Rabu, 18 Desember 2013

SEBAB TAK HUJAN

Sebab Tidak Hujan

razuardi, Tamiang, 15.12.13

Ketika pembekalan kader Partai Demokrat Tamiang di Hotel Grand Arya, aku diundang atas nama Pemkab dan memberi kata sambutan. Pembuka acara itu kerabatku juga, Mirwan Amir, selaku pimpinan pusat partai tersebut. Aula hotel itu lumayan sesak oleh para kader muda. Cuaca pun cukup cerah dan dominan mendukung suksesnya acara pada pagi jelang siang hari Minggu (15/12/13) itu. Memang ketika pagi,  sekira pukul 7.00 WIB, cuaca rada mendung. Banyak juga peserta yang harus ditunggu kedatangannya karena alasan cuaca tersebut. Jelang pukul setengah sebelas perhelatan itu dimulai dengan respon antusias luar biasa dari para kader. Kawanku yang juga kawan Mirwan Amir, Rachmatsyah Nusfi, seniman Aceh, sibuk mondar mandir memotret setiap momen bagus untuk diabadikan dalam Ipad, sebangsa komputer mini canggih  yang mampu digunakan untuk banyak hal bidang informatika. Rachmatsyah dikenal sebagai sosok nyentrik baik dari penampilan, pemikiran, berdialog, dan kesigapan bergerak. Tentu segala atribut yang dimiliki Rachmatsyah, khususnya penampilan, menyita perhatian seluruh peserta dalam ruangan itu. Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan rehat untuk minum kopi dan makan kue sejenak. Para peserta memenuhi gang antar ruang di lantai tiga hotel itu sambil senda gurau, mengusik sesama, bercerita, dan lain sebagainya layaknya orang-orang menikmati suasana santai. Aku dan Mirwan juga berlaku sama seraya mohon ijin melintas di antara kesesakan, untuk turun ke lantai dasar karena meyakini Rachmatsyah berada di sana. Dalam henti di tengah gang berdesakan itu, suatu topik dialog dua perempuan kader sempat mencuri perhatianku.

“O alah Na, hampir aku gak bisa datang kesini,” kata seorang perempuan muda kepada lawan bicaranya.

“Iya, aku juga begitu, tempatku mendung, takut hujan,” sahut yang lain.  

“Syukur Pak Mirwan tanggap ya,” sambung perempuan pertama.

“Tanggap kenapa ?,” tanya yang satu lagi.

“ Tadi kan pawang hujan yang ada di  ruangan, di bawa dari Jakarta,”

“O iya, pantesan, dia mondar-mandir dalam ruangan tadi,”

Rachmat, Yudha, dan Mirwan, Tamiang 15.12.13
Seakan tak percaya dengan yang aku dengar, jalan kuperlambat sambil berpura-pura menuang kopi dari iglo. Pembicaraan mereka terhenti, entah apa sebabnya, yang jelas bukan karena aku berhenti di dekat mereka. Aku memperhatikan kedua perempuan muda berkerudung itu berharap ada yang kukenal. Tentu untuk mengulas tentang “sosok pawang hujan dari Jakarta” yang didatangkan Mirwan Amir. Namun keduanya tidak kukenal selain menyaksikan mereka terdiam kagum akan kehebatan ketua mereka yang mafhum akan situasi kadernya di daerah. Lantas, “iya ya, nggak habis pikir juga kita, sampai hal pawang hujan pun sanggup dipikir Pak Mirwan,” kata salah satu dari mereka dan diamini yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar