Fakultas Teknik
Diskusi golden condition, Sabtu, 3 Agustus 2013 |
Sore
hari jelang buka puasa para alumni Fakultas Teknik mulai ramai berkumpul di
Harouk Cafe Banda Aceh. Perhelatan itu memang kemasan jurusan teknik sipil,
untuk mendekatkan para lulusan dengan fakultas. Banyak bahasan ringan tentang
berbagai hambatan yang kami bicarakan malam itu, sebelum Ratna Dewi, bendahara
Lustrum X hadir bergabung ke meja kami. Di meja kami ada Anton Kamal, Haris,
Abustian, Maimun Rizalihadi dan aku sendiri. Tidak lama kemudian, Ratna Dewi
datang untuk menanyakan sumbangan lustrum yang belum diberikan beberapa kawan,
termasuk aku sendiri. Maklum juga aku, Ratna Dewi cukup repot dengan tugas
rutinnya di setiap perhelatan kampus, sejak berstatus mahasiswi, 1984, hingga
menjadi sosok alumni sekarang. Lantas, aku memberi isyarat sambil menunjuk
Anton Kamal yang juga pernah mengkoordinir penggalangan dana setiap acara
teknik sipil di tahun 1984 hingga ke generasi berikutnya. “Waktu itu kondisi keuangan memang sulit,” kata Anton, “sehingga untuk mendapatkan sumbangan, kita harus lakukan dengan menampung
pake topi berkeliling pada orang-orang yang hadir,” lanjutnya pula. Di sela
kelakar sesama kami, aku melihat sepintas, suasana pertemuan buka puasa sore
itu kurang nyaman dan tidak mengesankan ada kebersamaan yang masih kuat terjaga.
Setidak-tidaknya begitu terungkap dari beberapa rekan se-meja yang menyiratkan dengan
cara tersamar. “Sebenarnya kondisi kita
sekarang sudah cukup kuat dari kualitas dan kuantitas,” kata Haris
mengomentari kondisi para lulusan.
Dalam
kesulitan finansial di tahun 1980-an, anak-anak teknik tetap saja harus
mengekspresikan pemikiran dan kreativitasnya dan tidak mesti terhalang oleh
hambatan keuangan yang tak kunjung usai. Ketika itu pula, Fakultas Teknik sedang ternaungi suatu kondisi emas atau golden condition sehingga apapun yang di-ide-kan
seketika sambil duduk-duduk di kantin atau di tempat kumpul-kumpul lainnya
dapat terwujud dengan mudah. Tidak hanya anak-anak teknik sipil, tetapi di seluruh
jurusan, karena sosok masing-masing mahasiswa kala itu mampu menyelesaikan
tanggung jawab tanpa bantah dan tanpa dana pula. Ada aktivis dari teknik mesin
seperti Dedek (Dirhamsyah), Tudan (Samsu Rizal), Luky (Lukman Iswahydi), Erick
Kethang, Syarwan, Jamal dan beberapa yang lain yang aku tidak ingat. Di teknik
sipil, kondisi ini sudah berjalan lama karena usia pendirian kedua jurusan memang relatif jauh, yakni tahun
1963 dan 1978. Namun, cara menuntaskan masalah kegiatan kampus relatif sama, jika
sudah diperintahkan oleh sosok ketua
meskipun tanpa Surat Keputusan, tugas harus selesai sesuai jadwal yang
ditentukan. Keberadaan golden condition itu memang tidak lama,
dari 1984 hingga 1988, saat para aktivis di semua jurusan selesai dan diwisuda.
Dalam
suasana keperbihakan golden condition, estafet
tradisi mahasiswa teknik antar generasi pun tidak sulit disosialisasikan,
dengan praktek langsung. Hal ini dapat dikilas kembali beberapa kegiatan anak
teknik yang diangkat atau diakomodir menjadi kegiatan kampus skala universitas,
seperti UKM BSPD dan Mapala Leuser. Tiada friksi dan saling bantah dalam
mengangkat sosok tertentu untuk memimpin ragam kegiatan. Semua elemen yang
hadir harus patuh terhadap komitmen itu, meskipun sosok yang ditunjuk oleh
komunitas kongkow-kongkow cukup
junior. Tidak mengherankan kala itu, Anton Kamal yang ditunjuk sebagai ketua
kegiatan mahasiswa dalam menyongsong Seperempat Abad Fakultas Teknik Unsyiah
dapat dengan mudah memerintahkan para senior untuk menyelesaikan tugas yang
dibebankan. Banyak spanduk acara yang aku tulis selain yang dibuat Rahmat,
tanpa penyelesaian pembayaran hutang kain dan cet tembok. Namun persoalan itu
dengan mudah pula aku laporkan ke kawan lain untuk dicarikan solusi, seperti
kepada Azhar MAR dan beberapa kawan lain yang kala itu sudah bekerja di salah
satu konsultan di Banda Aceh. Kebetulan aku dan Azhar MAR pernah menjadi ketua dan sekretaris Himpunan Mahasiswa Sipil, priode 1981-1983, sehingga kesulitan yang sama pernah juga kami rasakan saat kepengurusan dulu. Artinya, tiada persoalan dalam kebersamaan sistem
meskipun pertengkaran antar aktivis kerap terjadi saban waktu dan terselesaikan
seketika itu juga. Hal ini diakui beberapa alumni yang dulunya juga aktif dalam
kegiatan kampus, bahwa di era golden condition
hampir semua aktivis merupakan sosok pemersatu yang tiada membedakan jurusan
dan status sosial. “Dan juga tiada kepentingan
terselubung,” kata Maimun Bewok sambil bercerita tentang bantuan mobil
Erick Kethank dari jurusan mesin untuk kegiatan anak-anak sipil.
Setelah
kembali dari buka puasa, aku coba menghitung kekuatan lulusan teknik sipil
sejak 1970. “Sekitar lima ribuan,” kata
Maimun lewat telepon. Aku berpikir kondisi ini merupakan kekuatan besar yang
bisa diraih sebagai peluang untuk membangun atmosfir new golden condition. Jika masing-masing lulusan memberi sumbangan rata-rata
seratus ribu rupiah per tahunnya, kekuatan anggaran yang terhimpun diperkirakan
sebesar lima ratus juta rupiah. Persoalannya, upaya seperti apa yang harus
tercipta agar konsep mutualisma antara jurusan dengan para lulusan dapat terimplementasi
se-alamiah mungkin. Tentu semua pihak sama berharap agar ketua jurusan teknik
sipil, Maimun Rizalihadi dapat membangun permodelan dalam konsep new
golden condition yang tiada sulit itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar