Undak-undak
Baiturrahman
Mesjid Raya Baiturrahman, 1989 |
Undak-undak
pada bahagian depan mesjid masih menjadi trend
pada bangunan mesjid di Aceh. Banyak kalangan desainer mesjid di Aceh
mengakui, bahwa undak-undak atau tombak layar berjenjang, merupakan tradisi
arsitektur Eropa yang berkembang di awal abad-18, khususnya Belanda. Tradisi
Eropa ini bukan untuk bangunan mesjid atau bangunan keagamaan lainnya, tetapi
lebih digunakan untuk memperkuat ciri bangunan rumah tinggal atau ruko. Namun
pada kenyataannya, setelah bentuk undak-undak ini terinfiltrasi ke Aceh pada
bangunan Mesjid Raya Baiturrahman pada 1879, kemegahannya menjadi tolok ukur
dalam tampilan mesjid baru pada umumnya.
Mesjid Agung Bireuen, 2013 |
Pada
awal 2013, aku mengevaluasi kembali tentang penggunaan undak-undak pada mesjid
kabupaten-kota di sepanjang lintasan jalan nasional Banda Aceh-Medan. Karena
aku awam dalam istilah sentuhan arsitektur, tombak layar berjenjang ini aku
namakan saja dengan Undak-undak
Baiturrahman. Tidak jarang aku mampir shalat pada mesjid yang tengah dibangun
dengan menggunakan langgam Undak-undak Baiturrahman sambil mencermati perbedaan
kenikmatan pandangan dari beberapa. Ada yang indah menurutku serta beberapa
komentar masyarakat pemerhati, setidak-tidaknya dalam ukuran ketertarikan
komunitas awam sepertiku. Tidak sedikit pula yang kurang menarik dalam ukuran
ketertarikan seperti di atas. Tentu aku berusaha menyimpulkan dari apa yang
kusaksikan terhadap keberadaan mesjid berlanggam seperti ini dengan tujuan sharing bagi yang memerlukan.
Perhatianku ini lebih kepada menjawab pertanyaan beberapa rekan yang tidak
setuju terhadap pembongkaran bahagian depan atau keseluruhan dari mesjid hanya dengan
alasan “kurang pas.” Kondisi kurang
pas yang dimaksudkan ini lebih dapat diartikan kepada tidak menariknya mesjid
tersebut setelah ekspresi undak-undak gagal meningkatkan daya tariknya. Kejenuhan
dari kondisi akibat tingginya espektasi yang terjadi berdampak kepada bongkar, renovasi
atau rehabilitasi mesjid tertentu.
Undak-undak bangunan Eropa, 1800an |
Aku
pernah menjadi panitia pembangunan mesjid di beberapa tempat di Banda Aceh,
Lhokseumawe dan Bireuen. Aku memperhatikan pada saat membahas masalah bentuk
atau arsitektur mesjid tertentu, para panitia saling berdebat menurut pemahaman
masing-masing. Masing-masing melapor
tentang indahnya suatu mesjid di daerah tertentu dan mengintervensi kelompok
diskusi untuk mengkomodir pengalamannya. Dari beberapa kepanitiaan yang aku ikuti,
setelah debat kusir berkelanjutan tanpa arahan yang jelas, terjadi friksi dalam
panitia panitia tersebut dan tidak jarang pula panitia bubar sebelum desain
mesjid terwujud. Umumnya, mereka berdebat tentang gerbang mesjid yang
kebanyakan memilih bentuk Undak-undak Baiturrahman. Ada persoalan lain tatkala
mesjid ber-undak Baiturahman itu mulai dibangun dan terlihat bentuknya, yakni
penilaian tentang bentuk mesjid yang hadir di tempat itu. Tampilannya tidak
seperti yang disaksikan pada mesjid lain bahkan Mesjid Baiturrahman sendiri. Artinya,
undak-undak yang ter-mindset sarat
kemegahan dan keindahan, tampil tidak seperti yang diharapkan.
Mesjid Batuphat Timur Lhokseumawe, 2013 |
Dalam
evaluasi tanpa dasar akademis yang aku lakukan, aku berkesimpulan sementara
bahwa keindahan undak-undak sangat dipengaruhi oleh kondisi proporsional, kemiringan,
keterpaduan antar elemen, ornamen, bahan dan mungkin saja masih ada beberapa
yang lain. Meskipun begitu, hingga awal 2013, keinginan masyarakat tertentu,
masih terobsesi membangun mesjid dengan mengacu kepada arsitektur Mesjid Raya
Baiturrahman, Banda Aceh, tanpa memperhatikan batasan keindahan yang harus
dipenuhi.
Mesjid {Peureulak, 2013 |
Aku
tertarik mencermati kasus ini sejak tahun 1990-an, lebih dikarenakan
ketidak-setujuanku tentang membongkar untuk merehab mesjid yang tiada henti
akibat ketidak-puasan jamaah tertentu. Konsekuensi perlakuan ini tentunya menggiring
nafsu kepada kondisi pemborosan belaka. Sementara, konsep arsitektural yang
dipersoalkan seputar kemegahan mesjid lewat tradisi Eropa yang memang
terinfiltrasi dan berkembang di saat desain arsitektur mesjid di Aceh masih
terkekang dalam bentuk-bentuk tradisional.
Mesjid Caleue Pidie, 2013 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar