Selasa, 25 Februari 2014

MINDSET PERNIKAHAN

Mindset Pernikahan

Suatu kali di tahun 1990, aku saksikan suasana pergaulan bebas di sebuah kota, di Pulau Jawa. Waktu itu aku baru menjadi pegawai negeri di Dinas Pekerjaan Umum Aceh Utara. Kami dari seluruh Indonesia mengikuti Loka Karya Program Pembangunan dan Pengembangan Kota Terpadu, suatu program ke-ciptakaryaan yang cukup populer di kala itu. Di tahun itu juga aku baru pertama kali menumpang pesawat terbang dan menginjak Jakarta, kota yang banyak dicita-citakan para pegawai untuk dapatkan surat perintah tugas (SPT). Para seniorku dari departemen dan Kanwil PU Provinsi mengajak mengunjungi salah satu tempat hiburan, diskotik terkenal. Cukup bising tempat itu oleh suara musik yang keras mendebarkan dada sehingga percakapan hanya bisa terdengar saat rehat. Selain membosankan bagiku, suasana hingar bingar dan gemerlap begitu rupa tidak menjadi keinginanku untuk menikmati suatu hiburan. Aku saksikan banyak perempuan paruh baya merokok dan bercengkrama dengan pria yang lebih muda. Mereka terbahak di sela-sela perbincangan yang tidak aku mengerti. Tetapi intinya mereka bercanda tentang kebebasan memilih pasangan. Suatu komentar yang aku dengar dari mereka dalam guyonan itu, “kalo nikah pake surat, kalo kawin pake aurat,” kata salah seorang di situ. “Bedanya ‘s’ dengan ‘a’ aja,” sahut yang lain. Ungkapan itu aku anggap aneh dan lucu kedengarannya hingga sering terulang dalam pikiranku. Di tahun 2014 ini aku mendapatkan berita koran tentang ribuan pasangan tak berbuku nikah di Aceh. Tentu ungkapan aneh beberapa tahun silam itu muncul kembali untuk memaknai keadaan.

Pernikahan dipahamkan sebagai  penjagaan atau pembatasan individu untuk menikmati syahwat kepada lain pihak meskipun kehidupan persyahwatan dengan pasangan masing-masing tidak menyenangkan lagi. Harapan penjagaan itu mentradisi dan ter-mindset dalam kultur masyarakat tertentu. Tidak jarang kejenuhan pasangan terekspresikan dari tampilan masing-masing pasangan  yang tidak mempedulikan keharusan membangun daya tarik. Oleh karena itu, pada masyarakat yang masih menghargai pernikahan sebagai legalitas sakral dalam mindset menyeluruh, perasaan bersalah di tengah pandangan publik selalu terakui manakala aktivitas perselingkuhan dan prostitusi diketahui para pihak tertentu.

Namun demikian, pada masyarakat yang mengutamakan legalitas administrasi kewarganegaraan, pernikahan merupakan pernyataan status untuk mendapatkan pengakuan hak sebagai pasangan berkeluarga dalam suatu sistem legalisasi kewarganegaraan meskipun kepuasan seksual didapatkan dengan cara lain di luar ikatan pernikahan itu (ilegal).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar