Meunasah
Reudeup
rumah neneh di Meunasah Reudeup, pada 1990 dibangun pada 1945 |
Letak
desa ini kurang lebih 3 kilometer dari Lhoksukon, ibukota Kabupaten Aceh Utara.
Kampung ini adalah tempat kelahiran Pakwa Binsari, abang ipar ibuku. Karena aku
sejak taman kanak-kanak telah tinggal bersama Pakwa Binsari maka aku sering
pulang ke Meunasah Reudeup bersama Pakcik Muslim, adik Pakwa Binsari. Di tahun
1975, kampung itu belum masuk listrik sehingga aku dan beberapa kawan sebayaku
tidur dalam gelap di rumah nenek yang dibangun sekitar tahun 1945. Banyak
anak-anak desa yang mengaji di rumah nenek dan menginap di situ. Hal ini
dikarenakan nenek melarangnya pulang dengan alasan menghindar dari gangguan
babi yang memang banyak berkeliaran di kampung itu tatkala malam tiba.
Pada
bulan puasa di tahun 1975, bersama Duli anak Pakwa, aku menjalani ibadah itu di
sana selama 15 hari. Setiap memasak untuk sahur, nenek memukul kentongan bambu,
masyarakat menyebutnya tak-tok, untuk
membangunkan tetangga. Kentongan itu diletakkan di atas dapur rumahnya yang
tinggi. Bagi keluarga di lain rumah sudah bangun, mereka juga membunyikan benda
itu hingga terdengar ke rumah lainnya. Setelah masakan tersedia, nenek
membangunkan kami untuk sahur bersama. Kami bersantap di lantai dapur yang
terbuat dari bambu yang berbunyi tatkala kami berjalan. Lampu di dapur itu
ialah lampu teplok yang terbuat dari
kaleng cat, diisi minyak tanah dan disematkan sumbu dari pintalan kain bekas.
Suara dominan pada malam sunyi itu, yakni gemuruh hewan malam yang saling
bersahutan.
Suasana Desa Mns Reudeup pada 1984 |
Pada
tahun 1978, listrik sudah mulai masuk ke Meunasah Reudeup, meskipun masih
terbatas untuk satu atau dua lampu saja per rumah. Suasana sahur di kampung itu
mulai berubah karena tak ada lagi lampu teplok
yang menghitamkan lubang hidung kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar