tulisan ini pernah ditayang di media online
Popularitas
Bupati Lewat Tabu Keperawanan
Ekspose debat hujat tentang Aceng
Fikri di televisi boleh jadi merupakan tayangan yang mampu menyerap perhatian
pemirsa terbesar tahun ini. Ukuran dugaan relatif sederhana, yakni turut
sertanya Presiden SBY untuk mengomentari kasusnya. Tidak terlalu sulit ditebak
alasan episode Bupati Garut kali ini lebih banyak mengundang kelompok pemirsa
ketimbang kisah perpisahannya dengan Dicky Chandra selaku Wakil Bupati, beberapa
waktu lalu. Berita ini mampu menggalang rivalitas bersama dari seluruh elemen masyarakat
di kabupaten penghasil dodol tersebut. Tidak berhenti hingga di situ, respon
berlanjut dari provinsi, nasional, bahkan dari komunitas internasional. Tersirat
persoalan ini semakin dianggap penting tatkala Aceng dihadirkan dilayar kaca TV One pada 25 Desember 2012,
disela-sela ekspose kebaktian dan misa natal di berbagai belahan negeri.
Pasalnya seperti dilansir detik.com 28 pada Nopember 2012, dalam opini “Ketika Keperawanan Dipermasalahkan,” Aceng dinilai melecehkan
perempuan terkait pernikahannya yang hanya berumur empat hari dan menceraikan melalui
pesan singkat (SMS) setelah mengetahui perempuan muda berusia sekira 18 tahun
itu tidak perawan lagi. Para aktivis menggerakkan demo, menggalang kekuatan
agar Aceng dituntut secara hukum karena menikahi gadis di bawah umur, setelah
isu pelanggaran moral seputar masa pernikahan singkat relatif mudah ditepis dan
sulit menjangkau aspek hukum. Di sisi lain isu kondisi perawan tidak sesuai
janji pernikahan relatif berpeluang tergiring ke dalam debat kasus pidana,
yakni penipuan.
Sebenarnya, berita semacam ini
masih jauh dari aspek pembelajaran publik dan memboroskan enerji bangsa. Betapa
tidak, setiap orang mencermati hujatan yang ditayangkan televisi atau ekspose
media cetak, terjadi keberpihakan bagi setiap orang tanpa mampu membangun
objektivitas pemberitaan. Enerji bangsa terkuras akibat keharusan menghukum
Aceng lewat ragam demo serta penggiringan opini publik. Maksud terusung mulanya bertujuan menghakimi
Aceng yang dipersalahkan melanggar etika moral selaku pemimpin daerah. Namun
bahasan terjebak ke dalam isu peka, terkait wilayah privat kaum perempuan dan
pernikahan. Kedua isu dasar ini terpolitisir untuk suatu penghukuman, tanpa
mempertimbangkan tekanan psikis bagi
sosok perempuan yang diceraikan Aceng seketika tersebut. Perlu kiranya para
pihak membangun langkah kompromistis dengan melibatkan seluruh komunitas terkait
yang dapat memberi pengakuan terhadap hak masing-masing variabel dalam suatu budaya
atau tradisi.
Sebahagian budaya masyarakat di berbagai
belahan dunia meyakini selaput dara atau hymen
merupakan simbol keperawanan dan dipersyaratkan bagi perempuan yang belum
menikah. Oleh karenanya, selaput
dara seringkali menjadi topik pembicaraan
hangat yang menimbulkan pro-kontra di berbagai kalangan. Mitos tentang
keharusan memiliki selaput dara bagi perempuan pada pernikahan pertama
tergiring ke dalam wilayah pemikiran sakral yang bertahan hingga sekarang.
Dalam kultur masyarakat penganut agama tertentu, seperti Islam, Kristen,
Hindu dan Yahudi berkembang keyakinan bahwa hilangnya keperawanan seorang
perempuan sebelum pernikahan merupakan
persoalan yang sangat memalukan. Ajaran Islam memproteksi umatnya hingga
pengaturan cara berpakaian menutup aurat bagi perempuan dengan tujuan menjaga pemunculan
birahi bagi lawan jenis yang melihat. Proteksi serupa ini lebih keras
dipermaklumkan kepada gadis belum menikah yang diyakini dapat menjaga
kesuciannya dari sentuhan pria bukan muhrim. Dalam ajaran Kristen, keyakinan terhadap
keperawanan Bunda Maria, Ibu Yesus, merupakan fondasi kuat untuk menempatkan
keperawanan sebagai hal penting dalam kehidupan. Kultur ini kerap tersaksikan
dalam implementasi tradisi resepsi
pernikahan masyarakat Barat, di mana cadar serta gaun putih dijadikan simbol
keperawanan sosok mempelai wanita. Begitupula pada ajaran agama lain yang
mengusung pentingnya nilai keperawanan bagi perempuan yang belum menikah.
Istilah keperawanan
memang telah digunakan sejak lama untuk menggambarkan seorang perempuan yang tidak
pernah berhubungan seksual sebelum menikah. Keberadan selaput dara yang
utuh seringkali dijadikan bukti fisik dari keperawanan tersebut. Lebih
jauh lagi, masyarakat di negara berkembang yang berpersepsi serta pengetahuan
seksualnya rendah, meyakini eksistensi keperawanan ditandai dengan
keluarnya darah pada saat malam pertama melakukan hubungan intim. Darah
inilah yang dikenal dengan istilah "darah
perawan."
Wimpie Pangkahila,
pakar Andrologi dan Seksologi dari Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana Bali, memaparkan bahwa darah
perawan itu sebenarnya hanya mitos belaka. "Wanita yang tidak terangsang untuk ngeseks atau sedang berada
dalam tekanan psikogenik, kejiwaan dan genetika, bisa mengalami pendarahan
ketika ia memaksakan hubungan seks," ungkapnya dalam sebuah makalah
tentang kesehatan seksual.
Dua tahun silam, 2010, isu keperawanan pernah marak di Indonesia
setelah dunia pendidikan terusik kesimpulan publik dari ekspose media tentang tingginya
persentase para pelajar perempuan yang tidak lagi perawan. Kompas.com pada 28 September di tahun itu, memberitakan wacana
untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah menengah atas, SMA.
Perlawanan untuk menentang wacana kontroversial tersebut juga tidak kalah
maraknya dibanding penghujatan terhadap Aceng Fikri di tahun 2012 ini. Waktu
itu, Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan, secara tegas mengatakan
bahwa, “tes keperawanan adalah barbar.” Meskipun primitif, wacana yang diakuinya masih
bermoral ini, “sangat lebih dari
terbelakang dan kebijakan ini dikeluarkan dengan logika yang sangat salah,”
kata Neng Dara saat dihubungi Kompas
Female.
Menurut
Neng Dara, tes keperawanan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Pertama, karena hanya perempuan yang memungkinkan terdeteksi perawan atau tidak,
sedangkan keperjakaan laki-laki tidak bisa terdeteksi. Kedua, diskriminasi
perempuan di bidang pendidikan, jika kemudian terbukti seorang perempuan yang
diperiksa tidak perawan maka ianya tidak mendapatkan akses pendidikan. Padahal,
pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus diberikan
penyelenggara negara. “Diskriminasi di
bidang pendidikan sudah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945,” papar Neng
Dara berusaha mengaitkan isu dengan tujuan negara.
Pengusung
wacana tes keperawanan, Bambang Bayu Suseno, anggota DPRD Provinsi Jambi, berkeinginan
agar terjadi peningkatan mutu pendidikan di Jambi. Keinginan ini kemudian
direspon berbagai pihak, termasuk oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak yang melihat tes keperawanan bukanlah sebagai solusi.
Di
tahun berikutnya ekspose keperawanan marak lagi dalam pemberitaan yang malah
lebih luas. Tim Fisher melaporkan pada 16 Juni 2011 dengan topik “Tes Keperawanan: Menghina Perempuan” yang
mengekspose bahwa Yayasan Mythe Ontkracht Belanda berpendapat, tidak mungkin membuktikan seorang perempuan masih perawan
atau tidak. Ineke van Seumeren, seorang ginekolog di rumah sakit UMC
Utrecht bersama Ines Balkema, ketua Mythe Ontkracht mengatakan tes keperawanan
itu tak ada gunanya selain hanya merupakan cara jitu untuk menekan perempuan dan
melanggar hak asasi perempuan. Mereka menceritakan apa yang terjadi di Kairo, "ketika
para demonstran perempuan di Mesir menjalani tes keperawanan tersebut, mereka
bertelanjang bulat dan dipotret sejumlah personel militer. Hasilnya, para
perempuan bakal berpikir dua kali sebelum ikut berdemonstrasi atau mengadukan
kasus perkosaan. Ini adalah kasus serius pelanggaran hak asasi manusia."
Jauh sebelumnya, tahun 1960, guna menyiasati situasi yang tak menentu para dokter dituntut menjelaskan
hal yang sesungguhnya tentang keperawanan dan selaput dara. Dalam penantian
pencerahan soal ini, beberapa dokter justru melakukan praktek memperbaiki atau
meniru selaput dara. Praktek yang disebut hymenoplasty, yakni upaya memperbaiki atau meniru selaput dara berkembang di Jepang untuk membantu banyak gadis yang
sudah sering melakukan hubungan seks. Meski para dokter yang mempraktekkan hymenoplasty ini
beralasan bahwa etika rekonstruksi selaput dara ini bisa dibandingkan dengan
bedah plastik, namun pendapat ini dianggap tidak ilmiah. Tindakan bedah plastik
yang dilakukan pada bagian tubuh seperti wajah atau payudara, tidak terkait
dengan mitos. Para dokter diharapkan mempunyai tanggungjawab moral guna
menghapus mitos yang menyesatkan dan tak bermanfaat ini. Dengan begitu,
tindakan peniruan selaput dara atau hymenoplasty pada gadis
yang sudah tidak perawan hanyalah akan menjadi upaya memelihara, mengabadikan
mitos tentang selaput dara dan keperawanan.
Mencermati isu berulang dalam edaran masa, tersirat adanya
hambatan dalam mengungkap ketabuan terkait wilayah privasi kaum perempuan. Kekhawatiran
kaum perempuan tentang ekspose kondisi keperawanannya berpeluang menyudutkan kredibilitas
moral sosok perempuan tertentu di tengah khalayak. Kompas.com, 8 Januari 2010 pernah meliris topik “mitos keperawanan bikin takut.” Dalam dialog saling bantah itu,
terekspose pernyataan seorang perempuan dalam suasana kegundahan. “Saya seorang gadis berumur 27 tahun, berencana menikah
tahun ini. Masalahnya, saya selalu khawatir, bahkan takut dengan keadaan saya.
Saya sudah tidak perawan lagi, meskipun hilangnya keperawanan saya bukan karena
suka melakukan hubungan seks bebas. Waktu berumur 12 tahun, saya mengalami kecelakaan, jatuh
dari sepeda. Sampai saat ini saya masih takut mengatakannya kepada calon suami,
takut dia tidak percaya dan menuduh saya yang bukan-bukan,” katanya. Harapan
solusi tak terhadirkan tatkala konsultasi
dijawab oleh Wimpie Pangkahila, “sesungguhnya
tak ada bukti ilmiah bahwa olahraga seperti lompat tinggi dan jatuh dari sepeda
dapat menimbulkan robekan di selaput dara.”
Dalam
ragam diskusi, jarang diulas tentang hubungan mitos keperawanan dengan kemampuan
eksploitasi birahi pasangan. Mitos keperawanan lebih berorientasi kepada urusan
gengsi seksualitas belaka sebagai konsekwensi menghormati adat dan budaya
tertentu. Intervensi kultur mengharuskan prestise seorang suami menjadi taruhan
tatkala gagal memperoleh perawan di saat meyakini pasangannya merupakan
perempuan belum ternoda. Padahal dalam diam sama terakui, kepuasan seksual tidak semata-mata terikat
dalam suatu cara pandang berbasis mitos serupa itu. Jarang pula terungkap,
seberapa banyak perjaka tidak berpersoalan dalam hal seksualitasnya setelah
menikahi para janda yang secara jelas berstatus tidak perawan. Dalam konteks
ini dapatlah disinyalir bahwa keperawanan hanya merupakan perangkat psikis yang
dapat mempengaruhi keberlanjutan aktivitas pasangan seksual. Kesimpulan diskusi
seksual hanya mampu mengusung pernyataan umum, bahwa kebutuhan
seksual adalah kebutuhan dasar manusia berupa ekspresi perasaan dua orang
individu secara pribadi yang saling menghargai, memperhatikan, dan menyayangi
sehingga terjadi hubungan timbal balik antara kedua individu tersebut. ( Alimut , 2006)
Seksualitas
merupakan bagian integral dari kehidupan manusia serta dapat didefenisikan
sebagai kondisi kolaborasi kualitas manusia yang meliputi, cinta, akrab, intim,
pengakuan, penerimaan dan ekspresi diri manusia sebagai makhluk seksual. Kebutuhan
seksual (sex needs), yaitu kebutuhan
pelampiasan dorongan seksual sebagai fungsi biologis yang sudah ada sejak
lahir. Seksual merupakan kebutuhan primer yang sama tingkatannya dengan makan,
minum, tidur, dan lain sebagainya. Bedanya, kebutuhan primer selain seksual
dapat serta merta diungkap tatkala terdesak,
sementara kebutuhan akan seksual terbungkus dalam ketabuan yang rentan
meledak melalui berbagai aspek dan isu.
Meskipun
berbagai pihak memaklumi bahwa seksual sebagai kebutuhan primer dan rutin ini
dilakukan setiap manusia sepanjang hidupnya, komunitas pembela perempuan membangun
13 batasan definisi tentang hal-hal yang tergolong ke dalam tindak kekerasan
terhadap kaum perempuan. Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (DPKTP), Pasal 1, mendefinisikan “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap
perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau
perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik
maupun di dalam kehidupan pribadi.”
Dalam batasan yang dideklarasikan
sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan, DPKTP juga mengaitkan tekanan
psikis yang dapat mempengaruhi jiwa seorang perempuan digolongkan sebagai
tindakan kekerasan. Salah satu batasan yang tergolong tindak kekerasan terhadap
perempuan yang telah disosialisasikan, yakni “intimidasi/serangan bernuansa
seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan.” Maksud dari batasan ini lebih lanjut
diuraikan sebagai, “tindakan yang menyerang seksualitas untuk
menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan
intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui
surat, sms, email, dan lain-lain.”
Di tahun 2012 ini, boleh
saja Aceng dipersalahkan telah melanggar batasan tindak kekerasan yang
disepakati dalam norma DPKTP, yakni mengintimidasi perempuan melalui sms (short message service). Isu “tidak perawan,” yang sempat terbahas di
lintas elemen sayup memudar karena bersamaan dengan isu Aceng menikahi anak di bawah umur, 18 tahun kurang beberapa hari. Para
pembahas yang juga pembela perempuan tentu cerdas memahami kondisi, manakala isu
menikahi anak di bawah umur digelindingkan, para pembela Aceng akan balik
bertanya tentang kelayakan seorang gadis di bawah umur tidak perawan lagi tanpa
bahasan untuk pengusutan kasus itu.
Dalam mencermati
berbagai cerita dari tahun ke tahun tentang isu keperawanan, dapatlah disinyalir
bahwa urusan ini masih merupakan potensi saling debat antar generasi. Hingga
saat ini debat yang terjadi hanya mampu menggiring kreativitas kelompok pembela
kaum perempuan membangun teknik perlawanan baru tentang isu penting atau
tidaknya keperawanan yang masih tabu itu. Ragam alasan yang diusung kerap
berbenturan dengan konsep budaya, keilmuan, terlebih lagi dengan kepercayaan
atau agama tertentu.
Saling hujat dan bantah antar elemen masyarakat dunia belum
menyentuh berbagai variabel dasar dari pembiaran debat menahun tanpa solusi
kompromis yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan. Terkadang, tendensi
argumentasi yang dikemas berpeluang memojokkan keberadaan perempuan itu sendiri
dari aspek moralitas. Konsep mengagungkan perempuan dari kepercayaan atau
budaya tertentu semakin dipertaruhkan dalam debat berkepanjangan ini. Dampak
perdebatan berpeluang memunculkan kekhawatiran dari komunitas tertentu, yakni
penggiringan kata keperawanan terpupuskan dalam kamus bahasa dunia. Lebih dahsyat lagi, tatkala muncul pemikiran “tidak waras” akibat keperawanan menjadi
masalah berkelanjutan, yakni dengan memupuskan keperawanan bagi bayi perempuan untuk
menjaga imej kesucian tatkala memasuki jenjang pernikahan kelak, tanpa khawatir
terhadap hujatan amoral yang mengarah tindak kekerasan psikis terhadap dirinya.
Jika kondisi serupa ini terjadi, sungguh sejarah kekejaman jahiliyah berulang
manakala kaum kafir Quraisy menghalalkan pembunuhan anak perempuan yang baru
lahir.
Jelang akhir tahun,
tepatnya pada 29 Desember 2012, televisi yang sama menayangkan kegiatan Aceng
Fikri di pasar tradisional Garut. Tayangan ini menandakan Aceng mulai membangun
pencitraan kembali di tengah masyarakatnya. Ada dialog kebutuhan masyarakat di
sana meski baru sebatas janji akan membangun pasar baru pada tahun 2013
mendatang. Berita tudingan terhadapnya mulai bertukar menjadi kabar
menggembirakan dari orang nomor satu tersebut. Pada gilirannya, khalayak
memaklumi kondisi yang terjadi hanyalah upaya penggiringan perkara seksual ke
dalam kesalahan sosok yang berpeluang juga terjadi pada sosok-sok lainnya. Perseteruan
hujatan hanya memperluas popularitas sosok Aceng ke seluruh nusantara. Namun,
tidaklah etis jika perluasan popularitas yang diperoleh merupakan sumbangan
dari isu yang masih tabu, yakni
keperawanan. (Razuardi Ibrahim 301212)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar