Ukiran Kuno di Mesjd
Habib
ukiran di Mesjid Habib, 1800-an |
Ukuran
mesjid itu tidaklah terlalu luas, sekira sepuluh kali sepuluh meter persegi. Konstruksinyapun berupa bangunan panggung
dari kayu yang sudah beberapa kali direnovasi. Mesjid yang terletak di Krueng
Panjoe, Kabupaten Bireuen itu diakui masyarakat setempat sarat dengan sejarah
masa lalu. Tempat ibadah yang dikelola secara turun temurun tersebut dulunya
berfungsi sebagai dayah, tempat pengajian dan haul, bahkan tempat hajatan. Menurut
Sayeed Marzuki, pengurus Mesjid Habib, bangunan itu dibangun pada masa Habib
Bugak, leluhurnya, masih mengajar agama di kawasan Bugak, Kecamatan Jangka,
Bireuen, sekira tahun 1800-an.
Suatu
hal menarik dari mesjid kuno tersebut, yakni ukiran-ukiran yang masih asli
meskipun sudah dicat dengan warna-warni. Serat kayu masih terlihat pada ukiran
yang rada kasar dari pengerjaannya. Dengan langgam Arabis yang eksis pada
masanya, ukiran itu layak dicermati sebagai bahan pembelajaran bagi para
budayawan dan seniman masa sekarang. Rachmatsyah Nusfi, ahli seni ukir Aceh di
Jakarta pernah melakukan seminar ukir Aceh pada Pekan Kebudayaan aceh Ke-4
tahun 2004, membenarkan bahwa ukiran Aceh tempo dulu relatif kasar dalam
pengerjaannya. “Kayaknya mereka membuat ukiran itu dengan pahat yang tumpul,”
katanya. Mesjid
tradisional yang diperkirakan se-zaman dengan Mesjid Habib ini ialah Mesjid
Habib Abubakar di Ulee Kareng, Banda Aceh yang dibangun sekitar 1874.
Mesjid Habib Krueng Panjo, 1800-an |
Penemuan
ukiran seperti ini memperkuat perjalanan seni ukir Aceh yang diakui telah
berusia ratusan tahun. Meskipun rada kasar, ukiran tersebut memperlihatkan
kehandalan seniman masa itu. Alat kerja para tukang ukir waktu itu hanya dengan
tiga ukuran pahat, yakni ukuran 1,5 inci, 1 inci, dan 0,5 inci. Motif bunga yang ditampilkan hampir sama
dengan motif pada Rumah Awee Geutah yang juga melegenda di Aceh. Meskipun pada
ukiran rumah kuno Awee Geutah tersebut lebih halus dalam pengerjaannya.
Keberadaan
motif di Aceh, khususnya pada rumah tradisional tidak memiliki bentuk yang baku.
Bisa saja motif pada daerah atau kabupaten tertentu berbeda jauh dengan tempat
lainnya. “Hal ini sangat dipengaruhi
oleh asal penduduk setempat,” kata Rachmatsyah. Menurutnya, motif pantai barat
Aceh cenderung berbeda dengan motif yang berkembang di pantai timur. Namun
demikian, secara umum motif Aceh pesisir mudah dibedakan dengan motif asal
daerah Aceh pedalaman, seperti Gayo dan Alas.
Kekayaan
khasanah budaya masa lalu ini dimanfaatkan untuk mengungkap budaya masa lalu di
kawasan tertentu berikut zamannya. Mencermati kesamaan motif Arabis di beberapa
tempat dalam kawasan Mesjid Habib, dapat simpulkan sementara, bahwa syiar
Islamiyah di tempat itu lebih didominir masyarakat Arab. Informasi yang
diberikan oleh motif-motif ini cukup kuat menggambarkan kondisi masyarakat masa
itu dalam melanggengkan seni ukir hingga bertahan sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar