Budaya Korupsi Versus Solusi Sistemik
Tulisan ini
sudah dipublis di Aceh Voice
SETIAP anak bangsa berhak miris mendengar bahkan
menyaksikan para elitenya berurusan dengan pelanggaran penggunaan keuangan
negara. Dampaknya, negeri ini seakan tak pernah kehabisan bahan untuk
memberitakan perilaku korup para birokrat baik di tingkat lokal maupun di
tingkat pusat. Jelang peringatan Hari Anti Korupsi Dunia, 9 Desember 2012,
Menpora Republik Indonesia mengundurkan diri dari jabatannya, terkait tudingan
sebagai tersangka korupsi pada proyek fasilitas olah raga nasional, Hambalang.
pejabat ku 'eh |
Sebagian warga menganggap tindakan mundur Menteri Andi
Alfian Mallarangeng merupakan tindakan arif yang patut ditiru para elite negeri
lainnya karena masih memiliki budaya malu dalam dirinya. Namun, tidak sedikit
yang menghujat, mengingat pengungkapan kasus berlarut sehingga menyerap waktu
relatif lama. Berbagai ulasan sejarah perkorupsian lebih mengklaim, bahwa aspek
budayalah yang bertanggungjawab terhadap ketidak-pupusan kejahatan keuangan di
negara ini.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kerap
mengalami hambatan yang menggiring kasus demi kasus timbul dan tenggelam dalam
edaran masa. Kisah penyelewengan dana publik menghiasi berbagai media cetak,
layar kaca, terlebih lagi di fasilitas jejaring sosial yang penuh kebebasan
tersebut, ternikmati khalayak dan suprise tatkala memenuhi penantian antar
episode.
Praktek korupsi ternyata erat terkait dengan
perjalanan dan proses sejarah yang dialami masyarakat Indonesia. Ekses
negatif dari sistem feodalistik dan contoh negatif dari kaum kolonialis sangat
mempengaruhi pandangan dan sikap masyarakat Indonesia dalam kecenderungan
permisif dan familiar dengan koruptif. Pendekatan kesimpulan ini diutarakan
Mochtar Lubis yang mengklaim, bahwa akar tradisi merupakan penyebab utama
terjadinya korupsi di tanah air.
Dampak lain dari klaim tradisi tersebut, yakni jabatan
yang diperoleh penduduk pribumi dari kemerdekaan, membuat birokrasi negara baru
ini tidak dijalankan sesuai dengan norma birokratik yang rasional-legal, tapi
dipengaruhi nilai-nilai tradisional yang memberikan tempat merajalelanya
korupsi. Pada gilirannya, tradisi sistem masyarakat berikut pola pikir
yang akrab dengan korupsi turut memperkuat klaim terhadap pejabat mesti mewah
dalam suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Perebutan jabatan publik melalui lobi intens menjadi
hal biasa. Awam lazim menaruh ketidakpercayaan manakala pejabat publik tertentu
tidak memiliki aset di akhir masa jabatannya. Tidak jarang pula masyarakat
mengecam manakala seorang pejabat yang tidak melakukan praktek korupsi dianggap
bodoh, bahkan telah melakukan kekeliruan besar dalam sejarah hidupnya. Seakan
terbangun adagium baru terhadap keharusan memiliki kemewahan bagi setiap
pejabat publik di negeri ini.
Tidak mengherankan, sejarah bercerita temuan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kurun waktu 1994-1995, terjadi
kebocoran uang negara sebesar Rp. 1,072 triliun. Laporan Kejaksaan Agung
mengungkap terdapat 358 kasus korupsi di seluruh instansi pemerintah dalam
kurun waktu itu. Menurut laporan itu, kasus yang paling menonjol adalah
pada sektor perbankan, perpajakan, dan pengadaan tanah. Sementara departemen
yang paling digerogoti korupsi adalah Depdagri sebanyak 106 kasus, Depkop 62
kasus, Bank Indonesia 59 kasus, dan Deptan 20 kasus. Berita menghebohkan dan
langka dilakukan media di era Orde Baru ini dilansir koran nasional, Republika
pada 17 Maret 1995.
Lembaga lain, World Justice Project (WJP) pernah
mengekspose info terkait penegakkan korupsi di dunia. Indonesia menempati
urutan ke-47 dalam daftar tersebut dan urutan kedua dari bawah dalam daftar
yang sama untuk kategori regional. Menurut WJP, Indonesia memiliki sejumlah
tantangan dalam memfungsikan komisi negara dan pengadilan untuk memberantas
korupsi.
Koran Republika menginformasikan pada 22 Juni 2012,
korupsi di Indonesia sudah terjadi saat pemerintahan Kolonial Belanda
mengakhiri kekuasaannya, yakni pada masa pemerintahan Presiden Republik
Indonesia pertama, Soekarno. Kala itu, Menteri Perdagangan Dr. Sumitro
Joyohadikusumo menerapkan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang
bertujuan membangkitkan motivasi pengusaha Indonesia karena pada umumnya
kelompok pelaku ekonomi ini bermodal lemah. Tetapi program yang cukup positif
di masa itu justru menumbuhkan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Dari sejarah yang lain, saat Republik Indonesia baru
menanjak di atas usia 10 tahun, yakni antara 1951-1956, isu korupsi
dikumandangkan oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar.
Respon penguasa terhadap pemberitaan dugaan korupsi Ruslan
Abdulgani, koran tersebut kemudian dibredel. Kasus 14 Agustus
1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di
Indonesia. Atas intervensi Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjoyo, Ruslan
Abdulgani, Menteri Luar Negeri, gagal ditangkap. Sebelumnya, Lie Hok Thay mengaku
memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan
Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.
Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet sebelumnya,Syamsudin Sutan Makmur,
dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil
ditangkap.
Hasil analisis Theodore M. Smith, korupsi di Indonesia
merupakan persoalan kultural, ekonomi, sekaligus politik. Penyebab maraknya
praktek korupsi di Indonesia, antara lain faktor sejarah yang dipengaruhi oleh
watak kaum kolonialisme, faktor kebudayaan sebagai implikasi negatif dari
sistem feodalisme, faktor ekonomi karena rendahnya tingkat kesejahteraan
pejabat, faktor struktur pemerintahan sentralitik dan faktor partai politik
yang membutuhkan dana terutama menjelang pemilu. (Mochtar Lubis dan
James Scott, 1990)
Peneliti Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer
berpendapat, bahwa di dalam masyarakat kontemporer, birokrasi telah
menjadi suatu lembaga yang menonjol, sebagai lembaga yang melambangkan era
moderen. Birokrasi bisa dikatakan alat pemerintah yang mengabdi dan mengurus
masyarakat. Dalam kewenangan ini pula birokrasi berada pada situasi mengatur
kepentingan masyarakat yang rentan dengan kecurigaan bahkan tudingan
penyelewengan dari masyarakat itu sendiri.
Konsep dan organisasi birokrasi moderen muncul pertama
kali di Eropa pada akhir abad ke-18, yakni pada masa Revolusi Industri dan
Revolusi Perancis. Sedangkan di Indonesia birokrasi moderen lahir dari warisan
kolonial. Struktur birokrasi pada masa kolinial Belanda, terdiri dari dua yaitu
yang berasal dari orang-orang Belanda yang disebut Binennlandsch
Bestuur (BB) dan yang berasal dari orang-orang pribumi disebut Inlandsh
Bestuur (IB). Ironisnya para birokrat BB sebagian besar berasal dari
birokrat Vereenigde Oost Indische Compagnie(VOC) yang bangkrut
karena salah satu penyebabnya, yakni korupsi. Para pejabat VOC melakukan
perdagangan kecil yang biasa disebutmorshandel untuk kepentingan
pribadi. Perdagangan pribadi itu menggunakan fasilitas VOC, seperti kapal,
gudang, modal, dan koneksi. Selain itu para pejabat ini banyak menerima suap
dari pejabat Indonesia seperti bupati selaku pengumpul pajak dan dari orang
Cina yang memegang hak penjualan barang-barang VOC, satu di antaranya candu. (Ong
Hok Ham, 2002)
Pengakuan penting lain dari sejarah per-korupsian di
Indonesia pernah dilansir Harian Kompas pada 20 September 1994, yakni kasus
korupsi birokratis juga melekat kuat dalam birokrasi di pemerintahan Orde baru.
Pada tahun 1994, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, T.B. Silalahi,
waktu itu menegaskan bahwa 80-100 orang pegawai negeri sipil dan pejabat negara
melakukan penyelewengan setiap bulannya. Penyelewengan tersebut berbentuk
manipulasi, korupsi dan bentuk penyelewengan amoral, termasuk penyelewengan
seks.
Keruntuhan Orde Baru pada Mei 1998, melalui
tekanan keras kaum reformis di seluruh negeri dengan mengusung salah satu
agenda reformasi, yakni pemberantasan korupsi serta menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun, lambat laun semangat reformasi
semakin terlupakan, terindikasi maraknya ekspose media terkait kasus
korupsi besar di berbagai lembaga pemerintahan. Tidak pula ketinggalan, Otonomi
Daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lebih
berpeluang dijadikan ajang korupsi oleh pejabat daerah.
Suatu kondisi ironis, di saat zaman lebih leluasa
mengekspose penyalahgunaan keuangan negara serta gencarnya tindakan represif
institusi pemberantasan korupsi, kisah tentang korupsi semakin meningkat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan pemberitaan tentang korupsi
meningkat drastis di media dan saat ini kosa kata korupsi menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam berita media masa setiap hari. Berdasarkan pengkajian yang
dilakukan KPK untuk melihat fenomena pemberitaan korupsi di media, pada Juli
1995 hanya ditemukan 15 kata korupsi, tetapi pada Juli 2012 terdapat 2.308 kata
korupsi. ”Meningkat 5.000 persen,” kata Wakil Ketua KPK, Bambang
Widjojanto, di Padang. Pengkajian tersebut dilakukan KPK dengan menelaah jumlah
kata korupsi pada salah satu media cetak nasional.
Persoalan mendasar, kumandang berita sanksi bagi
pelaku korupsi di berbagai media tersebut tidak mampu membangun efek jera dalam mindset sistem
kepemerintahan. Keleluasaan yang terjadi lebih dapat diasumsikan akibat tidak
ditemukannya solusi tuntas dari upaya pemberantasan korupsi, selain hanya
dinikmati khalayak sebagai hiburan menarik menyaingi tayangan telenovela, sinetron,
lawakan, serta info gaya hidup selebriti di layar kaca. Banyak himbauan
dilakukan pemerintah yang bertujuan mencegah korupsi sejak dini. Kenyataannya,
gerakan moral yang mengusung kejujuran personal untuk membendung korupsi gagal
meraih sukses. Korupsi yang terjadi semakin marak malah menyusup ke sektor keagamaan
sekalipun, seperti proyek pengadaan Al Quran yang pemberitaannya masih
dinikmati publik hingga jelang akhir 2012. Tanpa disadari, suatu proses
pembenaran budaya terjadi dalam diri pembaca akibat banyaknya pemakluman dari
hasil pembacaan itu. Betapa tidak, kitab suci yang bertujuan memperbaiki moral
umat, tergiring ke dalam isu massa negatif yang menyalahi etika moral saat
pengadaannya, membuka peluang kondisi termaklumi di tengah khalayak. Artinya,
keberadaan moral belum mampu menandingi hasrat tradisi korup, yang disimpulkan
para pakar sebagai budaya, meskipun ancaman dari negara bagi para pelaku cukup
keras.
Perangkat lunak berupa undang-undang cukup jelas
medefinisikan tentang arti korupsi berikut sanksi hukum bagi para pelaku. Pasal
3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Penekanan definisi korupsi di atas lebih kepada
penyalahgunaan wewenang sehingga merugikan keuangan negara. Ungkapan merugikan
keuangan negara tentunya memerlukan instrumen lain untuk pembuktiannya dan
lebih berorientasi kepada pertanggung-jawaban administrasi. Secara umum
pertanggung-jawaban administrasi dipahami sebagai pembuktian dokumen untuk
pemeriksaan atau penelitan pemanfaatan keuangan negara tanpa evaluasi manfaat
dari pembelanjaan tersebut. Pertanggung-jawaban serupa itu hanya teknis belaka,
meskipun banyak pemangku kepentingan merasa pembelanjaan suatu kegiatan atau
lazim disebut proyek, sia-sia tanpa manfaat. Mencermati makna tersirat dan
tersurat, sudah saatnya definisi korupsi diperluas ke dalam batasan pemahaman
efisiensi atau kontra efisiensi. Hal ini untuk mendekatkan persoalan pemborosan
keuangan negara dengan tudingan budaya sebagai muasal persoalan panjang yang
sulit terselesaikan ini. Sementara, makna korupsi telah ter-mindset di
kalangan umum sebagai suatu kejahatan yang sama tingkatannya dengan kriminal
lainnya. Definisi parsial terhadap korupsi cenderung berpeluang membangun
kecerdasan bersikap dari pengguna anggaran negara dalam mempertanggung-jawabkan
pemakaian, sebatas memenuhi tuntutan administrasi semata.
Efisiensi merupakan salah satu batasan tuntunan
kepemerintahan yang baik (good governance), di samping
beberapa batasan lain yang juga tak kalah ampuh dalam menghadang pemikiran
korup. Batasan yang mencirikan good governance menurut Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 101, tahun 2000, yakni profesionalitas,
akutanbilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi,
efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Kesemua
batasan ini merupakan domain aspek budaya yang berpeluang untuk
diterjemahkan lagi ke dalam aturan teknis lainnya, untuk sama menyertai
undang-undang penuntasan korupsi secara sistemik.
Betapa terhalangnya hasrat korupsi, manakala
penempatan penyelenggara negara harus berhadapan dengan aturan lain yang
mengharuskan memiliki standar profesionalisme sesuai aturan kompetensinya. Tak
kalah pula pentingnya, manakala penyelenggara negara diwajibkan bersikap
transparan terhadap pemangku kepentingan yang berada di bawah layanannya. Satu
lagi, betapa risihnya seorang pejabat atau penyelenggara negara yang harus
mempertangung-jawabkan nilai efisiensi dari pembelanjaan yang dilakukannya.
Solusi serupa ini tidaklah mustahil diterapkan mengingat perangakat aturan
pendukung telah tersedia, meskipun relatif berat akibat klaim budaya tersebut.
Beban berat yang terindikasi dari banyaknya jumlah korban baik dari
penyelenggara negara maupun dari pihak lembaga pemberantasan korupsi merupakan
konsekwensi alamiah dari upaya mengubah suatu budaya. Membuktikan pelanggaran
dan menghukum cukup melelahkan dan menyita waktu panjang.
Pembiaran sistem berpikir korup, sementara ragam
seminar kerap menanti solusi bukanlah tindakan arif. Jejaring ciri
kepemerintahan yang baik (good governance) mampu mengubah
kondisi dan harapan berbagai elemen bangsa seperti kerap diungkap,“Katakan
Tidak Pada Korupsi.” Namun perlu dua kata penting untuk menguatkan
penerapan sistem, yakni “komitmen dan sanksi.” Suasana akan berubah dari saling
tuding dan menyalahkan menjadi saling tanggungjawab. Tidak mesti ada lagi
penyalahan terhadap budaya yang juga merupakan komponen kekuatan bangsa.
* Razuardi Ibrahim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar