tulisan ini pernah di muat di media online
repro |
Keberadaan Nudis Dalam Budaya Massa
Razuardi El Ebrahem
Lukisan nudis
(nude) merupakan karya seni rupa yang cenderung mengekspose tubuh wanita dalam
kondisi telanjang, biasanya tanpa sehelai benang sekalipun. Produk senirupa seperti ini banyak menyita
perhatian berbagai pihak sehingga menggiring pemikiran, bahwa karya seni nudis
berpotensi membangun mindset pornografi
dan pornoaksi. Menurut Rachmatsyah
Nusfi, pelukis asal Aceh di Jakarta, nudis bukan bertujuan menonjolkan sisi
pornografi tetapi lebih kepada menekankan aspek pembelajaran, yakni pengenalan
anatomi. Di samping itu, Rachmatsyah juga mengungkap bahwa nudis sudah dikenal
sejak sebelum masehi, tatkala seorang wanita akan dipersandingkan dengan
keluarga kerajaan untuk dapat bersama disaksikan kemolekan tubuh wanita itu
yang tanpa cacat. Dalam aspek lain, percermatan nudis masa itu untuk memperkuat
keyakinan pihak keluarga kerajaan bahwa wanita tersebut dapat memberi keturunan
yang baik kelak. “Hal ini dapat kita saksikan pada lukisan kuno yang
menggambarkan sosok wanita telanjang yang dikelilingi banyak pria,” katanya.
Mahdi Adullah juga menekankan, bahwa nudis lebih kuat ke arah pengayaan anatomi
bagi pelukis. Ia juga menambahkan, bahwa nudis bekembang sehingga didapat dua
alasan lain, yakni ketertarikan pelukis terhadap model sosok wanita tertentu
dan sebagai ungkapan ketelanjangan. Kegemilangan nudis yang mentradisi sejak
zaman Yunani kuno kerap mengundang kontroversi dari masyarakat tertentu hingga
hari ini.
Seni rupa moderen Eropa telah
banyak menmunculkan karya-karya nude dalam berbagai teknik seperti cukilan kayu karya Aristade Maillol
(1861-1944) yang
berjudul Dalphnis and Chloe,
lithographynya Picasso yang berjudul Nude
Seated, lantas etsanya Ander Leonard Zorn (1860-1920) yang berjudul Wet, dan lain sebagainya. Semua karya-karya
tersebut masih bertendensi dalam alasan keindahan atau estetis. Paham estetisme pernah menghebohkan di sekitar
tahun 1918-an tatkala Carl
Hofer mempromosikan lukisan berjudul Couple. Lukisan tersebut mempertontonkan
dua sejoli telanjang bulat yang tengah melampiaskan birahi. Setahun kemudian
seniman Emil Nolde pun membuat adegan sama pada lukisannya berjudul Le Reveur dengan melukiskan wanita
telanjang bulat yang tengah merayu lelaki berbusana lengkap. Lantas tigapuluh satu tahun
kemudian, Marc Chagall pun
dengan gaya surealistiknya membuat lukisan yang berjudul Les Ponts de La Seine.
Alasan seni untuk seni
cukup kuat memproteksi diri para perupa pengeksploitasi tubuh wanita dari
hujatan komunitas yang tidak setuju dengan pemikiran itu. Perupa berpaham
seperti ini lebih mengandalkan tanggung jawab moralnya kepada kebutuhan batin
yang selalu mendesak untuk menghadirkan karya sempurna. Beberapa perupa
mengakui bahwa syahwat dirinya terpuaskan manakala tubuh berikut bahagian
tertentu sosok wanita idaman mampu dihadirkan lewat sapuan kuasnya. Estetisme yang terkesan “brutal”
tersebut telah pula berjangkit di kalangan para senirupawan timur termasuk Indonesia. Indikasinya, wanita telanjang
bulat dijadikan obyek lukis yang cukup merangsang, yang semakin marak di tahun 1950-an hingga 1960-an. Doktrin “seni untuk seni” begitu mewabah di saat
itu, sehingga nyaris menyisihkan nilai-nilai moral manusia timur. Nilai estetis
yang dipancarkan oleh sebuah lukisan wanita bugil karya Amedeo Modigliani berjudul Nu Feminin yang dilukis
tahun 1917, benar-benar telah merasuk ke kalangan senirupawan Indonesia. Selain Nu feminin, muncul pula
judul Deux Nus Feminis yang dilukis oleh
Edvard Munich, kendati tak
sepopuler Nu Feminin.
Di sisi lain, banyak wanita yang
sengaja mengeksploitasi dirinya dengan berbagai ekspresi dan bentuk, mulai dari
foto swimsuit, nude, striptease
hingga layanan seks mulai dari level sentuh hingga layanan menyeluruh.
Aktivitas itu hampir tiap hari menghiasi Jakarta juga kota-kota besar lainnya
di dunia. Berbagai alasan muncul di balik eksploitasi tersebut, mulai dari
alasan klasik karena masalah ekonomi hingga alasan demi popularitas dan karir.
Alasan tersebut tentu tidak bisa menjadi faktor pembenar bagi seseorang untuk
melakukan hal yang amoral. Eksploitasi tubuh wanita ibarat mata rantai yang
tidak terpisahkan, globalisasi dan liberalisasi menempatkan wanita sebagai alat
komersial yang begitu canggih dan mudah digunakan untuk pelbagai tujuan. Wanita
dieksploitir dari berbagai aspek yakni,
imej, status, moral, seks, dan biologikal. Tidak mengherankan, jika ada
iklan oli dengan visualisasi seorang wanita tersingkap roknya mampu menyedot
perhatian khalayak, meskipun sesungguhnya tiada relevansi antara ekspresi
wanita tadi dengan produk dagang itu. Namun
itulah pasar dan wanita selalu menarik untuk dipasarkan.
Berbagai kalangan memaklumi,
bahwa kehidupan masyarakat dunia telah diwarnai pola pikir pornografi. Mindset ini seakan sudah menjadi
kebiasaan dalam keseharian masyarakat dan tidak dipersoalkan lagi. Buktinya,
tiada bantahan dari pihak manapun terhadap ragam kisah film roman mengarah
porno, baik produk dalam maupun luar negeri, di semua tempat. Dalam rancangan undang-undang, pornografi dikelompokkan ke
dalam batasan materi
seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi,
foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair,
percakapan, gerak tubuh, patung, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui
berbagai bentuk media komunikasi atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual atau
melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Iklim pornografipun
semakin marak dan mudah pengembangannya, andil berbagai kecanggihan teknologi
informatika, seperti internet. Pengoperasian internet relatif mudah dan paling berhasil
mengakses berbagai situs porno, foto konvensional, video porno, dan hiburan permainan video interaktif, di samping dukungan
lain dari negara-negara yang tidak
mempersoalkan pornografi. Biaya murah dalam penggandaan dan penyebaran
data digital telah meningkatkan
terbentuknya kalangan pribadi orang-orang tertentu dalam tukar-menukar
pornografi, via internet yang semakin diminati itu. Gejala yang marak sejak akhir tahun
1990-an ini, telah
mengantarkan aktivitas dunia maya ke dalam mindset "porno dari
masyarakat untuk
masyarakat" yang mewabah
sebagai kecenderungan
baru.
Persoalan lain terkait dengan berbagai
kemudahan dan kemajuan, definisi berikut suasana saling bantah terhadap
penanggulangan pornografi di Indonesia seakan mengabaikan berbagai gejala
sosial yang lebih mampu membangkitkan iklim baru dalam berbagai pemahaman.
Gejala yang memberi dampak kepada perubahan perilaku manusia ini sering
dikaitkan dengan berbagai teori ilmu sosial, salah satunya yang populer disebut
dengan budaya massa. Pakar Sosiologi
Komunikasi Massa, 2003, Zulkarnain Nasution telah banyak memberikan ulasan
tentang fenomena seputar gejala yang terjadi di tengah masyarakat dunia. Berikut ulasan beliau yang diinformasikan
lewat internet dapat dijadikan pengayaan bagi semua guna percerdasan dalam
menyikapi kondisi yang terus berlangsung dalam aspek budaya massa. Budaya massa
merupakan budaya populer yang dihasilkan industri produksi massa dan dipasarkan
untuk mendapatkan keuntungan pada khalayak. Budaya massa lebih bersifat
massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen,
lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera “dangkal”. Pada masa terdahulu, secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa budaya massa adalah simbol kedaulatan kultural dari orang-orang yang
tidak terdidik. Dalam konteks ini, budaya massa mengacu pada perilaku yang
bersumber dari nilai, norma, ide, serta simbol-simbol masyarakat.
Gejolak yang terjadi
akibat pengakuan hadirnya budaya massa semestinya tidak mengabaikan peranan
moral yang juga merupakan produk dari budaya dan agama. Diakui maupun
tidak, eksistensi moral umat cukup berjasa dalam mengantarkan perjalanan
berbagai budaya dari masa ke masa. Setiap
budaya memiliki standar moral berbeda
sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan terbangun sejak lama di dalam suatu
kultur. Kekuatan moral dapat diimplementasikan ke
dalam sikap, perilaku, tindakan, tafsiran, suara hati, serta nasihat, termasuk produk
karya seni itu sendiri.
Dalam iklim saling klaim
antara konsep seni dan pornografi, tidak sedikit perupa yang sependapat dengan
konsep seni untuk etika. Kelompok ini lebih menggiring pemikiran kepada batasan
moral dan nilai-nilai religius. Ternyata ke-adiluhungan seni
tak mungkin tercapai tanpa mengikutsertakan ke-adiluhungan Tuhan.
Estetisme yang kebablasan hanya mencuatkan “sikap batin yang
beku” (frozen emotional attitude) di kalangan para
seniman yang semakin lupa bahwa berkesenian merupakan bagian ibadah kepada Sang
Mahakreator, yang mencitrarasakan
segenap keindahan di alam semesta ini. Memberhalakan nilai-nilai estetik
tanpa memperhatikan koridor moral keagamaan, agama manapun, akan menghapus ke-positif-an nilai-nilai
pendidikan yang semestinya terukir indah dalam sebuah karya seni, termasuk
karya seni rupa yang memiliki “keindahan estetis” atau karya seni rupa lainnya
yang memiliki “keindahan transenden”.
Setidak-tidaknya, seni pada umumnya
atau seni rupa pada khususnya, tak perlu diklaim sebagai
wahana estetis yang mesti sarat dengan nilai-nilai estetis, sebab arti dari
estetik berbeda dengan artistik. Sesuatu yang artistik bisa saja memiliki
keindahan yang transendental, begitupula sesuatu yang
artistik bisa saja tak memiliki nilai estetis. Tidak tertutup peluang,
suatu karya seni
memiliki keduanya sekaligus, estetis dan transendental
sebagaimana pada beberapa lukisan Pablo Picasso, Ferdinand Leger, Georges
Braque, atau pelukis Indonesia, Ahmad Sadali, Bagong
Kussudiardjo, dan lain sebagainya.
Akhirnya dapat
disampaikan dalam tulisan sederhana ini, perlu suatu sikap tentang penggolongan
pornografi terhadap produk nudis dari para senirupawan di tengah gemuruh
hujatan moral yang terabaikan, terlebih lagi ancaman budaya massa semakin
menguat andil kehandalan teknologi informatika yang mendunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar