Awak
Pak Raju
Razuardi Ibrahim, 2010 |
Aku
sering dikabarkan beberapa kawan di lingkungan aparatur Bireuen sekitar Agustus 2012 hingga hari ini (9/3/2013), tentang adanya
pengelompokkan aparatur sebagai orang-orangku, atau mereka menyebutnya dengan Awak Pak Raju (APR). Sesungguhnya aku
tidak suka dengan cerita itu dan tak jarang mengalihkan pembicaraan ke topik
lain. Namun demikian, aku tak pernah
terganggu dengan istilah itu, bahkan opini itu berpeluang baik untuk
membangkitkan konotasi positif di kalangan tertentu. Oleh karena pengelompokkan
ini berujung kepada kekhawatiran aparatur tertentu terhadap penggusuran jabatan
maka lebel APR perlu disembunyikan dalam pergaulan aparatur. Dari cerita yang
lain, aku dikabari sosok muda lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendapat
manfaat dari menyebutnya sebagai rekan Pak Raju yang juga sama dengan APR. Anak
muda itu bekerja dengan fasilitas lumayan setelah diterima suatu yayasan yang
sebelumnya pihak yayasan mengkonfirmasikan tentang pengakuan sosok itu sebagai
rekan Pak Raju kepadaku.
Aku
memahami kondisi di lingkup aparatur tempat aku bekerja dulu, Bireuen, bahwa APR
yang dimaksudkan adalah orang-orang yang dijabatkan atau dilantik pada masa aku
menjabat sebagai Sekdakab, yakni kabinet 11-11-11. Kabinet ini mulai beroperasi
pada saat pelantikan, yakni pada 11 Nopember 2011 dan berakhir setelah
pergantian pimpinan daerah. Pada dasarnya, APR merupakan kumpulan aparatur yang
diposisikan sebagai pejabat tanpa keluh kesah yang memiliki kompetensi dan
berkomitmen kuat untuk menghadirkan solusi. Di samping itu pencirian aparatur
APR terbangun dari konsep kebersamaan tanpa premordialisme dan mengutamakan
regenerasi untuk masa depan Bireuen, secara objektif. Oleh karenanya, kabinet
11-11-11 atau APR tidak mendapat kesulitan dalam menghadapi berbagai persoalan.
Contohnya, penyelesaian soal ganti rugi lahan Makodim, Kereta Api, Pertokoan
Jeunieb yang dipawangi Murdani serta beberapa kawan lain, hanya dalam tempo
yang terlalu singkat. Ada lagi APR lain yang juga sukses tanpa terekspose, khawatir
tersisih dalam jabatan yang memang sulit diterima bagi aparatur tertentu. Tidak
terlalu sulit untuk mencirikan kelompok APR, yakni dengan mengajukan beberapa pertanyaan
terkait soal pembangunan dan pemerintahan untuk didapatkan solusinya. Jika
jawaban mengambang tanpa solusi maka dapatlah digolongkan dia bukan APR dan
boleh dipakai sebagai pejabat manakala dibutuhkan pejabat bukan dari APR.
Dalam
informasi masyarakat dunia usaha yang kuterima, bahwa APR itu bukan saja di
lingkungan aparatur namun tersebar ke aspek dunia usaha. Memang tidak banyak
para pengusaha yang aku bantu untuk memulai penghidupan dari aspek dagang
sektor riil atau konstruksi. Untuk usaha bidang konstruksi ini aku terbiasa
memberi hak transparansi yang sama terhadap pembinaan kepada semua, namun
tidaklah etis menyebut nama-nama itu, selain aku sendiri khawatir terhadap
sosok pengusaha yang sudah sejahtera tersebut bermasalah dalam perjalanannya,
khususnya dalam hal membangun kebersamaan sesama. Di lingkup aparaturpun tidak
jauh berbeda, manakala sosok pejabat tertentu sudah memiliki kewenangan, ianya
lupa diri dan melakukan kesewenang-wenangan kepada bawahan dan masyarakatnya. Kalaupun
ada pejabat serupa ini yang awalnya dekat dan selalu bersamaku, tentu dia bukan
APR melainkan penumpang belaka.
Beberapa
kawan yang sering melakukan diskusi sosial bersamaku mengakui, bahwa
kecenderungan yang terjadi merupakan proses alamiah dan akan pupus dengan
sendirinya tatkala berbagai hambatan kebutuhan sistem masyarakat menuntut
penyelesaian. Aku juga tidak berkepentingan untuk mempersoalkan keadaan ini
apalagi menyalahkan. Teori peng-cluster-an,
atau pengelompokan sudah berkembang sejak lama di berbagai belahan bumi,
termasuk di Eropa sendiri. Aku berpikir, bahwa upaya clustering APR merupakan kebutuhan alam dalam membangun pengakuan
terhadap kelompok tertentu yang belum terlebel. Kecenderungan ini kunikmati
sebagai suatu gejala aparatur yang perlu penguatan moral dan mental untuk
meraih masa mendatang yang lebih kompetitif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar