Debat
Permisalan
Setelah kucermati beberapa
lama, tradisi komunikasi masyarakat relatif rentan dipengaruhi ungkapan atau
makna suatu permisalan. Tradisi ini berkembang sejak lama dan mampu menyusup ke
dalam tradisi sastra, seperti hadirnya karya satra populer sebelum tahun 1970
di kalangan masyarakat yang berjudul, “Andai-andai
Si Muin.” Makna permisalan inipun berkembang dalam beberapa kata seperti kalau, misal, andai, umpama, andakata, jika,
jikalau, bila, mana tau dan lain sebagainya. Aku menerawang kembali ke
beberapa peristiwa masa lalu, tentang peluang pererselisihan yang terjadi di
tengah masyarakat akibat ke-tidaksepakatan dari sebuah permisalan. Di tahun
1978 ketika aku masih duduk di bangku SMA, pernah kawan akrabku, AJ, membakar
lengan kerabat lain, IS, akibat debat permisalanan seketika. Pasalnya, AJ
menaruh hati kepada ER, teman wanita se-angkatan IS, yang dimintakan tolong
oleh AJ untuk mengirim salam setiap ketemu. Dalam diskusi persiapan pengiriman
salam itu, IS mengungkap sebuah permisalan, “kalau
nanti ER naksir ke aku gimana bang?,” tanya nya. AJ langsung saja naik
pitam sehingga terjadi pertengkaran panjang, saling tuduh dan bantah. Di luar
aspek asmara, debat permisalan dalam aspek status sosialpun dapat menimbulkan
ketegangan hingga berakhir dengan perkelahian.
Razuardi Ibrahim, Langsa 11 Agustus 2013 |
Di tahun 1988, beberapa kawan
yang sama baru diwisuda melakukan diskusi kecil tentang suatu kemungkinan
diterimanya salah seorang dari mereka setelah diadakannya testing bersama untuk
menjadi karyawan PT Arun di Fakultas Teknik. Salah seorang dari mereka
mengklaim bahwa kawan lain tidak bakal lulus karena penerimaan terbatas. “Kalau aku yang diterima, gaji pertama akan
kubagi untuk kalian semua,” kata alumnus yang sesumbar itu. Lantas yang
lain membantah bahkan menuduh kawan tadi berlaku curang jika hanya dia yang lulus. Suasana debat kecil saat itu menciptakan
hubungan kurang harmonis sesaat di antara mereka. Terlebih lagi debat
permisalan hari itu mengundang kecurigaan sesama.
Debat permisalan terus saja
terjadi hingga ke tahun 2013 ini, meskipun persentase yang berdampak perselisihan
relatif menurun. Namun jika ditelaah lebih lanjut, ungkapan permisalan bukan mulai
ditinggalkan dari tradisi komunikasi, melainkan berubah orientasi ke mindset lain, yakni menyusup ke dalam
aspek perpolitikan secara umum. Di mana-mana orang dari partai politik tertentu
lugas menguji permisalan dengan animo konstituennya yang bertujuan mendulang
suara. “Jika saya duduk di dewan usulan
proyek saudara-saudara akan mulus,” demikian ungkapan umum para caleg. Bagi
kelompok yang menolak pernyataan seperti itu, bantahan bahkan hujatan akan
serta merta diperdengarkan. Tidak jarang akibat konflik komunikasi ini berakhir
dengan debat yang dapat terbuktikan secara langsung. Tidak cukup sampai di
situ, ada lagi debat penyesalan akibat debat permisalan masa lalu. “Kan sudah saya bilang kalau Tuanku Nifra jadi bupati korupsi kan bisa dihapuskan,” kata salah seorang
timses kepada kawannya. “Ya kalau dia menang, tapi jika Pasangan Bobang
ini kalah kan bisa gawat belanja kita,” bantah yang lain dengan keras. Banyak lagi contoh-contoh debat
permisalan yang masih beredar di tengah masyarakat. Mencermati keadaan seperti
ini, dapatlah disimpulkan sementara bahwa tradisi komunikasi permisalan untuk suatu
tujuan dalam masyarakat masih bertahan, sementara perdebatan dalam permisalan cukup
mampu meyakinkan sistem komunitas. Kondisi ini dapat dijadikan ukuran
tingkat pemahaman masyarakat secara umum dari aspek mindset,
yang relatif bermanfaat bagi perancang pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar