Tatkala
Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza, mengekspose melalui Serambi Indonesia
(21/03/2013) dengan topik “Free Sex
Rambah Banda Aceh,” banyak kalangan masyarakat kelas bawah mengomentari,
setidak-tidaknya begitu yang terlihat di warung kopi Kuala Simpang. Bu Illiza
beralasan bahwa anak-anak pelaku sex
bebas tersebut berasal dari keluarga broken
home. Suatu hal dari beberapa yang dituntut GP Ansor dalam pertemuan itu,
yakni jangan jadikan syariat Islam hanya
sebagai alat pencitraan belaka. Dalam
ekspose berita hari itu, Wakil Walikota Banda Aceh yang juga kaum perempuan
menjelaskan, bahwa anak-anak yang terjerumus ke dalam bisnis free sex itu mengaku berasal dari dua
daerah di pantai timur Aceh, tanpa menerangkan daerah mana yang dimaksud. Di
akhir berita, Serambi Indonesia menulis sumpah Bu Illiza, yakni “demi Allah kami bersungguh-sungguh dalam
penegakan syariat Islam di kota ini,” katanya menutupi.
Membaca
berita itu, aku meyakini bahwa Wakil Walikota Banda Aceh didesak peserta
pertemuan untuk bertanggungjawab terhadap pelanggaran syariat Islam yang
terjadi di Kota Banda Aceh. Di sisi lain, tidak layak pula kesalahan terhadap
pelanggaran yang terjadi dibebankan kepada pemerintahan kota. Namun, dari jawabannya,
terkesan adanya pelimpahan kesalahan kepada warga dua daerah lain yang
mencemari Kota Banda Aceh. Orang-orang
di warung kopi pagi itu bergumam, bahwa warga Banda Aceh jauh dari pelanggaran seksualitas
dan tidak tercemar oleh budaya free sex.
Dari
pemberitaan itu, aku menyimpulkan, ada dua alasan terjadinya free sex di Banda Aceh, yakni faktor broken home dan penularan dari warga
luar daerah. Aku kurang sependapat dengan tudingan semacam ini karena akan
membangun imej buruk terhadap warga daerah tertentu. Jika berfikir cerdas,
mestinya banyak pihak yang dapat dikaitkan dengan kondisi yang semakin
menggejala itu. Aku juga meyakini bahwa gejala ini tidak akan selesai dengan
saling tuding serta melimpahkan persoalan kepada pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar