Selasa, 25 Maret 2014

RUKUN ISLAM CERAH

Rukun Islam Yang Cerah

Suatu kali di era tahun 1980 hingga 1990-an aku sering berdialog dengan beberapa orang kawan yang beda keyakinan denganku. Umumnya, pertanyaan mereka seputar kelelahan kaum muslim menjalankan ritual agama. Tersirat mereka tidak mengetahui tentang kewajiban dalam Islam, sementara tersaksikan oleh mereka tentang aktivitas tambahan yang sering dilakukan komunitas tertentu. “Itu tidak wajib,” kataku suatu ketika, tatkala seorang kerabat menanyakan tentang aktivitas perkumpulan suatu perkumpulan dakwah di Lhokseumawe.   

Dalam pemahaman awam, Islam dapat diartikan selamat. Setidak-tidaknya, pengertian seperti ini aku sampaikan kepada beberapa rekan non-muslim yang sering bertanya tentang hal itu. Dalam posisi begini rupa aku berupaya agar tidak terjebak dalam diskusi berat bahkan debat kusir yang berakibat ketidak-nyamanan berinteraksi dengan mereka. Aku tidak merasa lebih baik atau puas, mana kala ada beberapa dari kerabatku itu menjadi mu’allaf. Pencerahan yang aku berikan relatif sederhana seputar Rukun Islam yang beresensi manusiawi, “mudah dan tidak memberatkan,” kataku. “Pertama mengucap dua kalimah syahadat, sebagai pengakuan kita kepada Allah dan Rasulullah, Muhammad SAW,” kataku sambil menjelaskan bahwa ungkapan ini merupakan keyakinan awal selaku muslim. Selanjutnya shalat lima waktu yang diwajibkan kepada setiap umat Islam dan, “aktivitas ini untuk kepentingan kita dalam berdialog dengan Allah, Tuhan yang telah kita akui tadi,” kataku sambil menjelaskan shalat itu bukan kepentingan Tuhan. “Karena tidakpun kita melakukan shalat, Allah tetap sebagai Tuhan sekalian alam,” sambungku lagi. Di sela-sela pencerahan ini mereka bertanya dengan esensi hubungan sebab akibat dari berbagai penjelasanku. Tentunya aku cukup berhati-hati dalam penjelasan itu, khawatir terjebak dalam situasi tendensius yang menyudutkan karena aku sadari tingkat keawamanku tentang Islam itu sendiri.  
razuardi ibrahim, 2008

Selesai berdiskusi tentang shalat, aku menyinggung soal puasa (bahasa Arabnya, shaum) sebagaimana dipesankan dalam rukun Islam yang ke-tiga. “Puasa ini ibadah untuk Tuhan,” kataku disambut mangut-mangut mereka. Aku menjelaskan bahwa puasa ini hanya diketahui, “oleh kita pribadi dan Tuhan,” kataku seraya menguraikan kalau kita tidak berpuasa secara sembunyi-sembunyi tidaklah ada orang yang tahu. “Jadi, puasa ini mutlak uji keimanan kita kepada Allah serta kejujuran kepada diri sendiri,” kataku meyakinkan mereka. Setelah tuntas tiga rukun aku ceritakan, mereka bertanya tentang zakat yang mereka khawatirkan tentang kewajiban itu. “Zakat ini bagi yang mampu, yakni orang-orang yang memiliki kelebihan dari hartanya,” jelasku. Tentu maksudku kelompok orang-orang berada yang telah diberi rejeki yang lebih oleh Allah SWT. “Malah jika ada orang Islam yang miskin atau papa, dia berhak terhadap zakat dari orang kaya,” kataku memupus kekhawatiran mereka. Begitupula berhajji, “jika kita belum mampu tidaklah wajib kita menunaikan hajji,” jelasku lagi.


Akhir dialog itu aku menyimpulkan kepada mereka, bahwa menjalankan rukun Islam itu tidaklah berat. Dari ke-lima kewajiban itu, tiga di antaranya mampu dilaksanakan dalam kondisi kaya maupun miskin. Hanya sebab musabab fisiklah yang dapat ditolerir untuk tidak melaksanakannya, seperti hilang ingatan, sakit, dan lain sebagainya. Sedangkan zakat dan hajji tidak menjadi kewajiban bagi yang tidak mampu. “Sekarang mau apa lagi, tidak sulit kan ?. Kesimpulan kita jika ada orang tertentu menjalankan tiga saja dari lima rukun Islam karena ianya papa maka sudah Islamlah dia,” kataku menutup. “Kalau punya kemampuan materi, wajiblah bagi orang Islam menunaikan zakat berikut hajji,” menyela pertanyaan akhir mereka.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar