Pejabat Butuh
Dilayani
Razuardi Ibrahim, 25 Juli 2013 Sungai Iyu |
Di
tengah maraknya isu tata cara Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, memperlakukan
aparatur yang berada di bawah kendalinya dengan jenaka, konyol, dan cara yang tidak lazim, banyak
daerah lain di Indonesia masih bertahan dengan cara tradisional. Para pejabat,
baik struktural dan politis masih mengharapkan dirinya dilayani oleh sosok lain
yang dianggap berstatus lebih rendah darinya. Kondisi ini merupakan produk
sistem akibat mindset feodalisme belum
hengkang dari pemikiran orang-orang kebanyakan. Terlebih lagi para pihak berkepentingan memperparah kondisi dengan
menjadikan diri sebagai peminta-minta kepada para pejabat tertentu. Banyak komentar
dari beberapa kerabat sesama para engineer
kepadaku, “sulit menemui kepala dinas.......,
padahal sudah janji perencanaan itu akan diberikan kepadaku,” katanya
sedikit memelas. Biasanya aku menanggapinya dengan sedikit marah karena kontribusi
perendahan diri darinya menjadikan kondisi status
quo semakin lama bertahan dan menghunjam. Pernah aku berkata kepada salah
seorang kerabatku sesama lulusan teknik sipil 1988, “bisakah kita bayangkan, kondisi seperti apa yang terjadi jika di
seluruh dunia para sarjana atau ahli teknik sipil mogok bekerja ?,” tanyaku.
Ia menjawab, “ya, tidak ada
infrastruktur,” katanya ringan, “dan nilai komunitas teknik sipil akan
tinggi,” lanjutnya. “Betul juga,” kataku, “tapi, jelasnya para ahli teknik sipil yang
di kampus lulus nyontek dan nyaris drop out akan tampil memproklamirkan diri
sebagai ahli rancang bangun konstruksi berat,” kataku disambut lolong
matanya, seakan menanti masa itu tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar