Senin, 11 Juni 2012

APLIKASI KONSEP RUMOH ACEH DI LAPANGAN


         Dalam sejarah perjalanannya, konsep rumoh Aceh telah terinfiltrasi ke dalam tujuan aplikatif masyarakat yang di rasakan cukup bermanfaat. Tujuan aplikatif ini tercermin dari beberapa aspek dominan yang langsung dapat terlihat dalam kegiatan sehari-hari baik disadari, maupun tidak. Berikut uraian terhadap beberapa aspek dominan hasil pengamatan dan masukan dari berbagai pihak pemerhati di Nanggroe Aceh Darussalam.

  
a.   Aspek Perencanaan

Pertumbuhan rumah tinggal seiring dengan pertumbuhan penduduk memberi pengaruh terhadap style atau langgam disain. Keinginan dari masing-masing pemilik rumah tinggal di Nanggroe Aceh Darussalam cenderung  mendapatkan sentuhan etnik meski hanya sedikit. Para perencana rumah tinggal juga merasakan hal serupa terhadap kecenderungan ini. ”.............Banyak yang minta ambang pintunya bermotif Aceh, saya repot juga mencari literatur.............”, demikian Iqbal, seorang Arsitek di kota Lhokseumawe.
Rachmatsyah Nusfi juga sedikit disibukkan oleh para owner menyangkut penyusunan kerangka acuan rumoh Aceh yang akan ditenderkan kepada para konsultan lokal. ”.........Mereka tanya kerangka acuan sama kita, waktu tender mereka yang menang,..........., tapi ketika mulai kerja tanya kita lagi...”, demikian keluhnya. Artinya pada aspek perencanaan konsep dan filosifi rumoh Aceh telah menjadi bahan acuan yang wajar untuk dipertimbangkan.


Salah satu disain ambang pintu rumah dengan sentuhan ornamen rumoh Aceh
 
b.   Aspek Eksibisi


Eksibisi sebuah istilah yang populer saat ini padahal arti sederhana yang mudah dipahami oleh masyrakat awam adalah pertunjukan. Namun karena publikasi dan promosi pada event-event tertentu yang bersekala internasional maka sering orang memakai istilah ini.
Pameran yang mengeksploitasi keberadaan dan bentuk rumoh Aceh sudah sering dilakukan, baik pada sekala lokal seperti Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), Musabaqah Tillawatil Qur’an, Pameran Pembangunan, dan lain-lain sebagainya. Namun oleh karena kerangka acuan, konsep, serta tujuan yang tidak jelas bahkan tidak didiskusikan oleh masing-masing komunitas yang mengerti tentang itu maka pergeseranpun terjadi, dan dalam hal ini pergeseran yang jelas terlihat adalah perubahan fisik bangunan.
”.....Saya lihat pada PKA pertama, tahun 1972, seluruh bangunan Aceh yang ditampilkan masing-masing kabupaten/kota, waktu itu Dati II namanya masih bercirikan bangunan khas masing-masing..........., semua dari kayu.....”, ungkap Rachmat saat melatih para tukang di stand Kabupaten Nagan Raya, ”...........sekarang kan tidak,.....mereka membangun sesuka hatinya saja,......jauh,......jauh,........sudah bergeser dari konsep.”
Kekecewaan seorang Rachmatsyah ada benarnya, ”..........mestinya, kalaupun materialnya berbeda tapi konsep bentuk bangunan kan harus spesifik............coba lihat, ada yang kayak rumahlah, kayak restoranlah, wah........macam-macam............ini pertunjukan budaya”, tambahnya dengan mata berkaca-kaca.

Anjungan Seuramo Bireuen di PKA-4 masih mengutamakan khas daerah
Bireuen yakni rumoh santeuet


Memang pada arena PKA-4, Taman Sri Ratu Sfiatuddin terlihat beragam jenis bangunan baik dari bentuk maupun bahan yang digunakan. Kecenderungan membangun rumah di atas tanah lebih dominan, namun masih ada juga beberapa anjungan yang mempertahankan karakter bangunan yang berkembang di daerahnya masing-masing meskipun material yang digunakan telah ditukar dengan bahan-bahan moderen seperti genteng metal, tiang beton, dan lain-lain, mengingat kesulitan mencari atap daun rumbia dan kayu pada saat itu. ”.......tapi bentuk kan bisa dipertahankan........”, ungkap Rachmatsyah. ”.............kalau ingin memperlihatkan daerah kita mampu membangun gedung moderen tidak disini tempatnya,.......ini pesta eksibisi budaya, bangun dengan dinding tepaspun boleh, asal bentuknya khas daerah..........”. 

Papan nama anjungan Bireuen yang masih menggunakan bahasa daerah.

Anjungan Kabupaten Bireuen (Seuramo Bireuen) pada PKA-4 masih menggunakan kayu dan bentuknya mengikuti bangunan rumoh santeuet yang banyak berkembang di Aceh dan Bireuen khususnya. Hanya saja tiangnya ditinggikan sedikit, ”..........secara fungsi anjungan Bireuen sudah maksimal, cukup manusiawi, karena kalau hujan pengunjung yang menyaksikan acara di bawah tidak kewalahan,................yang penting kan masih proporsional bentuknya”, komentar Rachmatsyah.



Permainan atap bangunan pada PKA-4 sungguh bervariasi, ada yang mengadopsi atap Cakradonya yang berlapis tiga, adapula yang mencoba mengikuti bangunan khas Aceh dengan atap menurun hingga mendekati tanah. Pergeseran disain ini boleh jadi karena para seniman bangunan Aceh yang kian sulit didapati, atau ketidakpahaman dari para seniman bangunan lokal terhadap batasan proporsi dari sebuah bangunan rumoh Aceh, bahkan terbuka kemungkinan para pelaksana bangunan ini bukan orang yang tepat untuk itu.
Zakaria Ahmad menceritakan, ” Sejak semula arsitek de Bruin menyadari bahwa ia tidak bermaksud menghancurkan arsitektur  tradisional dengan pembuatan Mesjid Raya Baiturrahman tersebut. Hal ini dibuktikannya sewaktu Gubernur Aceh Swart tahun 1916 meminta kepadanya merencanakan sebuah bangunan kecil tempat gantungan lonceng Cakra Donya. Bangunan kecil itu diwarnai oleh arsitektur tradisional yaitu bahagian atap berundak-undak. Atap lapis pertama mengambil model atap rumah Aceh lengkap dengan tulak angennya dan atap pada lapis selanjutnya mengambil model dari mesjid tradisional Aceh”.  
Dari yang diceritakan di atas, tersirat bahwa arsitek de Bruin selaku orang luar (kaum penjajah dari Belanda) bekerja dengan nurani kearsitekturannya meski untuk sebuah banguna kecil sekalipun, tidak serta merta membawa pembaharuan di bidang rancang bangun bentuk bagi kebutuhan kelangsungan budaya. Karya de Bruin inilah yang dapat disaksikan hingga sekarang di lingkungan meusium Aceh di Banda Aceh.
   
c.   Aspek Ketahanan Budaya

Rumah bantuan korban tsunami yang mengikuti trend rumoh Aceh
            Ketahanan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian sempit yakni suatu upaya agar masyarakat awam mudah mengerti terhadap budaya Aceh yang telah lama berkembang dan menuntun peradaban di tengah masyarakat. Biasanya, ketahanan budaya di tengah masyarakat ini terindikasi dalam bentuk upacara peradatan, tingkah laku keseharian, serta kehendak untuk mengakomodir ragam seni yang telah mengakar di tengah masyarakat, termasuk seni rancang bangun.

          Di Aceh banyak kebutuhan seni bangunan yang mengakomodir arsitektural Aceh, meskipun bukan milik pemerintah. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam masyarakat Aceh sendiri masih bertahan nilai-nilai budaya masa lalu.

Pustaka Ali Hasymi Banda Aceh menggunakan ornamen Aceh
Rumah Aceh di lingkungan Pustaka Ali Hasymi, Banda Aceh
 


DAFTAR PUSTAKA
 
  • Akbar, Ali, 1990, Peranan Kerajaan Islam Samudra-Pasai Sebagai Pusat Pengembangan Islam Di Nusantara, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.
  • Dekranas Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam, 2002, Ragam Hias dan Motif Aceh, Banda Aceh.
  • Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat, 1996, Piasan Raya Alam Budaya Pantai Barat, Meulaboh.
  • Yusuf, Maimun, 1996, Catatan Seminar Motif Aceh pada Perencanaan Kantor Bupati Aceh Utara, Lhokseumawe.
  • Nusfi, Rachmatsyah, 1988, Laporan Survai dan Perencanaan Stand Pameran Mobil Oil pada PKA-3, Blang Padang, Banda Aceh.
  • Nusfi, Rachmatsyah, 2004, Persiapan Seminar Rumoh Aceh pada PKA-4, Taman Sri Ratu Saifuddin, Banda Aceh.
  • Nusfi, Rachmatsyah, 2004, Pembangunan Rumoh Aceh Stand Kabupaten Nagan Raya pada PKA-4, Banda Aceh.
  • Ibrahim, Razuardi, 2004, Pembangunan Seuramo Bireuen pada PKA-4, Banda Aceh.
  • ZZ, Muhammad, 1986, Seni Rupa Aceh, Dinas Perindustrian Daerah Istimewa Aceh bekerjasama dengan Taman Budaya Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh. 
  • Yayasan Festival Istiqlal, 1993, Al Qur’an Mushaf Istiqlal Menapak Kembali Seni Asasi Islam.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar