Kriteria Kepala
Bappeda
Razuardi Ibrahim, 2008 |
Aku menjabat
selaku Kepala Bappeda Bireuen sebanyak 2 kali, yakni pertama pada 6 Desember 2005
hingga Mei 2007 dan kedua pada April 2009 hingga September 2011, dalam masa
kepemimpinan dua bupati berbeda. Pada masa pertama, Bupati Bireuen waktu itu
Mustafa A Glanggang, tugasku lebih kepada mengevaluasi hasil pembangunan yang
dilakukan beliau karena aku menjabat di jelang akhir masa kepemimpinan beliau. Sering
aku diskusi dengan Pak Mus tentang evaluasi pembangunan pada malam hari di
kediamannya, Pendopo Bireuen. Aku cermati, Pak Mus mau belajar tentang
pembangunan dan sering aku disuruhnya menceritakan langkah-langkah melakukan
pembangunan kawasan tertentu setelah rencana tersebut diungkapkannya kepadaku,
contohnya kawasan industri Batee Glungku.
Masa ke-dua,
Bupati Bireuen waktu itu Nurdin Abdul Rahman. Sebelum waktu itu Kepala Bappeda
dijabat oleh Dr Ir Nasir Arafat, MSc yang tiba-tiba sakit dan mengundurkan diri
seketika sehingga kepemimpinan di institusi itu lowong beberapa bulan. Pada
saat itu, aku menjabat sebagai Asisten Ekonomi dan Pembangunan (Asisten II)
Setdakab Bireuen. Suatu hari aku dipanggil Pak Nurdin ke Pendopo untuk
membicarakan jabatan yang kosong itu. Menurut Pak Nurdin, iyanya akan
menotadinaskan Kepala Bappeda Bireuen kepadaku. Dengan demikian, aku memimpin
dua jabatan sekaligus. Sebetulnya, aku keberatan karena dari isu berkembang,
jabatan itu sedang diperebutkan oleh beberapa pejabat di Bireuen. Aku tanyakan
hal itu kepada Pak Nurdin, “iya, tapi
orang yang menjabat mesti dari orang yang berbasis perencana,” kata Pak
Nurdin yang menurutnya saran itu didapatnya dari seorang rekan di Jakarta. Dalam
beberapa hari, Bang Zubir Sahim meneleponku dari Jakarta dengan info seputar
Kepala Bappeda,”iya dek, pak Nurdin
ketemu abang dan kelihatannya beliau susah sekali menentukan kriteria Kepala
Bappeda,” katanya. “Jadi abang tunjuk
aku?,” tanyaku sambil menjelaskan susahnya bertanggung jawab di dua
institusi. Namun Bang Zubir membesarkan hatiku, “di asisten kan cuma kordinasi dek,” katanya lagi.
Dalam rapat
dinas bulanan aku masih berperan sebagai Asisten II, tanpa mengetahui bahwa
nota dinas selaku Kepala Bappeda sudah ditandatangani dua minggu lalu. Tatkala
menanyakan laporan Bappeda, Pak Nurdin bertanya kepadaku dan aku menjawab bahwa
aku tidak bertugas di sana. “Nota dinas
sudah saya tandatangani dua minggu lalu,” katanya. Seorang rekan yang duduk
di sebelahku berbisik, “sabotase,” ungkapnya
pelan. Aku tidak terlalu peduli dengan sabotase tersebut, seraya bergegas
menemui Sekda yang tidak ikut rapat hari itu karena ada tugas lain. “Tolong sampaikan pada mereka antarkan
segera nota dinas itu, agar saya bisa benahi Bappeda hari ini,” kataku
sambil menjelaskan aku merasa tidak enak ditegur Bupati Nurdin pagi tadi.
Tatkala aku masuk ke ruanganku, aku melihat nota-dinas itu sudah terletak di
atas meja kerjaku.
Menjelang
pelantikanku sebagai Sekda
Bireuen(9/9/2011), Pak Nurdin bertanya kepadaku tentang sosok yang
pantas menjadi Kepala Bappeda Bireuen. Aku balik bertanya, “orang yang diperlukan seperti apa pak?, seorang yang mampu mendesain
kawasan atau yang cuma input tabel dari dinas-dinas?,” tanyaku di ruang
kerjanya. “Yang bisa merencanakan
kawasanlah,” jawabnya singkat sambil menjelaskan ada beberapa orang pejabat
datang meminta posisi tersebut. Lantas aku jelaskan tentang kriteria mindset sosok pejabat yang layak untuk jabatan itu. “Sebaiknya bapak uji saja yang minta-minta jabatan itu, supaya fair dan
mereka menyadari tugas yang diminta,” kataku. Tetapi Pak Nurdin mendesak
agar aku menyebutkan satu nama dari aparatur yang berkompetensi dan berpangkat
memenuhi untuk jabatan itu. Lantas
aku menyebutkan nama Yanfitri, setelah T Zahedi tidak berkenan pindah ke
Bireuen. Setelah menempatkan Yanfitri di jabatan itu, Pak Nurdin bercerita
kepadaku,”jadi kok orang bilang
macam-macam untuk Yanfitri, sementara apa yang saya suruh dia bisa selesaikan
cepat” katanya polos. Ungkapan Pak
Nurdin tentu layak diaplikasikan ke dalam penetapan kriteria sosok Kepala
Bappeda guna menghindari perebutan tak berdasar yang mengabaikan eleganitas aparatur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar