Razuardi Ibrahim dan Bupati Nurdin meninjau asset, 2011 |
Politik Pemupusan Citra
Sepengetahuanku, politik merupakan alat untuk
mencapai tujuan tertentu. Aku hanya berpegang sebagaimana diajarkan waktu di
SMA dan di fakultas dulu, dalam mata pelajaran kewiraan. Namun demikian pada
tahun 1995 di saat aku sukses memulai membangun jembatan Teupin Gapeuh, Aceh
Utara, para seniorku sering berpesan untuk menjadi pejabat kita harus memiliki
kemampuan politik di samping kemampuan teknis yang kita dapatkan di bangku
kuliah. Aku tidak suka dengan ungkapan seperti itu karena lebih memusingkan
kepalaku dari pada kenyamanan bekerja. Pernyataan para seniorku mungkin ada
benarnya, karena mereka sering memperebutkan posisi ketua organisasi di tingkat
kabupaten untuk memperkuat posisi jabatannya di struktur pemerintahan. Begitupun,
aku tetap tidak tertarik dengan hal serupa itu. Tapi ada pesan lain dari para
senior-senior tersebut bahwa setidak-sukanya kita dengan pemikiran politik,
tetap saja nilai politik membelenggu para pejabat publik. Waktu itu aku mulai
menterjemahkan bahasa para senior itu ke dalam suatu persaingan kepentingan.
Dengan ungkapan dalam hati bahwa jika kehadiran kita mengusik kepentingan orang
lain maka respon pihak tersaingi akan memperburuk pencitraan terhadap kita.
Aku mengalami pemupusan citra atau sering orang bilang, pembusukan,
di Bireuen sejak aku akrab mendampingi Bupati Nurdin Abdul Rahman, 2009. Sebelumnya Pak
Nurdin, panggilan aku kepada beliau, bertindak sendiri tanpa teman yang mendampingi. Kami
sering duduk hingga pukul 02.00 WIB saban malam jika beliau berada di Bireuen.
Banyak hal yang dikeluhkan padaku khususnya tentang administrasi, asset daerah,
kompetensi orang-orang baik di lingkup aparatur maupun di luar, dan lain
sebagainya. Aku sering menggiring pemikiran positif dalam menyikapi berbagai
hal yang dirasakan sulit oleh Pak Nurdin, dengan tujuan agar Pak Nurdin tidak
terjebak dalam persoalan di kemudian hari. Sebagai contoh, manakala investor
kebun sawit dari Malaysia datang membuat kontrak kerja sama dengan Pemkab
Bireuen aku menyarankan agar perusahaan itu tidak langsung bekerjasama dengan
Bupati Bireuen. Karena jika terjadi hambatan yang tertera dalam pasal demi
pasal dalam kontrak tersebut, Pak Nurdin akan terbawa-bawa. Aku menyarankan
agar perjanjian kerjasama ini dilakukan antara investor dengan perusahaan
daerah saja.
Hari demi hari, aku sering ke lapangan bersama Pak
Nurdin sehingga isu berkembang, bahwa aku dan Pak Nurdin merupakan kesatuan
yang sulit terpisahkan. Waktu itu aku masih menjabat sebagai Kepala Bappeda
Bireuen yang dapat mengakses langsung ke Pak Nurdin setiap waktu. Tetapi yang
aku rasakan bukanlah karena jabatan itu aku akrab dengan beliau, lebih jauh
dari itu Pak Nurdin sering mengajakku berdiskusi tentang banyak hal seputar buku
baru dan persiapan beliau dalam berbagai presentasi di tingkat propinsi,
nasional, bahkan internasional. Hal ini tentu tidak menutup kemungkinan tentang
adanya pihak-pihak merespon negatif terhadap
kedekatanku dengan beliau. Tidak jarang PakNurdin menceritakan SMS yang dikirim beberapa orang ke
HP-nya tentang moral dan kinerjaku dan selalu diceritakannya kepadaku, namun tidak
aku tanggapi. Adalah kebiasanku
mengacuhkan berita menyesatkan serupa itu seperti masa-masa sebelumnya karena dalam
pikiranku cara pembusukan dengan cara menyembunyikan identitas akan menjebak
kita dalam situasi yang tidak elegan. Sering aku
mengalihkan pembicaraan kepada konsep-konsep konstruktif yang lebih menantang
untuk masa depan bersama. Di antaranya menggerakkan potensi etos kerja
masyarakat Bireuen yang dapat diandalkan melalui program instant.
Suatu hari, aku di-SMS Pak Nurdin dengan suatu pertanyaan yakni, “apakah yang saya lakukan tidak ada lagi yang baik di Bireuen ?,” tanyanya. Pak Nurdin menjelaskan bahwa dalam tiga kali pertemuan
dengan para jurnalis Bireuen hanya beberapa informasi saja yang positif, selebihnya berita yang diekspose beberapa media dari pertemuan tersebut
selalu memojokkan kinerja beliau. Beberapa saat aku datang ke Meuligoe untuk
membesarkan perasan beliau dengan memberikan beberapa solusi. Aku menyarankan agar
pemerintah daerah mampu mengimbangi pemberitaan di masyarakat dengan
menerbitkan surat kabar atau apapun namanya.
Beliau menyatakan setuju serta memerintahkanku untuk menyusun kerangka
acuan kerja.
Pebruari 2009 edisi perdana tabloid Narit terbit yang didistribusi
ke seluruh desa, Muspida, satuan kerja, dan lain sebagainya. Pemberitaan
tabloid ini tentunya subjektif dengan membangun citra positif kepada Pemkab
Bireuen. Kondisi pembusukan terhadapku semakin keras di segala lini, di kedai
dan warung, di lingkup aparatur, dan lain sebagainya. Actor gerakan pembusukan
itu kukenal baik di lingkup aparatur maupun di lingkup jurnalis. Aku menyadari
posisiku selaku bamper pak Nurdin cukup membutuhkan pertahanan diri dari aspek
moral dan mental. Dalam pikiranku, orang tertentu boleh tidak menyenangi bahkan
menurunkan citra Pak Nurdin di mata masyarakat dengan mengusung issue kabupaten
yang terpuruk akibat jalan di tempat, tetapi tidaklah etis jika kelompok itu
mengekspose Bireuen yang buruk di mata masyarakat lain di luar Bireuen.
Kelompok pelaku pemupusan citra semakin eksis dan meluas di lapisan
masyarakat dengan mengusung isu kegagalanku di Kawasan Industry Bireuen, di Cot
Batee Geulungku. Sebagian orang datang padaku menanyakan tentang besaran uang
yang kuperoleh dari rencana pembangunan kawasan itu. Aku menyuruh mereka
memeriksa di bagian keuangan Setdakab saja. Aku berharap agar informasi yang
mereka peroleh tentang aku tidak mendapatkan uang dari rencana itu, dapat
mewarnai pemikiran mereka tentang konsep kelompok tertentu untuk suatu rencana
pembusukan. Tidak cukup di situ, mereka mencoba membangun issue baru tentang
sosokku yang bekerja sebatas cerita tanpa aksi. Isu serupa ini cukup menantang bagiku namun menguras energi lumayan besar.
Aku menyikapinya juga dengan diam, namun membangun pembuktian
lewat kerja besar dengan ide bangkitan kawasan, yakni kawasan industry
peternakan terpadu di Gandapura.
Sering aku ke Gandapura dalam rangka duduk ngobrol dengan masyarakat
di sana, di sekolah mukim yang difasilitasi sebuah LSM. Aku juga banyak
bercerita tentang Gandapura sebagai gerbang timur ekonomi Bireuen yang harus
bangkit. Semangatku melambung tatakala PT Syaukath Sejahtera positif membangun
pabrik kelapa sawit di kecamatan itu. Malam hari selepas tugas di Bireuen, aku
mengunjungi Gandapura ditemani Pak Ismail Adam untuk bahas tentang kesiapan
masyarakat dalam menyambut kehadiran pabrik besar tersebut. Pertengahan 2010,
masih banyak hal yang harus disiapkan, mulai dari Amdal hingga implementasi
lapangan. Pada pertengahan 2011, areal beserta PKS mulai berwujud dan aku
dimintakan ekspose di Koran Serambi Indonesia. Sebagian masyarakat mulai
menanyakan hal itu kepadaku, khususnya tentang kapan kawasan itu direncanakan.
Aku puas atas pertanyaan mereka seraya menjelaskan bahwa membangun tidak mesti
dengan kekuatan financial pemerintah saja, boleh dari donatur mana saja seraya aku jelaskan juga bahwa tugas
pemerintah lebih kepada memfasilitasi dan meregulasi hasrat dunia usaha. Terlebih lagi kepuasanku
memuncak, tatkala salah seorang di antara mereka
mengakui telah silap menilaiku akibat isu yang dikembangkan jurnalis tertentu.
Kurang lebih satu tahun aku membantu percepatan
kawasan Gandapura tersebut, sejak pembebasan lahan yang dilakukan camat setempat.
Beberapa malam aku mengajak Pak Nurdin untuk mengunjungi Gandapura guna memberi
penjelasan kepada tokoh masyarakat di sana. Gairah melawan isu semakin
memuncak, seakan tiada lelah karena titik terang terhadap bangkitan kawasan
semakin menjelma. Saban hari aku bersama rekan kerja di Bappeda menyiapkan
peta-peta yang dibutuhkan untuk penjelasan kepada masyarakat. Aku mendapat
rekan kerja baru yang handal dari pihak PT Syaukath Sejahtera, yakni Pak Heri
dan Pak Hanafi yang selalu memberi aku semangat yang luar biasa.
Jelang peresmian, saat pabrik masih uji coba, aku
s udah menjabat sebagai Sekdakab
Bireuen, aku bersama Bupati Nurdin, Dandim Bireuen, Letkol Inf M Arfah,
Kapolres Bireuen, AKBP Yuri K, Danyonif 113 JS, Mayor Triadi M, dan beberapa
rekan lain mengunjungi pabrik. Aku puas sekali manakala Apa Yan dan petugas
lapangan PT Syaukath Sejahtera datang menyapa ramah kepadaku. Keesokan harinya,
aku menceritakan perjalanan ini kepada beberapa pejabat Pemkab Bireuen dan
beberapa jurnalis. Umumnya mereka bertanya,
“ada apa di Gandapura itu ?”. Aku bilang, “PT Arun sudah pindah ke tempat itu “. Mereka tidak paham maksudku, namun aku melihat
rona beberapa wajah di antara mereka yang menyiratkan menerima sebuah kegagalan
pemupusan citra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar