Selasa, 11 Maret 2014

ESENSI ANGGARAN

Esensi Anggaran


Anggaran pembelanjaan daerah kabupaten secara umum dimaksudkan untuk melanjutkan roda pemerintahan kabupaten. Populernya dikenal dengan istilah APBK, yang diusul untuk setiap tahun anggaran. Dokumen APBK ini merupakan produk eksekutif (biasanya ditangani oleh Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten, TAPK) bersama Legislatif atau DPRK melalui Tim Badan Anggaran (Banggar). Idealnya, besaran anggaran yang menjadi pendapatan daerah dibelanjakan semaksimal mungkin untuk kepentingan masyarakat. Oleh karenanya, dalam APBK itu secara umum unsur pembelanjaan terbagi ke dalam dua kelompok besar, yakni belanja aparatur dan belanja publik. Saat ini lebih mudah dipahami dengan istilah belanja langsung (belanja modal), yang beresensi belanja untuk pelayanan kepentingan masyarakat, termasuk pembangunan infrastruktur. Sementara itu, belanja tak langsung lebih beresensi kepada anggaran operasional aparatur. Persoalannya, tidak jarang besaran belanja tak langsung ini melebihi belanja langsung. Artinya, besaran anggaran untuk kepentingan masyarakat relatif kecil dibandingkan dengan biaya operasional aparatur. Banyak pihak memahami keliru tentang keberadaan APBK ini, khususnya dalam aspek penentuan besaran belanja publik dan aparatur. Malah tidak sedikit Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD), melakukan protes tentang besaran anggaran yang dikelolanya, bahkan “bubarkan saja dinas kami jika memang tidak diperlukan,” ungkap sebuah pesan singkat tak jelas asal usul. Sesungguhnya, pesan ini layak dicermati untuk menyimpulkan keadaan seputar pengetahuan aparatur tentang tujuan dinas, badan, kantor atau lembaga lain. Bahkan perlu juga untuk mencermati tingkat pemahaman aparatur terhadap jumlah kelompok dan besaran dari stakeholders yang dilayaninya.


Adalah suatu isu menarik seputar pembahasan APBK Aceh Tamiang 2014 yang dapat diselesaikan tepat di akhir tahun 2013 lalu. Isu berasal dari SMS gelap yang di-foward oleh Sudirman, Kepala Bidang yang mengoreksi anggaran kabupaten-kota di DPKKA Propinsi Aceh, kepada Abdullah, Kadis DPKKA Aceh Tamiang, semakin memperkuat keyakinan tentang perlunya pemahaman tentang untuk siapa anggaran daerah itu disusun. Ungkapan dalam SMS yang beresensi keluhan kepada pihak lain, seakan lebih mampu menyelesaikan persoalan masyarakat di daerah itu. Bahkan tersirat, tendensi lobby yang dianggap lebih berpotensi menyelesaikan keluhan itu telah ter-mindset sebagai suatu tradisi. Tentu kekeliruan dalam mengarahkan keluhan semakin memperkuat asumsi bahwa ketidak-tahuan pihak tertentu tentang esensi keberpihakan anggaran. Keadaan ini layak dijadikan bahan pembelajaran sebagai upaya pencerahan aparatur dalam hal keberpihakan anggaran.     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar