindakannya cukup arif untuk kekompakan fakultas. Ketika itu hadir Bang Edt (Nazaruddin), yang juga datang untuk mengusul acara serupa. Lantas Rachmat meminta tolong Bang Edt untuk menemui Pak Ali Akoeb, yang menjabat salah satu posisi di Pembantu Dekan-IV Bidang Kemahasiswaan, untuk meminta ijin dari fakultas.

Jelang sore, Bang Edt kembali ke tempat kami bekerja untuk menyampaikan kabar, bahwa acara itu harus di bawah kendali Senat Mahasiswa. Kami para mahasiswa pekerja berlebel Parte Buruh yang terdiri dari, Maimun Bewok, Anto Kribo, Dian Nadir, Anwar Bay, Munizar, Azhar Mar, Alminar Sindo, Husaini, aku sendiri dan Ralizar, spontan protes, tidak setuju. Lantas Bang Edt dan Rachmat berunding sesaat untuk mencari solusi pelaksanaan “peusijuk wisudawan,” tanpa kaitan dengan Senat Mahasiswa. Bang Edt menyatakan kesiapannya untuk menuntaskan berbagai urusan, termasuk perizinan dari jajaran kepolisian dan pemerintah daerah. Mengingat kegiatan ini memerlukan sosok manajer, kami semua sepakat agar melibatkan kawan-kawan dari jurusan teknik kimia yang memang jarang berkolaborasi dengan Parte Buruh, untuk memimpin kegiatan ini. Secara aklamasi dan sesuai tradisi Parte Buruh, ditunjuklah Faisal Daud, mahasiswa teknik kimia angkatan 1980, sebagai ketua pelaksana. Semula Faisal senang dan menyanggupi tugas itu, namun keesokan harinya ia menyatakan mundur, “karena tidak direstui fakultas,” alasannya. Dalam waktu singkat, Bang Edt dan Rachmat, menunjuk Ruslan Abdul Gani untuk menjadi ketua pelaksana acara yang diimpikan itu. Dalam waktu yang tinggal beberapa hari lagi, kalau tidak salah hanya tiga hari, kami mengarahkan perhatian ke Pantai Ujong Batee untuk berbagai persiapan. Atas perintah Rachmat dan Bang Edt banyak mahasiswa junior dari jurusan teknik sipil dan mesin atau angkatan yang lebih muda dari kami bergabung mempersiapkan diri bekerja di lokasi peusijuk wisudawan. Tidak terbantahkan, dua hari menjelang acara Pantai Ujong Batee ramai didatangi mahasiswa pekerja dengan sutu tekad yang terbangun peusijuk wisudawan harus sukses.


Pada hari H, hanya beberapa dosen yang datang meskipun kami mengundang seluruh civitas akademika. Ketidak-hadiran dosen yang diundang kala itu beragam, di antaranya tidak ada jemputan, tidak dapat undangan, kegiatan itu liar dan lain sebagainya. Event Peusijuk Wisudawan perdana pada tahun 1985 mampu menarik perhatian komunitas kampus dan menjadi ikon Fakultas Teknik Unsyiah. Sejak tahun itu, ikon pengikat emosional antar sosok ini dijadwalkan para aktivis Fakultas Teknik di setiap tahunnya dan berakhir ketika kondisi daerah mulai tidak kondusif. 

Rabu, 21 Agustus 2013

BERSAMA MIRWAN

Bahasan pembangunan pusat pertumbuhan Tamiang, 30 Juli 2013 

Dalam minggu ke-dua Ramadhan 1434 H, 30 Juli 2013, bulan kemarin aku dan Rachmat rehat di Arya Hotel, Tamiang. Kami diberitakan oleh beberapa teman bahwa Mirwan Amir, anggota DPR-RI berkunjung ke Tamiang untuk melihat konsep jalan elak dan rencana pusat pertumbuhan baru di kabupaten itu. Rachmat membuat sketsa, sementara aku membuat laporan tentang alasan jalan dan pusat pertumbuhan itu dibuat. Banyak bahasan yang kami lakukan tentang strategi pembangunan pertumbuhan ekonomi tapal batas. Mirwan ditemani Nora, anggota DPRK Aceh Tamiang berharap agar strategi ini dapat dikaitkan dengan strategi pertumbuhan ekonomi nasional.

MELAYANI PEJABAT

Pejabat Butuh Dilayani

Razuardi Ibrahim, 25 Juli 2013
Sungai Iyu
Di tengah maraknya isu tata cara Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, memperlakukan aparatur yang berada di bawah kendalinya dengan jenaka,  konyol, dan cara yang tidak lazim, banyak daerah lain di Indonesia masih bertahan dengan cara tradisional. Para pejabat, baik struktural dan politis masih mengharapkan dirinya dilayani oleh sosok lain yang dianggap berstatus lebih rendah darinya. Kondisi ini merupakan produk sistem akibat mindset feodalisme belum hengkang dari pemikiran orang-orang kebanyakan. Terlebih lagi para pihak berkepentingan memperparah kondisi dengan menjadikan diri sebagai peminta-minta kepada para pejabat tertentu. Banyak komentar dari beberapa kerabat sesama para engineer kepadaku, “sulit menemui kepala dinas......., padahal sudah janji perencanaan itu akan diberikan kepadaku,” katanya sedikit memelas. Biasanya aku menanggapinya dengan sedikit marah karena kontribusi perendahan diri darinya menjadikan kondisi status quo semakin lama bertahan dan menghunjam. Pernah aku berkata kepada salah seorang kerabatku sesama lulusan teknik sipil 1988, “bisakah kita bayangkan, kondisi seperti apa yang terjadi jika di seluruh dunia para sarjana atau ahli teknik sipil mogok bekerja ?,” tanyaku. Ia menjawab, “ya, tidak ada infrastruktur,” katanya ringan,  dan nilai komunitas teknik sipil akan tinggi,” lanjutnya. “Betul juga,” kataku, “tapi, jelasnya para ahli teknik sipil yang di kampus lulus nyontek dan nyaris drop out akan tampil memproklamirkan diri sebagai ahli rancang bangun konstruksi berat,” kataku disambut lolong matanya, seakan menanti masa itu tiba. 

BERTEMU PAK MUJAHIDIN

Letkol Mujahidin, 16 Agustus 2013
Pak Mujahidin

Aku bertemu Pak Mujahidin di Bireuen jelang akhir tahun 2012. Saat itu, beliau mendampingi Pangdam IM, Mayjend Zahari Siregar mengunjungi lokasi pembangunan Makodim Bireuen. Dalam kunjungan itu, aku diminta Dandim Bireuen, Letkol Asep Solihin untuk membantu menjelaskan proses pembangunan karena aku turut membantu sejak tahap pertama, termasuk mendesain atap bangunan itu. Tentu dalam penjelasan, Pak Mujahidin memperhatikanku yang kebetulan Budi Slamet, kerabat dari Kodam, juga turut mendampingi. Ketika pulang pada hari itu, aku bersalaman dengan pak Mujahidin sambil memperkenalkan diri dan mengatakan Budi Slamet sebagai adikku.

Pertengahan bulan Mei 2013, Letkol Satya yang pernah bertugas sebagai Kasdim di Bireuen meneleponku, bahwa aku mesti berbesar hati karena,”Letkol Mujahidin akan menjadi Dandim Aceh Timur yang juga membawahi Tamiang,” kata Pak Satya. Tentu aku gembira mendengar kabar ini, apalagi Pak Satya menambahkan bahwa Pak Mujahidin respon terhadap berbagai hal pembangunan. “Cocok sebagai kawan sharing dengan Pak Razuardi,” lanjut Pak Satya. Setelah pelantikan Pak Mujahidin sebagai Dandim Aceh Timur, kami relatif sering ketemu dan beliau memberi komentar positif tentangku kepada Bupati Hamdan.

Pada malam pawai obor, 16 Agustus 2013, Pak Mujahidin memimpin upacara renungan suci di makam pahlawan Kuala Simpang. Kami sempat bercerita singkat seputar HUTRI ke-68 di Tamiang yang cukup meriah. Rekomendasi Pak Mujahidin tentang hal ini cukup memperkuat semangatku dalam mengikuti seluruh rangkaian acara.



Senin, 19 Agustus 2013

SALAM TENGAH MALAM

Usai upacara renungan suci di Taman Makam Pahlawan Kuala Simpang
Dandim Aceh Timur bersamaku salam komando, malam 17 Agustus 2013

PUISI KENALI

razuardi ibrahim, 18 juli 2013
kenali diri

ketika kebodohan menguasai
biarkan aku di sini
menanti alur kondisi
dari pupusan dusta
yang tersimpan rapi
dalam ketamakan diri
yang enggan berbagi




AYAM ANTIPOLIGAMI


Ayam merupakan hewan yang antipoligami. Betapa tidak, tatkala seekor betina lain datang mendekat kepada sepasang ayam untuk tujuan tertentu, tidak butuh waktu lama, betina yang sedang asik bersama jantan langsung saja mengejar yang datang. Betina pasangan cukup defensif dalam penjagaan meskipun yang jantan acuh. Dalam diskusi dengan seorang kawan, sikap menguasai jantan pada ayam berpeluang dijadikan inspirasi bagi kaum hawa untuk menghambat kehendak poligami para suami. Namun perlu disadari, bahwa tidak mungkin manusia meneriakkan hasil pembuahannya bersama suami, layaknya dilakoni ayam tatkala bertelur. 

CAKAP TAK SERUPA BIKEN


Cakap Tak Serupa Biken


Sekarang ini sering orang memperebutkan opini tentang pencitraan diri. Tentu dalam berbagai hal yang mungkin dijadikan sarana dalam pencitraan. Termudah dalam hal ini yakni uang yang cukup untuk membeli ragam alat pencitraan itu. Sebagian orang di tingkat warung kopi mengakui bahwa perdagangan citra sosok berkembang pesat sejak reformasi menggelinding. Namun belum ada pembuktian akademis tentang hal itu. Sebelumnya, pencitraan sosok sangat ditentukan oleh kompetensi zaman, seperti keaktifan dalam mengelola masyarakat, membangun kepercayaan publik dalam sistem daerah atau nasional, menggalang kekuatan politis dari pengambil kebijakan dan lain sebagainya. Perolehan citra serupa ini masih dapat terkalahkan oleh pengakuan ketokohan yang terbangun secara otomatis dalam tradisi masyarakat tertentu dan sulit terbantahkan karena sarat solusi persoalan masyarakat tanpa pamrih. Dalam pencermatan sederhana  perbedaan kedua kondisi ini cukup mendasar, yakni komitmen. Pendapat sebagian orang, pencitraan yang diperoleh melalui eksploitasi kompetensi zaman masih diragukan dalam hal komitmen ini karena sarat kepentingan dan pragmatis. Tidak jarang sebagian masyarakat berkomentar, bahwa sosok tertentu berubah tatkala tujuannya tercapai yang biasa diartikan dalam bahasa lain, melanggar komitmen. Terakhir aku dengar dari kawan-kawan di Tamiang, sosok seperti itu sebagai manusia cakap tak serupa biken.

BUDAYA KORUP

Budaya Korupsi Versus Solusi Sistemik
Tulisan ini sudah dipublis di Aceh Voice

SETIAP anak bangsa berhak miris mendengar bahkan menyaksikan para elitenya berurusan dengan pelanggaran penggunaan keuangan negara. Dampaknya, negeri ini seakan tak pernah kehabisan bahan untuk memberitakan perilaku korup para birokrat baik di tingkat lokal maupun di tingkat pusat. Jelang peringatan Hari Anti Korupsi Dunia, 9 Desember 2012, Menpora Republik Indonesia mengundurkan diri dari jabatannya, terkait tudingan sebagai tersangka korupsi pada proyek fasilitas olah raga nasional, Hambalang.
pejabat ku 'eh 
Sebagian warga menganggap tindakan mundur Menteri Andi Alfian Mallarangeng merupakan tindakan arif yang patut ditiru para elite negeri lainnya karena masih memiliki budaya malu dalam dirinya. Namun, tidak sedikit yang menghujat, mengingat pengungkapan kasus berlarut sehingga menyerap waktu relatif lama. Berbagai ulasan sejarah perkorupsian lebih mengklaim, bahwa aspek budayalah yang bertanggungjawab terhadap ketidak-pupusan kejahatan keuangan di negara ini.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kerap mengalami hambatan yang menggiring kasus demi kasus timbul dan tenggelam dalam edaran masa. Kisah penyelewengan dana publik menghiasi berbagai media cetak, layar kaca, terlebih lagi di fasilitas jejaring sosial yang penuh kebebasan tersebut, ternikmati khalayak dan suprise tatkala memenuhi penantian antar episode.
Praktek korupsi ternyata erat terkait dengan perjalanan dan proses sejarah yang dialami masyarakat Indonesia. Ekses negatif dari sistem feodalistik dan contoh negatif dari kaum kolonialis sangat mempengaruhi pandangan dan sikap masyarakat Indonesia dalam kecenderungan permisif dan familiar dengan koruptif. Pendekatan kesimpulan ini diutarakan Mochtar Lubis yang mengklaim, bahwa akar tradisi merupakan penyebab utama terjadinya korupsi di tanah air.
Dampak lain dari klaim tradisi tersebut, yakni jabatan yang diperoleh penduduk pribumi dari kemerdekaan, membuat birokrasi negara baru ini tidak dijalankan sesuai dengan norma birokratik yang rasional-legal, tapi dipengaruhi nilai-nilai tradisional yang memberikan tempat merajalelanya korupsi. Pada gilirannya, tradisi sistem masyarakat berikut pola pikir yang akrab dengan korupsi turut memperkuat klaim terhadap pejabat mesti mewah dalam suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Perebutan jabatan publik melalui lobi intens menjadi hal biasa. Awam lazim menaruh ketidakpercayaan manakala pejabat publik tertentu tidak memiliki aset di akhir masa jabatannya. Tidak jarang pula masyarakat mengecam manakala seorang pejabat yang tidak melakukan praktek korupsi dianggap bodoh, bahkan telah melakukan kekeliruan besar dalam sejarah hidupnya. Seakan terbangun adagium baru terhadap keharusan memiliki kemewahan bagi setiap pejabat publik di negeri ini.
Tidak mengherankan, sejarah bercerita temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kurun waktu 1994-1995, terjadi kebocoran uang negara sebesar Rp. 1,072 triliun. Laporan Kejaksaan Agung mengungkap terdapat 358 kasus korupsi di seluruh instansi pemerintah dalam kurun waktu itu. Menurut laporan itu, kasus yang paling menonjol adalah pada sektor perbankan, perpajakan, dan pengadaan tanah. Sementara departemen yang paling digerogoti korupsi adalah Depdagri sebanyak 106 kasus, Depkop 62 kasus, Bank Indonesia 59 kasus, dan Deptan 20 kasus. Berita menghebohkan dan langka dilakukan media di era Orde Baru ini dilansir koran nasional, Republika pada 17 Maret 1995.
Lembaga lain, World Justice Project (WJP) pernah mengekspose info terkait penegakkan korupsi di dunia. Indonesia menempati urutan ke-47 dalam daftar tersebut dan urutan kedua dari bawah dalam daftar yang sama untuk kategori regional. Menurut WJP, Indonesia memiliki sejumlah tantangan dalam memfungsikan komisi negara dan pengadilan untuk memberantas korupsi.
Koran Republika menginformasikan pada 22 Juni 2012, korupsi di Indonesia sudah terjadi saat pemerintahan Kolonial Belanda mengakhiri kekuasaannya, yakni pada masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno. Kala itu, Menteri Perdagangan Dr. Sumitro Joyohadikusumo menerapkan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang bertujuan membangkitkan motivasi pengusaha Indonesia karena pada umumnya kelompok pelaku ekonomi ini bermodal lemah. Tetapi program yang cukup positif di masa itu justru menumbuhkan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Dari sejarah yang lain, saat Republik Indonesia baru menanjak di atas usia 10 tahun, yakni antara 1951-1956, isu korupsi dikumandangkan oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Respon penguasa terhadap pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani, koran tersebut kemudian dibredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia. Atas intervensi Perdana Menteri (PM) Ali SastroamidjoyoRuslan Abdulgani, Menteri Luar Negeri, gagal ditangkap. Sebelumnya, Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet sebelumnya,Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Hasil analisis Theodore M. Smith, korupsi di Indonesia merupakan persoalan kultural, ekonomi, sekaligus politik. Penyebab maraknya praktek korupsi di Indonesia, antara lain faktor sejarah yang dipengaruhi oleh watak kaum kolonialisme, faktor kebudayaan sebagai implikasi negatif dari sistem feodalisme, faktor ekonomi karena rendahnya tingkat kesejahteraan pejabat, faktor struktur pemerintahan sentralitik dan faktor partai politik yang membutuhkan dana terutama menjelang pemilu. (Mochtar Lubis dan James Scott, 1990)
Peneliti Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer berpendapat, bahwa di dalam masyarakat kontemporer, birokrasi telah menjadi suatu lembaga yang menonjol, sebagai lembaga yang melambangkan era moderen. Birokrasi bisa dikatakan alat pemerintah yang mengabdi dan mengurus masyarakat. Dalam kewenangan ini pula birokrasi berada pada situasi mengatur kepentingan masyarakat yang rentan dengan kecurigaan bahkan tudingan penyelewengan dari masyarakat itu sendiri.
Konsep dan organisasi birokrasi moderen muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-18, yakni pada masa Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Sedangkan di Indonesia birokrasi moderen lahir dari warisan kolonial. Struktur birokrasi pada masa kolinial Belanda, terdiri dari dua yaitu yang berasal dari orang-orang Belanda yang disebut Binennlandsch Bestuur (BB) dan yang berasal dari orang-orang pribumi disebut Inlandsh Bestuur (IB). Ironisnya para birokrat BB sebagian besar berasal dari birokrat Vereenigde Oost Indische Compagnie(VOC) yang bangkrut karena salah satu penyebabnya, yakni korupsi. Para pejabat VOC melakukan perdagangan kecil yang biasa disebutmorshandel untuk kepentingan pribadi. Perdagangan pribadi itu menggunakan fasilitas VOC, seperti kapal, gudang, modal, dan koneksi. Selain itu para pejabat ini banyak menerima suap dari pejabat Indonesia seperti bupati selaku pengumpul pajak dan dari orang Cina yang memegang hak penjualan barang-barang VOC, satu di antaranya candu. (Ong Hok Ham, 2002)
Pengakuan penting lain dari sejarah per-korupsian di Indonesia pernah dilansir Harian Kompas pada 20 September 1994, yakni kasus korupsi birokratis juga melekat kuat dalam birokrasi di pemerintahan Orde baru. Pada tahun 1994, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, T.B. Silalahi, waktu itu menegaskan bahwa 80-100 orang pegawai negeri sipil dan pejabat negara melakukan penyelewengan setiap bulannya. Penyelewengan tersebut berbentuk manipulasi, korupsi dan bentuk penyelewengan amoral, termasuk penyelewengan seks.
Keruntuhan Orde Baru pada Mei 1998, melalui tekanan keras kaum reformis di seluruh negeri dengan mengusung salah satu agenda reformasi, yakni pemberantasan korupsi serta menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun, lambat laun semangat reformasi semakin terlupakan, terindikasi maraknya ekspose media terkait kasus korupsi besar di berbagai lembaga pemerintahan. Tidak pula ketinggalan, Otonomi Daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lebih berpeluang dijadikan ajang korupsi oleh pejabat daerah.
Suatu kondisi ironis, di saat zaman lebih leluasa mengekspose penyalahgunaan keuangan negara serta gencarnya tindakan represif institusi pemberantasan korupsi, kisah tentang korupsi semakin meningkat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan pemberitaan tentang korupsi meningkat drastis di media dan saat ini kosa kata korupsi menjadi bagian tidak terpisahkan dalam berita media masa setiap hari. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan KPK untuk melihat fenomena pemberitaan korupsi di media, pada Juli 1995 hanya ditemukan 15 kata korupsi, tetapi pada Juli 2012 terdapat 2.308 kata korupsi. ”Meningkat 5.000 persen,” kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, di Padang. Pengkajian tersebut dilakukan KPK dengan menelaah jumlah kata korupsi pada salah satu media cetak nasional.
Persoalan mendasar, kumandang berita sanksi bagi pelaku korupsi di berbagai media tersebut tidak mampu membangun efek jera dalam mindset sistem kepemerintahan. Keleluasaan yang terjadi lebih dapat diasumsikan akibat tidak ditemukannya solusi tuntas dari upaya pemberantasan korupsi, selain hanya dinikmati khalayak sebagai hiburan menarik menyaingi tayangan telenovela, sinetron, lawakan, serta info gaya hidup selebriti di layar kaca. Banyak himbauan dilakukan pemerintah yang bertujuan mencegah korupsi sejak dini. Kenyataannya, gerakan moral yang mengusung kejujuran personal untuk membendung korupsi gagal meraih sukses. Korupsi yang terjadi semakin marak malah menyusup ke sektor keagamaan sekalipun, seperti proyek pengadaan Al Quran yang pemberitaannya masih dinikmati publik hingga jelang akhir 2012. Tanpa disadari, suatu proses pembenaran budaya terjadi dalam diri pembaca akibat banyaknya pemakluman dari hasil pembacaan itu. Betapa tidak, kitab suci yang bertujuan memperbaiki moral umat, tergiring ke dalam isu massa negatif yang menyalahi etika moral saat pengadaannya, membuka peluang kondisi termaklumi di tengah khalayak. Artinya, keberadaan moral belum mampu menandingi hasrat tradisi korup, yang disimpulkan para pakar sebagai budaya, meskipun ancaman dari negara bagi para pelaku cukup keras.
Perangkat lunak berupa undang-undang cukup jelas medefinisikan tentang arti korupsi berikut sanksi hukum bagi para pelaku. Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Penekanan definisi korupsi di atas lebih kepada penyalahgunaan wewenang sehingga merugikan keuangan negara. Ungkapan merugikan keuangan negara tentunya memerlukan instrumen lain untuk pembuktiannya dan lebih berorientasi kepada pertanggung-jawaban administrasi. Secara umum pertanggung-jawaban administrasi dipahami sebagai pembuktian dokumen untuk pemeriksaan atau penelitan pemanfaatan keuangan negara tanpa evaluasi manfaat dari pembelanjaan tersebut. Pertanggung-jawaban serupa itu hanya teknis belaka, meskipun banyak pemangku kepentingan merasa pembelanjaan suatu kegiatan atau lazim disebut proyek, sia-sia tanpa manfaat. Mencermati makna tersirat dan tersurat, sudah saatnya definisi korupsi diperluas ke dalam batasan pemahaman efisiensi atau kontra efisiensi. Hal ini untuk mendekatkan persoalan pemborosan keuangan negara dengan tudingan budaya sebagai muasal persoalan panjang yang sulit terselesaikan ini. Sementara, makna korupsi telah ter-mindset di kalangan umum sebagai suatu kejahatan yang sama tingkatannya dengan kriminal lainnya. Definisi parsial terhadap korupsi cenderung berpeluang membangun kecerdasan bersikap dari pengguna anggaran negara dalam mempertanggung-jawabkan pemakaian, sebatas memenuhi tuntutan administrasi semata.
Efisiensi merupakan salah satu batasan tuntunan kepemerintahan yang baik (good governance), di samping beberapa batasan lain yang juga tak kalah ampuh dalam menghadang pemikiran korup. Batasan yang mencirikan good governance menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101, tahun 2000, yakni profesionalitas, akutanbilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Kesemua batasan ini merupakan domain aspek budaya yang berpeluang untuk diterjemahkan lagi ke dalam aturan teknis lainnya, untuk sama menyertai undang-undang penuntasan korupsi secara sistemik.
Betapa terhalangnya hasrat korupsi, manakala penempatan penyelenggara negara harus berhadapan dengan aturan lain yang mengharuskan memiliki standar profesionalisme sesuai aturan kompetensinya. Tak kalah pula pentingnya, manakala penyelenggara negara diwajibkan bersikap transparan terhadap pemangku kepentingan yang berada di bawah layanannya. Satu lagi, betapa risihnya seorang pejabat atau penyelenggara negara yang harus mempertangung-jawabkan nilai efisiensi dari pembelanjaan yang dilakukannya. Solusi serupa ini tidaklah mustahil diterapkan mengingat perangakat aturan pendukung telah tersedia, meskipun relatif berat akibat klaim budaya tersebut. Beban berat yang terindikasi dari banyaknya jumlah korban baik dari penyelenggara negara maupun dari pihak lembaga pemberantasan korupsi merupakan konsekwensi alamiah dari upaya mengubah suatu budaya. Membuktikan pelanggaran dan menghukum cukup melelahkan dan menyita waktu panjang.
Pembiaran sistem berpikir korup, sementara ragam seminar kerap menanti solusi bukanlah tindakan arif. Jejaring ciri kepemerintahan yang baik (good governance) mampu mengubah kondisi dan harapan berbagai elemen bangsa seperti kerap diungkap,“Katakan Tidak Pada Korupsi.” Namun perlu dua kata penting untuk menguatkan penerapan sistem, yakni “komitmen dan sanksi.” Suasana akan berubah dari saling tuding dan menyalahkan menjadi saling tanggungjawab. Tidak mesti ada lagi penyalahan terhadap budaya yang juga merupakan komponen kekuatan bangsa.

* Razuardi Ibrahim


MENGATASI KETERBATASAN

Razuardi Ibrahim, 17 Agustus 2013
Sekira tahun 1976, aku pernah dihadapkan sebuah persoalan anak-anak ketika membagi makanan. Biasanya, jika aku memperoleh kue atau makanan lain di hadapan kawan-kawan lain, aku membagi kepada mereka seberapa yang bisa. Jika pun tidak memungkinkan, aku memilih tidak memakan atau aku biarkan mereka saja yang mencicipinya. Suatu kali, di rumahku lagi mengumpul banyak adik dan sanak famili lainnya. Ketika itu aku memiliki beberapa buah jambu saja dan aku sudah berangan-angan untuk memakannya dengan bumbu rujak seadanya. Keramaian itu membuatku sedikit terusik atas kekhawatiran aku tidak dapat mencicipi sesuai anganku. Lantas aku membuat rujak yang cukup pedas untuk ukuran anak-anak seraya aku merajang jambu relatif kecil-kecil. Tidak lama kemudian, rujak anganku selesai. Adik-adikku berkerumun mendekati cobek tanpa sabar dan tidak bisa dilarang. Silih berganti mereka berteriak mencari air karena kepedasan. Aku biarkan kondisi itu hingga tiada lagi yang mendekati rujak bikinanku. Artinya yang bisa memakan rujak hanya sosok terseleksi. Aku sukses mengatasi keterbatasan yang ada meskipun sebatas membuat kompetensi pemakan rujak.   

Sabtu, 17 Agustus 2013

KEWING

Razuardi Ibrahim dan Kiweng, 16 Agustus 2013

Nama populernya, Kewing. Tapi di kartu tanda pengenal tertera Ir Elwi Susanto. Dia mahasiswa teknik mesin angkatan 1980, se-angkatan denganku. Sejak Posma atau plonco dia sudah akrab denganku. Orangnya cukup bandel dan suka sekali menertawakan dan mengganggu orang lain. Tidak jarang dia berkelahi dengan orang yang diganggunya. Sekarang dia tinggal di Medan dengan sepasang anak. Pada tanggal 16 Agustus 2013 dia berkunjung ke Tamiang untuk meliput Hamdan Sati menjadi inspektur upacara HUT RI ke 68, keesokan harinya, 17 Agustus 2013. Kami sempat ngobrol di rumahku sambil saling ganggu tentang kekonyolan masa lalu ketika di kampus. 

Jumat, 16 Agustus 2013

GENERASI PROKLAMASI

Razuardi Ibrahim, 15 Agustus 2013
Pengukuhan Paskibra Tamiang
generasi proklamasi

malam pengukuhan itu
siswa paskibra ceria
sigab terima aba
dari perwira pembina
yang siap bela negara

malam pengukuhan itu
hening suasana
larut nikmati bendera
sayup nyanyian mereka
generasi proklamasi bergema

Paskibra Putra Aceh Tamiang, 15 Agustus 2013
Paskibra Putri Aceh Tamiang, 15 Agustus 2013


SEPULANG RENUNGAN SUCI

RAZUARDI IBRAHIM, 17 AGUSTUS 2013
Di Kuala Simpang
terawang proklamasi

hari ini
indonesia berkata lagi
tentang lintasan waktu
jalan anak negeri
usungan dewasa
titian berkerikil
pun balutan tanah lunak
setajam mulus

dalam bingkisan terawang
meronta tahunan lalu
geliat ribu tanpa tuju
kian kuatkan kekang nusantara
yang hantarkan usia enam delapan
masa menatap titik cerah
janjikan harapan baru

tiada kesah darimu
untuk menantang badai
dalam tegak bangsa
gemakan kumandang proklamasi
indonesiaku, indonesia kita

kuala simpang, 17 agustus 2013


Kamis, 15 Agustus 2013

KESIBUKAN HARI PERTAMA

Rapat persiapan beberapa kegiatan di hari pertama, Senin, 12 Agustus 2013
Pembukaan Pelatihan Diklatpim IV Aparatur Pemkab Aceh Tamiang, 12 Agustus 2013


Rabu, 14 Agustus 2013

KOMPETISI DUA ALAT


Kata banyak orang, kekuatan uang mampu mengalahkan segalanya. Teori ini mendekati kebenaran di berbagai elemen masyarakat dunia sejak berabad-abad lampau. Katanya pula kekuatan ini mampu membeli idealisme kelompok orang tertentu untuk mengatasi keterpurukan ekonomi yang selalu menghantui. Namun, ada kekuatan lain yang mampu mengalahkan kekuatan uang yakni hubungan emosional. Kedua alat timbang ini dapat dijadikan ukuran keutuhan suatu organisasi yang berbasis sosial murni seperti ikatan warga, komunitas pakar, serikat tolong menolong dan lain sebagainya. Jika kekuatan pertama dapat mengalahkan kekuatan kedua dalam suatu organisasi, perlu dipertanyakan konsep seperti apa yang telah telah berkembang dalam organisasi itu.   

HARI PERTAMA

Pada hari pertama kerja, Senin 12 Agustus 2013, setelah libur panjang, jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh tamiang mengadakan apel untuk menghindari tidak adanya pegawai yang absen. Di hari itu juga, beberapa kegiatan penting dilaksanakan, seperti apel akbar, pembukaan pelatihan pegawai, rapat koordinasi dengan pihak SKPK terkait dan beberapa yang lain. Kegiatan Pemkab Aceh Tamiang mendapat respon positif dari berbagai kalangan termasuk dari Metro TV dalam siaran berita petang dan pagi keesokan harinya.

Apel hari perdana Pemkab Tamiang, 12 Agustus 2013


MEMBAHAS PEMBANGUNAN MAKODIM TAMIANG

Pada Selasa, 13 Agustus 2013, Pemerintah Kabupaten Tamiang dengan jajaran Makodim, mengadakan rapat pembahasan adiministrasi pembangunan Makodim Aceh Tamiang. Sebelum rapat dimulai Letkol Mujahidin duduk di ruang kerjaku, santai dalam bahasan ringan. Razuardi Ibrahim dan Letkol Mujahidin.

EKONOMI TAPAL BATAS

Peningkatan Ekonomi Kawasan
Melalui Pengadaan
Kawasan Peti Kemas Tamiang
171212

sketsa kaitan rencana depo dengan sistem transportasi


Cerita ini boleh dikatakan masih bersifat angan-angan atau mimpi yang didasari potensi kawasan. Potensi ini dimaksudkan upaya membangun ekonomi kawasan Tamiang yang terletak di tapal batas Aceh dengan Sumatera Utara, yakni posisi geografis strategis. Sebagai pintu gerbang timur Aceh, sudah sepantasnya arus barang yang keluar dari provinsi dikaitkan dengan keberadaan Pelabuhan Belawan sebagai fasilitas ekspor maju dan tak mampu disaingi.

Akibat tujuan ekspor sebagian besar barang dari Sumatera termasuk Aceh adalah Pelabuhan Belawan maka terjadi kejenuhan untuk menempatkan barang pemeriksaan dalam jumlah besar sebelum diekspor dengan kapal. Oleh karenanya, Tamiang sebagai gerbang timur Aceh berpeluang untuk mengambil bagian dalam rangka kerjasama penempatan dan penelitian barang sebelum diangkut ke luar negeri. Barang-barang ekspor dari Aceh menuju Belawan relatif banyak secara hitungan container yang dapat diamati dari lalulintas harian.

Langkah yang harus diambil dalam memperoleh peluang penempatan kawasan peti kemas di Tamiang ini antara lain, pembuatan konsep yang menggambarkan lokasi serta ukuran, akses dalam sistem angkutan sehingga dapat disimpulkan hadirnya kawasan peti kemas Tamiang akan mempermudah aktivitas ekspor impor di Belawan. Dampak lain bagi Tamiang yakni insentif dari kawasan tersebut seperti, lapangan kerja,  pajak atau retribusi, pertumbuhan wilayah, dan lain sebagainya. Penyediaan sistem manajemen yang diperlukan antara lain, keharusan adanya lembaga perizinan ekspor, Bea Cukai, Syahbandar dan lain sebagainya. 

Selanjutnya, perlu dilakukan pembuatan rencana teknis, analisa investasi, amdal, dan lain sebagainya terkait kelayakan kawasan. Goal dari langkah-langkah di atas yakni, memperoleh izin dari pihak berwenang di tingkat nasional. Catatan semrawut ini sebenarnya ingin mengungkap, pengeksploitasian letak geografis strategis Kabupaten Tamiang sebagai bagian dari manajemen ekspor impor Pelabuhan Belawan.


Senin, 12 Agustus 2013

PE EL EN BERSYARIAH

Mesjid Eks Gudang PLN Cot Bada Bireuen, 2012

Suatu kali PLN mengusung hajatan untuk mengalih-fungsikan bangunan bekas mesin listriknya di Cot Bada, Bireuen, menjadi mesjid tempat persinggahan. Kepala PLN Cabang Lhokseumawe kala itu Anis. Dia bersama Ewok memperlihatkan hasil desain yang cukup asri. Lantas pada awal tahun 2012, mereka hendak membangun setelah desain itu sempurna. Aku mengundang Ketua MPU Bireuen, Tgk Hanafiah beserta beberapa pengankat desa Cot Bada untuk membicarakan perizinannya. Tidak lama berselang dari waktu pertemuan itu, mesjidpun mulai dibangun.
Razuardi Ibrahim, Tgk Hanafiah, Ridwan Adam dan
beberapa masyarakat membahas rencana pembangunan
mesjid eks gudang PLN Cot Bada, 2012 
Konsep pemanfaatan bangunan bekas yang bertahun tak berfungsi itu cukup cerdas. Gudang mesin yang berbentuk kotak itu dipoles dengan penambahan kubah serta aksesoris lainnya sehingga membangun citra baru di tempat itu. Kubah yang dipilih sebagai penambah keasrian, yakni Kubah Rahmat (Rahmat Style). Kawan-kawan dari PLN mengatakan tempat itu akan di jadikan tempat persinggahan yang Islami, di samping ada pojok kuliner yang disediakan. Tujuannya adalah sebagai tempat layanan singgah bagi pelintas dengan fasilitas nyaman untuk beribadah, beristirahat dan makan-minum. Sungguh ide itu merupakan gagasan cemerlang dalam membangun konsep "PLN Bersyariah".

PUISI JEMARI HOKI

jemari hoki, 110813


jemari hoki
simbolkan bulan hari
dan tahun semi
yang sarat janji
saling berbagi

jemari hoki
andil puncak berkali
ramahkan situasi
jalin padu serasi
wujud nyata hakiki
bukan mimpi
tapi andeca andeci
namun bukan pora pori

PUISI PUASA

suasana berbuka, goresan 11 agustus 2013

puasa itu
berbuka tanpa duga
rada paksa
musimnya tanpa sapa

dalam rinai tiba
berawal tanpa tawa
tapi kuatkan asa
dalam titik sua
di jelang akhir tahan dahaga

05 agustus 2013

BERDEBAT DENGAN MISAL

Debat Permisalan

Setelah kucermati beberapa lama, tradisi komunikasi masyarakat relatif rentan dipengaruhi ungkapan atau makna suatu permisalan. Tradisi ini berkembang sejak lama dan mampu menyusup ke dalam tradisi sastra, seperti hadirnya karya satra populer sebelum tahun 1970 di kalangan masyarakat yang berjudul, “Andai-andai Si Muin.” Makna permisalan inipun berkembang dalam beberapa kata seperti kalau, misal, andai, umpama, andakata, jika, jikalau, bila, mana tau dan lain sebagainya. Aku menerawang kembali ke beberapa peristiwa masa lalu, tentang peluang pererselisihan yang terjadi di tengah masyarakat akibat ke-tidaksepakatan dari sebuah permisalan. Di tahun 1978 ketika aku masih duduk di bangku SMA, pernah kawan akrabku, AJ, membakar lengan kerabat lain, IS, akibat debat permisalanan seketika. Pasalnya, AJ menaruh hati kepada ER, teman wanita se-angkatan IS, yang dimintakan tolong oleh AJ untuk mengirim salam setiap ketemu. Dalam diskusi persiapan pengiriman salam itu, IS mengungkap sebuah permisalan, “kalau nanti ER naksir ke aku gimana bang?,” tanya nya. AJ langsung saja naik pitam sehingga terjadi pertengkaran panjang, saling tuduh dan bantah. Di luar aspek asmara, debat permisalan dalam aspek status sosialpun dapat menimbulkan ketegangan hingga berakhir dengan perkelahian.
Razuardi Ibrahim, Langsa
11 Agustus 2013
Di tahun 1988, beberapa kawan yang sama baru diwisuda melakukan diskusi kecil tentang suatu kemungkinan diterimanya salah seorang dari mereka setelah diadakannya testing bersama untuk menjadi karyawan PT Arun di Fakultas Teknik. Salah seorang dari mereka mengklaim bahwa kawan lain tidak bakal lulus karena penerimaan terbatas. “Kalau aku yang diterima, gaji pertama akan kubagi untuk kalian semua,” kata alumnus yang sesumbar itu. Lantas yang lain membantah bahkan menuduh kawan tadi berlaku curang jika hanya dia yang lulus. Suasana debat kecil saat itu menciptakan hubungan kurang harmonis sesaat di antara mereka. Terlebih lagi debat permisalan hari itu mengundang kecurigaan sesama.


Debat permisalan terus saja terjadi hingga ke tahun 2013 ini, meskipun persentase yang berdampak perselisihan relatif menurun. Namun jika ditelaah lebih lanjut, ungkapan permisalan bukan mulai ditinggalkan dari tradisi komunikasi, melainkan berubah orientasi ke mindset lain, yakni menyusup ke dalam aspek perpolitikan secara umum. Di mana-mana orang dari partai politik tertentu lugas menguji permisalan dengan animo konstituennya yang bertujuan mendulang suara. “Jika saya duduk di dewan usulan proyek saudara-saudara akan mulus,” demikian ungkapan umum para caleg. Bagi kelompok yang menolak pernyataan seperti itu, bantahan bahkan hujatan akan serta merta diperdengarkan. Tidak jarang akibat konflik komunikasi ini berakhir dengan debat yang dapat terbuktikan secara langsung. Tidak cukup sampai di situ, ada lagi debat penyesalan akibat debat permisalan masa lalu. “Kan sudah saya bilang kalau Tuanku Nifra jadi bupati korupsi kan  bisa dihapuskan,” kata salah seorang timses kepada kawannya. “Ya kalau dia menang, tapi jika Pasangan  Bobang ini kalah kan bisa gawat belanja kita,” bantah yang lain dengan keras. Banyak lagi contoh-contoh debat permisalan yang masih beredar di tengah masyarakat. Mencermati keadaan seperti ini, dapatlah disimpulkan sementara bahwa  tradisi komunikasi permisalan untuk suatu tujuan dalam masyarakat masih bertahan, sementara perdebatan dalam permisalan cukup mampu meyakinkan sistem komunitas. Kondisi ini dapat dijadikan ukuran tingkat pemahaman masyarakat secara umum dari aspek mindset, yang relatif bermanfaat bagi perancang pembangunan.