Minggu, 28 Desember 2014

INDUSTRI KREATIF

Pada 8 Desember 2014, dalam kejenuhan mengenang suasana dirgahayu, aku berjalan ke tempat jual lukisan di Kota kasablanka. Di sana aku bertemu pelukis perempuan yang sedang menyelesaikan order. Bu Yunti, nama pelukis yang cukup hebat itu. Ia merupakan pelukis jebolan pendidikan tinggi di Kota Jogyakarta. Banyak hal  terdiskusikan waktu itu yang sedikit mengurangi kejenuhan meski tak tuntas.

Membangun Industri Kreatif Melalui Perberdayaan Unit Produksi Seniman


              Industri kreatif merupakan lapangan kerja yang diyakini mampu memberi  kesejahteraan bagi para seniman seperti terlihat di banyak negeri. Praktek ini membutuhkan perhatian pemerintah sesuai dengan kewajiban amanah yang diemban sehingga hambatan pencapaian kinerja dari para seniman di luar kemampuannya dapat teratasi. Konsep ini juga dapat terealisasi manakala pihak pemerintah dan pelaku karya seni mampu memunculkan kondisi saling terkait dan saling menguntungkan (mutualisme simbiosa).
              Kendala utama para pekerja seni yakni memasarkan hasil karya yang pada hakekatnya merupakan kebutuhan hidup. Di daerah tertentu yang mengandalkan karya seni sebagai objek wisata yang mampu mendulang devisa melalui kunjungan turis, tentu persoalan ini tidaklah menjadi persoalan, seperti Bali, Jogyakarta, dan beberapa daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu perlu diterapkan upaya aplikatif saling menguntungkan antara para pekerja seni dengan pemerintah baik pusat maupun daerah.
              Pekerja seni merupakan sosok yang mampu menghadirkan karya seni untuk dinikmati berbagai kalangan, di samping mampu menciptakan daya tarik masing-masing daerah domisili. Pemerintah merupakan pemangku kepentingan yang berwenang untuk membangkitkan ekonomi daerah sebagaimana tersirat dalam tujuan kepemerintahan yang baik.  Mencermati kedua hal tersebut, tidaklah sulit untuk mengkolaborasikan ke dalam bentuk hubungan mutualisme tersebut.
              Solusi termudah yakni dengan mengatasi permasalahan kebutuhan dasar para pelaku seni tersebut sementara tuntutan yang diterapkan seputar kemampuan menghasilkan karya seni yang dapat dijadikan objek wisata daerah. Tentu dalam membangun keterkaitan ini diperlukan suatu komitmen kuat antara pemerintah dengan sosok pekerja seni. Aplikasinya, suatu sanggar, padepokan, studio, atau apapun namanya, dapat dijadikan objek kunjungan yang terdata dalam registrasi pemerintah dan tidak diperkenankan non-aktif selama mendapat fasilitas dari pemerintah.
              Dampak positif yang terjadi, para pekerja seni tidak disusahkan dengan persoalan pelik terhadap kebutuhan hidup dalam melakukan aktivitasnya. Selain itu, para pekerja seni memenuhi kewajibannya untuk berproduksi setiap waktu. Dengan demikian, akan hadir karya-karya seni baru yang dapat dijadikan promosi daerah berkelanjutan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar