Kamis, 13 Juni 2013

KOMENTAR TANPA SOLUSI

Komentar Tanpa Solusi

Banda Aceh pasca Tsunami

Sebelum tahun 1977, di saat televisi belum tersiarkan di Banda Aceh, masyarakat kota ini masih beramai-ramai menikmati hiburan lewat bioskop atau perayaan lainnya, seperti sandiwara, pertandingan bola antar kampung, orang jual obat tepi jalan dan lain sebagainya. Sepulang menikmati aneka hiburan produk masa itu biasanya orang tertentu bercerita di warung-warung atau tempat kumpulan orang ramai lainnya. Khalayak pendengar cukup menikmati cerita sambung dari orang itu, biasanya tanpa bantah. Alat transportasi waktu itu masih dominan sepeda. Aku dan beberapa kawan mengalami kondisi ini hingga 1979. Biasanya kami duduk di kios Lamprit yang sengaja dibuatkan bangku untuk kami berkumpul sambil menunggu orang tertentu yang pulang dari kota, Peunayong atau Pasar Aceh. Ketika singgah, orang itu bercerita tentang apa yang dilihatnya di kota dengan ekspresi menarik. Suatu hal yang aku ingat di kala itu, jika ada suatu isu berkembang, ramai-ramai orang menghakimi tanpa tahu muasal dan kebenaran terhadap isu tersebut namun tanpa solusi. Apalagi isu berkembang seputar hujatan terhadap pemimpin atau pejabat tertentu.


Tidak jauh berbeda di tahun 2013. Sistem masyarakat masih berduyun kepada masalah yang lagi trent. Maksudnya, tatkala ada suatu masalah besar yang menjadi tanggung jawab para pimpinan tertentu gagal atau menemui hambatan dalam penyelesaiannya maka mereka berduyun-duyun mengomentari hal yang lagi populer itu tanpa solusi.  Artinya, dalam beberapa dekade budaya komentar tanpa solusi masih belum bergeser dari tradisi meski peralatan informasi telah berkembang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar