Potensi
Seni Menghadapi Penghinaan Rasulullah
tulisan ini pernah dimuat di media online tahun lalu
Penghinaan
terhadap Nabi Muhammad bukanlah isu baru, karena sejak sosok agung ini diutus
menjadi Rasulullah SAW empat belas abad silam, kafir Quraisy intens melancarkan
berbagai tindakan intimidasi. Umat Islam ketika itu hanya mampu bersabar menerima perilaku
musyrikin tersebut karena mereka masih lemah. Zaman berganti, kreasi penghinaan
terhadap kharisma Rasulullah semakin beragam, andil kemajuan teknologi dan maidset demokrasi yang kian menggejala
di millenium ke-3 ini.
Meskipun Muhammad SAW bersikap moderat, tidak
sedikit kalangan di masa hidupnya selalu
menentang. Banyak informasi al-Quran berikut riwayat yang menunjukkan, bahwa
beliau senantiasa berusaha mencegah berbagai kesalahpahaman, tudingan tidak
berdasar, dan penghinaan terhadap konsep Islam yang diyakini mampu merubah
tradisi jahiliyah. Beliau berupaya keras dengan berbagai cara untuk
mengenyahkan sebab musabab perselisihan yang muncul di tengah umat kala itu,
bahkan setelah dirinya wafat.
Dari berbagai cara intimidasi jahiliyah yang tidak
jarang berwujud penganiayaan fisik, Rasulullah juga mengalami penghinaaan lewat
karya seni, seperti yang dilakukan Abu Jahal.
Selain menuduh Muhammad SAW sebagai seorang yang kurang akal, pemuka musyrikin ini mengupah para seniman untuk
menghina Nabi melalui media seni, salah satu di antaranya An Nadhar Bin Al
Harith.
Sejarah berulang meski pada zaman berbeda. Di bulan
September 2012, dunia dihebohkan lagi dengan gejolak massa dampak pelecehan
ideologi Islam. Kontroversi seputar film Innocence
of Muslims yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW, mengundang masyarakat
Muslim dunia bereaksi keras. Pasalnya, tayangan film yang disutradarai Sam Bacile berbiaya lima juta dollar itu memfitnah Nabi Muhammad dalam
gambaran yang sangat keji, yakni dengan menuduh Rasulullah sebagai pendukung
fedofilia dan homoseks yang ditampilkan dalam adegan tidak senonoh menurut
pandangan Islam.
Di negeri-negeri mayoritas Muslim seperti Libya
terjadi protes di Konsulat Amerika yang mengakibatkan tewasnya duta besar
Amerika bersama tiga staf. Sementara di Kairo, Mesir, protes massal dilakukan
dengan tindakan penurunan bendera negara adidaya itu. Pemerintah Afghanistan
memilih cara lebih taktis dalam menyikapi hal ini, yakni memblokir situs
jejaring youtube yang menyiarkan
video tersebut. Di Indonesia, ragam demo digerakkan di beberapa tempat
tertentu yang berujung bentrok dengan aparat penertiban.
Tidak ketinggalan pula protes lewat media tulis,
khususnya yang berbasis elektronik termasuk jejaring sosial dunia maya. Menurut
Qosim Nursheha Dzulhadi, penulis
dan pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, orang-orang
yang turun ke jalan dan ke lokasi tertentu, bukan menghujat film Innocence
of Muslims untuk melakukan
demonstrasi. Tetapi mereka tengah mengekspresikan kecintaan kepada Rasulullah
SAW. Sikap dan tindakan para demonstran yang dikesankan anarkhis dan tidak
bermoral ketika menyerang beberapa Kedutaan Besar Amerika di beberapa negara,
belum berbanding dengan perasaan umat Islam yang tercabik dan terkoyak karena
kehormatan Nabi Muhammad dihina dan direndahkan. Beliau juga mengomentari bahwa
kematian Dubes AS di Benghazi, Libya, John Christopher Stevens, hanya bagian
kecil dari bukti kecintaan umat Islam kepada Nabi mereka.
Qosim berpegang, bahwa Syeikh al-Islam, Imam Ibnu
Taimiyah sejak lama telah menulis buku penting bertajuk al-Sharim al-Maslul
‘ala Syatim al-Rasul, yang artinya
pedang terhunus bagi pencaci Rasul.
Buku ini penting, karena menjadi bukti betapa seorang Muslim tidak boleh luntur
kecintaannya kepada Rasulullah. Secara tegas ia berpesan, siapa saja yang
mencaci-maki Rasulullah hukumannya adalah bunuh (al-qatl).
Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun
(sekira tahun 1268), ia dibawa ayahnya ke Damaskus menghindari serbuan tentara Mongol atas Irak yang
cukup mengkhawatirkan. Ulama Islam terkemuka ini tidak hanya ahli dalam ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga gemilang dalam memimpin pertempuran untuk melawan
pasukan Mongol di Syakhab, dekat Damaskus, tahun 1299 M. Pada
Pebruari 1313, beliau juga bertempur di kota Jerussalem dan mendulang
kemenangan hebat. Reputasi berkolaborasi dengan fatwa tegas Ibnu Taimiyah
diakui cukup handal memproteksi pelecehan ajaran Islam di abad ke-13.
Obsesi perlawanan fisik sebagai respon komunitas
Muslim yang diperkuat dengan kisah perjalanan keras Ibnu Taimiyah dapat
dipahami sebagai suatu ekspresi mempertahankan fanatisme terhadap sosok suci
sekaligus tauladan umat Islam di muka bumi. Namun zaman bercerita lain terhadap
bentuk-bentuk perlawanan yang bertensi mengusung suatu kebenaran. Kenyataannya,
perseteruan ideologi melalui kecanggihan dunia maya dianggap lebih mampu
memupus kebenaran, termasuk wilayah aksioma sekalipun.
Beberapa
tahun sebelum Innocence of Muslim berkumandang, episode Fitna
telah lebih dulu mengusik ketenangan umat Islam. Film
karya politikus Belanda, Geert Wilders
yang juga pemimpin Partij voor de
Vrijheid
(PVV), mengungkap pandangannya mengenai Islam dan
Qur'an.
Karya yang dilatar-belakangi oleh sedikit pengetahuan Wilders tentang sejarah
Islam ini, dirilis di Internet pada tanggal 27 Maret 2008.
Tersirat ia merasa bahwa Islam telah mengurangi kebebasan di Belanda dan
perilaku Muhammad
tidak cocok dengan moralitas masyarakat Barat. Yusuf al Qardhawi merespon
perbuatan Wilders dengan pernyataan keras, "kami bukanlah umat yang gemar memulai provokasi dan juga melakukan
pertentangan, sebaliknya kami adalah umat yang sejahtera (salam) dan perkataan
'Salam' merupakan satu di antara nama-nama Allah yang suci dan
ditinggikan."
Dalam karya tulis sastra,
hujatan terhadap Islam juga pernah membangkitkan amarah Muslim dunia. The Satanic Verses, novel ke-empat karya Salman Rushdie yang pertama kali diterbitkan pada
tahun 1988, lagi-lagi mencela kisah hidup Nabi Muhammad. Dalam novel ini, tokoh
utama yang bernama Mahound, kemungkinan besar merujuk pada Nabi Muhammad,
diceritakan secara paralel dengan dua tokoh utama lainnya, Gibreel Farishta dan
Saladin Chamcha.
Di Inggris, novel ini diterima dengan baik oleh
para kritikus, dan menjadi finalis Booker Prize di tahun itu, walaupun
dikalahkan oleh Oscar and Lucinda karya Peter Carey yang memenangkan Whitbread
Award untuk novel terbaik. Namun di kalangan Muslim, novel ini menggiring
hadirnya hujatan bersama dari beberapa pemimpin Islam dunia. Sebuah fatwa
terhadap Rusdhie yang ditetapkan pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Khomeini,
yakni hadiah satu juta dollar bagi siapa saja yang membunuh Rushdie dan tiga
juta dollar jika pembunuhnya berasal dari Iran. Kharisma fatwa keras dari imam
Syiah tersebut cukup kuat mempengaruhi beberapa pemimpin negeri non-Islam untuk
bersikap. Dampaknya, beberapa negara larut dalam kehebohan ini sebagai wujud
solidaritas berbangsa saling menghormati. Venezuela melarang buku tersebut
beredar dan mengancam 15 bulan penjara kepada siapa saja yang membacanya.
Sementara di Jepang, seorang penerjemah yang terlibat dengan buku tersebut
ditikam sampai mati. Selanjutnya, buku ini tidak boleh beredar di India, negeri
asal Rusdhie. Keberadaan The Satanic
Verses juga menyulut kerusuhan relatif besar di Pakistan hingga tahun 1989.
Banyak
lagi penghinaan yang dilakukan dengan cara berbeda dari para pihak yang
berkepentingan untuk itu. Mencermati fluktuasi hujatan berulang terhadap Islam,
dapat disinyalir seakan ter-desain
kemasan yang menunggu suasana tertentu di tengah komunitas Muslim. Kultur
masyarakat Muslim yang mudah bereaksi dalam membela berbagai bentuk hujatan
cukup dipahami pihak tertentu untuk menciptakan ketidak-nyamanan dunia. Tatkala
komunitas Muslim sedang menikmati ketentraman, isu pembusukan digelindingkan
kembali dengan berbagai tujuan nyata dan tersirat. Kondisi yang terjadi
dinikmati sebagai hiburan oleh kalangan itu, selain digunakan untuk menghiasi
pemberitaan berbagai media massa dunia. Dampak lain dari ragam tujuan tersebut,
terbangun kesimpulan tertentu terhadap nilai-nilai
luhur ajaran Islam, sekaligus menguras energi umat dalam menghimpun kekuatan
protes dan unjuk rasa.
Selayaknya
dikilas kembali tentang gemilang film The
Message, produk tahun 1976 yang disutradarai Moustapha Akkad, pria
kelahiran Syria 1 Juli 1930. Ia meninggal pada 1995 di Amman, Jordan, akibat
ledakan bom. Film ini sempat memicu kontroversi karena aktor utamanya, Anthony
Quinn diisukan memerankan tokoh Rasulullah. Propaganda itu tidak berhasil,
karena tokoh Rasulullah dan para sahabat tidak ditampilkan sosoknya secara utuh,
melainkan di luar sorotan kamera.
Sebagai
tontonan bioskop, The Message yang
juga dikenal dengan judul Wahyu Ilahi,
cukup memukau
masyarakat dunia termasuk masyarakat non-muslim. Tidak terbantahkan,
bahwa karya seni akting di masa fasilitas internet belum mewabah seperti
sekarang ini, efektif membendung upaya pendegradasian citra Nabi Muhammad
berikut ajarannya. Pengakuan terhadap Islam agama sempurna mampu menyusup ke
dalam pola pikir generasi masa itu yang terindikasi dari lamanya film itu
bertahan dalam peredarannya hingga jelang akhir tahun 1980-an.
Ada lagi sebuah tayangan film dokumenter tentang
Sayyid Musa Sadr di jaringan televisi satelit Al-Manar. Dia ulama besar, pioner
pasukan perlawanan Hizbullah Lebanon di
era 70-an, di tahun-tahun awal invasi Zionist Israel. Dalam film yang berdurasi
relatif panjang itu, diperlihatkan momen-momen dia tengah berbicara di hadapan
jamaah sebuah gereja berarsitektur agung di Sidon. Dengan sorban hitam
keulamaanya serta wajahnya yang teduh, ia berdiri di sebuah mimbar berlatar tembok tinggi ber-ornamen kaca
gereja yang memukau. Musa Sadr mampu menjadi menara suar kala itu sebelum
akhirnya hilang misterius. Hingga kini ia dianggap pahlawan oleh hampir semua
kalangan dan agama di Lebanon. Banyak pihak meyakini kemungkinan besar ia
diculik saat berkunjung ke Libya. Ada yang bilang dia telah mati, meski tak
sedikit yang meyakininya masih hidup dan tertawan. Tapi sebelum kepergiannya,
dia telah mewariskan sesuatu yang berharga, yakni fikih persatuan umat.
Di Nigeria, persoalan pencitraan positif terhadap
Islam diusung dengan cara tersendiri. Organisasi Gerakan untuk Budaya Islam dan
Kesadaran Nigeria (MICA) yang didirikan pada tahun 1994, merupakan asosiasi
para profesional Muslim muda bertujuan mempromosikan nilai-nilai luhur Islam.
Seiring perkembangannya, kelompok ini memiliki peranan besar membantu keluarga
muslim Nigeria untuk memperoleh pendidikan yang layak lewat kampanye bertema "Dakwah dengan Tanggung Jawab
Sosial". Melalui kampanye tersebut, mereka melaksanakan beragam
kegiatan sosial, seperti menyiapkan penyajian paket kesehatan untuk anak-anak
di LASUTH (Lagos State Teaching Hospital).
Mencermati
informasi di atas, dapat dipahami ragam sikap komunitas Muslim dalam
memproteksi citra Islam yang secara tidak langsung memberi pengayaan bagi
semua. Kontribusi penyelesaian persoalan dalam bentuk fatwa keras, membangun
kepedulian, hingga tayangan film bermutu merupakan pilihan untuk dijadikan
pertimbangan umat. Perbedaan dari ke-tiga sikap ini terletak pada kecerdasan
menentukan reaksi dari hujatan yang dikembangkan, mengingat cerita sebatas
kejayaan Islam masa lalu, baik semasa kekhalifahan maupun tatkala Rasulullah
memimpin umat semakin terabaikan. Intervensi pemutar-balikan fakta keunggulan
Islam seakan leluasa memainkan perannya saban waktu. Dari ke-tiga sikap
tersebut, tayangan film produk karya seni, dirasakan lebih ampuh mengimbangi
pembusukan citra Islam sekaligus membangun mindset
antar generasi berkelanjutan.
Di awal
abad ke-21 sekarang ini langka ditemui karya seni yang mampu mempertahankan
citra Islam seperti karya seniman masa terdahulu, abad ke-20 dan sebelumnya.
Tak satupun ungkapan yang dapat dijadikan alasan untuk menjawab kondisi
kelangkaan ini. Akhirnya umat perlu sama berupaya memupus anekdot tentang Islam dibangun dengan kekerasan, atau ada yang sengaja
memperkuat isu dengan pedang dan darah.
Tidak mustahil, eksistensi karya seni generasi Muslim yang didasari kepedulian
dan ketulusan dapat segera merubah anekdot buruk menjadi semboyan Islam dibangun dengan ilmu pengetahuan dan
indahnya kebenaran.
Razuardi Ibrahim-230912
Tidak ada komentar:
Posting Komentar