Minggu, 02 Maret 2014

PEMBELAJARAN ALAM

Pembelajaran Alam



Aku dilantik menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tamiang pada hari Senin, 13 Mei 2013, di Gedung DPRK Aceh Tamiang.  Beberapa hari sebelumnya, banyak beredar isu tentang penolakan orang luar untuk menjadi pejabat di tempat itu. Tidak cukup dengan itu, pihak tertentu membuat selebaran tentang penolakan tersebut dan dibagi-bagikan ke semua orang, termasuk kepada aku sendiri. Waktu itu aku menetap di Hotel Arya karena rumah dinas jabatan belum tersedia sehingga orang-orang yang ingin bertemu dan berkenalan denganku datang ke hotel yang lumayan representatif di Kualasimpang. Aku biasa duduk dan makan malam di Cafe Alfin, penyedia ikan bakar segar di sana. Begitupula untuk sarapan atau minum kopi, aku biasa menikmatinya di cafe depan Kantor Bupati Aceh Tamiang. Tentunya dengan aktivitas serupa itu, aku memiliki peluang berteman dengan banyak orang, dari kelompok masyarakat biasa hingga pejabat daerah. Menariknya, setelah aku berbincang atau berkelakar dengan orang tertentu tidak jarang SMS dari orang tak dikenal menghampiri layar hape-ku. Pesannya beresensi agar aku berhati-hati dengan orang yang tadi bersamaku dan tidak jarang pula dengan kalimat yang menjelek-jelekkan. Sejak itu aku mulai membatasi diri untuk rehat atau minum kopi di cafe dan menyimpulkan, “janganlah orang baik  menjadi buruk karena berbincang denganku”. Pernah aku tanyakan soal ini kepada Idris Berdan (Wak Reh), kerabat yang kukenal sejak 2006 melalui Hamdan Sati. Ia berkomentar singkat, “kalo disini gak usah heran Sek, itu hal biasa,” ujarnya. Gejala seperti itu aku rasakan selama kurang lebih tiga bulan sejak aku bertugas di kabupaten ujung timur Aceh tersebut. Untuk arifnya, aku memaknai gejala ini sebagai proses pembelajaran alam yang cukup berarti bagi perjalanan antar generasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar