tulisan ini sudah pernah aku tayangkan di media online
Mesjid Kota Lhokseumawe, Karya Rachmatsyah Nusfi |
Goresan Landmark Antar Zaman
Jarang orang
bertanya tentang para pencipta dari suatu objek ternikmati baik dalam bentuk
elemen estetika maupun dalam bentuk karya seni lainnya. Intervensi mainset
terhadap perilaku manusia seperti ini kerap memupuskan apresiasi bagi para
pencipta. Tidak jarang pula, para plagiator mengklaim karya tertentu merupakan
hasil pemikirannya. Begitupun, sistem informatika masih diam tanpa bantah untuk
mengungkap perjalanan kreativitas para pendahulu, khususnya di Aceh.
Banyak karya
penyair, pelukis, komponis, penulis, dan pengukir Aceh yang luar biasa pada
zamannya terlupakan begitu saja. Kiranya perlu dilakukan upaya menggerakkan
sistem agar selalu memberi pengakuan terhadap sosok pencipta melalui berbagai
cara. Keberadaan para penulis, setidak-tidaknya dapat memberi kontribusi
terhadap gejala kontraproduktif serupa itu.
Tak mudah terbantahkan, Aceh hari ini memiliki dua pengenal kawasan (landmark)
Islami produk dua sosok dari abad berbeda. Sosok pertama, de Bruin, arsitek
Belanda pendesain Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, berhasil memperkenalkan
kubah di akhir abad ke-19 ke masyarakat Aceh, setelah Gubernur Swart
memerintahkannya untuk membangun kembali masjid tradisional yang dibakar.
Sosok kedua,
Rachmatsyah Nusfi, pedesain Masjid Islamic Centre Lhokseumawe, hadir dengan
goresan mengagumkan di awal abad ke-21. Kedua mesjid tersebut telah mampu
membangun citra kawasan di dua kota berjauhan dengan dua langgam (style)
yang berbeda pula.
Masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh yang dapat disaksikan hari ini telah mengalami
perluasan beberapa kali dengan alasan peningkatan kapasitas, namun tidak
menghilangkan ciri asal produk goresan arsitek Eropa tersebut. Langgam yang
ditampilkan pada masjid kebanggaan rakyat Aceh itu merupakan keberhasilan
kolaborasi tiga karya besar arsitektur dunia yakni, Eropa, Cina, dan India
(Gujarat). Tersirat, masjid yang berdaya tampung 7.000 jamaah saat
sekarang, menyampaikan pesan tersendiri lewat sosoknya. Keharusan masjid
mengadopsi kubah India menggejala ke seluruh pelosok negeri, meski bukan akibat
tekanan dari suatu aturan.
Di sisi lain,
para seniman berkesimpulan bahwa pesan lain yang disampaikan masjid agung
tersebut yakni perjalanan masuknya Islam ke Serambi Mekah. Dalam keadaan diam
sosok tempat ibadah itu memperkuat ilustrasi bahwa Islam masuk ke bumi Iskandar
Muda melalui India yang sering disebut sebagian orang dengan teori Gujarat.
Tidak jauh
berbeda dengan Rachmatsyah Nusfi, tatkala diminta untuk mendesain sebuah masjid
agung berkapasitas 10.000 jamaah di Kota Lhokseumawe, pesisir utara Aceh.
Pelukis otodidak yang telah banyak memberi kontribusi terhadap bangunan besar
di Aceh itu segera membentuk kelompok kerja dari berbagai komunitas. Tanpa
mengabaikan teori Gujarat, Rachmatsyah berkeyakinan bahwa besar kemungkinan Islam
tersebar ke Aceh melalui Persia. Namun banyak kendala yang mesti
diselesaikannya, salah satunya menghadirkan kubah yang mampu bercerita kepada
zaman tentang perjalanan Islam ke Aceh.
Dalam pencarian
bentuk kubah yang mengakomodir perjalanan sejarah masuknya Islam ke Kerajaan
Pasai, Rachmatsyah melakukan telaahan dan survei ke beberapa situs
sejarah di bekas kerajaan Islam tersebut. Meskipun bekas daerah kerajaan ini
tidak meninggalkan masjid yang dapat dijadikan acuan, namun peninggalan
hikayat, sejarah, dan benda-benda sejarah lainnya dapat digunakan sebagai bahan
masukan bagi upaya rancang-bangun sebuah masjid agung di Kota Lhokseumawe.
Berbekal
keahliannya sebagai seorang civil engineer berkolaborasi dengan bakat alami
sebagai pelukis, Rachmat dengan mudah mengekspresikan hasil perjalanan
pencarian bentuk kubah yang semula tidak diperhitungkan sebagai sebuah produk
mahakarya. Diyakininya bahwa ketangguhan desain masjid akan ditentukan
oleh kegagahan mahkotanya yaitu kubah.
Menurut
Rachmat, lengkung kubah ini mengakomodir bentuk kubah yang lazim digunakan
masyarakat Persia. Sementara, pada bidang permukaan kubah tidak dibiarkan
kosong masif tanpa tekstur penghias. Motif pengisi tekstur permukaan kubah
diakomodir dari ragam hias yang berkembang di Aceh, khususnya peninggalan
Kerajaan Pasai. Bahagian bawah kubah dihiasi motif bunga yang terhubung tegak
antara satu dengan lainnya. Ide pembuatan motif pada bagian bawah kubah ini
diilhami oleh pintalan taplak meja yang biasa digunakan masyarakat Aceh untuk
menghiasi meja tamu.
Pada puncak
kubah, Rachmat melengkapi dengan penangkal petir yang dibentuk serupa boh ru,
perlengkapan raja-raja atau hulubalang Aceh terdahulu yang diikatkan dengan
sutera kuning bersama kunci peti kerajaan yang diselempangkan di pundak. Akan
tetapi boh ru pada mesjid ini diberi motif bunga-bungaan yang banyak dijumpai
pada benda-benda kuno peninggalan masa Kerajaan Aceh.
Jumlah kubah
pada masjid tersebut yakni sembilan buah. Meskipun berbentuk sama, kubah-kubah
tersebut terdiri dari tiga tipe ukuran. Tipe pertama, yakni kubah utama dengan
posisi tepat di tengah bangunan, berukuran paling besar sebanyak satu unit
dengan diameter 19,5 dan tinggi 21,68 meter. Tipe kedua berdiameter 12,17
setinggi 13,9 meter, sebanyak empat buah. Sementara tipe ketiga berdiameter
8,64 dengan tinggi 8 meter sejumlah empat buah.
Kubah-kubah ini
terbuat dari glassfibre reinforcement cement (GRC) yaitu suatu produk material
konstruksi dari campuran, semen, pasir halus, serat fiber, dan
bahan perekat.
Saat ini model
kubah karya Rachmatsayah telah menghiasi banyak masjid lain di Bireuen, Aceh
Utara, bahkan di Banda Aceh. Konsep lengkung Persia berkolaborasi dengan motif
Aceh dan pintalan taplak meja, menjadikan sosok kubah temuannya itu mampu
menyaingi tampilan kubah produk de-Bruin. Artinya bentuk kubah yang mencirikan Aceh
Style ciptaan arsitek lokal mampu menyusup di hati masyarakat.
Suatu hal telah
terjadi dalam aspek sosial, jika hendak dicermati lebih jauh. Protes
Rachmatsyah terhadap teori Gujarat yang diekspresikan de-Bruin lewat kubah
hitam Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, telah direalisasikannya. Begitulah
protes melalui karya para seniman, tanpa demo dan saling hujat.
Razuardi
Ibrahim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar