H Suadi BIE
H Suadi, BIE, 1989. |
Aku meyakini, bahwa aku mampu mengambil keputusan
dalam kebijakan proyek tidak terlepas dari kontribusi H Suadi, BIE, selaku
kepala dinas tempat aku berbakti sebagai tenaga honorer. Sosoknya berwibawa, penuh percaya diri. Banyak kepercayaan
dalam bidang teknis sipil di Dinas PU Aceh Utara yang didelegasikan kepadaku. Ujian
pertama saat aku sebagai tenaga honorer (Pebruari 1989), yakni mengukur,
menggambar, dan menghitung rencana anggaran biaya untuk jembatan kecil di
lintasan jalan Mobil Oil, Point A, Aceh Utara. Waktu yang diberikan relatif
singkat, yakni 2 hari. Saat pertemuaan dengan petinggi perusahaan asing itu,
untuk mendiskusikan hasil kerjaku, Pak Suadi mengangguk-angguk meyakinkan.
“Bagus anak muda,” katanya memberi semangat, selepas para petinggi itu pulang. Sejak
itu, aku mendapatkan kepercayaan penuh dalam hal pemeriksaan hasil
perencanaan konsultan.
Suatu hal yang membesarkan hatiku saat itu,
manakala Republik Indonesia marak dengan bantuan negara Eropa, seperti dari
IGGI, sejenis bantuan untuk prasarana perkotaan, aku ditunjuk sebagai counterpart mewakili pemerintah daerah. Bergabung
dengan tim kerja asal Eropa suatu hal baru bagiku, meskipun aku diwawancarai
oleh para engineer yang lebih dulu
direkrut. Konsultan Eropa yang menjadi representatif bantuan tersebut, yakni DHV consultant, yang waktu itu dipimpin
oleh Mr Deeble dari Belanda. Klasisifikasi proyek yang ditangani kala itu berbasis
sanitasi, termasuk drainase perkotaan. Nama proyek tersebut Small Town Sanitation Project (STS).
Mr Deeble, 1989 |
Hari pertama aku bergabung dengan mereka,
tanggalnya aku lupa namun tahunnya aku ingat 1989, tiga bule ditambah satu orang Indonesia, Ir Dang Uro Winara, mengelilingiku
menanyai banyak hal seputar kemampuan
teknis. Mereka merasa asing tentang nama universitas tempat aku kuliah, Syiah
Kuala, seperti tertera dalam curriculum
vitae-ku. Aku merasa dikecilkan oleh mereka waktu itu, hingga akhirnya
mereka menyerahkan satu peta Kota Bireuen yang harus aku tentukan batas wilayah
tangkapan air serta titik aliran terjauh, untuk desain drainase kota. “Tomorrow morning you explain it to me,”
kata Pak Deeble mengakhiri uji kelayakan staf. “Thank you,” kataku meninggalkan mereka. Tanpa pikir panjang aku
menemui rita untuk meminta beberapa warna stabillo boss, sebagsa kelir pewarna
cair yang tersedia di kantor itu. Hingga sore aku menyelesaikan tugas itu. Keesokan
harinya, pagi jam 07.00 WIB, aku menemui Pak Deeble yang juga ahli pengairan
untuk memperlihatkan hasil kerjaku. “Wow,
nice,” katanya, saat melihat peta kubentangkan di meja meeting di ruang kerjanya. Lantas dia memanggil Pak Dang Uro untuk
sama berdiskusi tentang hasil kerjaku, peta daerah tangkapan air yang aku
tampilkan beraneka warna.
Berita hasil kerjaku itu diberitakan mereka ke Pak
Suadi, bahwa aku dapat mendampingi mereka untuk perencanaan. Akupun diberi
fasilitas sepeda motor oleh Pak Suadi, untuk kelancaran kerja. Pada tahun 1990, aku dipecayakan untuk
merencanakan waduk pengumpul air hujan (lebih populer disebut tando III) di Kelurahan
Simpang 4, Lhokseumawe, penyelesaian engineering
design-nya oleh rekan-ku dari PIM, Ir Syafrizal. Kepala dinas yang ahli
pengairan ini juga banyak mengajarkanku tentang filosofi administrasi proyek,
bagaimana berbagi dengan bawahan, bertindak dalam proyek, dan lainnya. Semoga pembelajaran
yang dilakukan Pak Suadi untuk penciptaan mindset-ku
menjadi amalan baginya.
Razuardi Ibrahim bersama tim kerja STS Project, 1989 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar