Senin, 27 Oktober 2014

CERBAR BAGIAN TIGA

CERITA BARANGKALI (CERBAR)
Nafsu Mengabaikan Botol 
BAGIAN TIGA

Sekira pukul 20.00 WIB, botol berisi cairan kuning kemerahan diletakkan di atas meja. Kencing di botol itu ramai-ramai diamati dan diperdebatkan, untuk dipertanyakan kepada pemuda teraniaya nantinya. Tanpa mampu melawan, dia didudukkan di bangku berhadapan langsung dengan botol yang masih berisi seperempat cairan. “Nanti setelah seluruh warga hadir baru kita tanyakan kepada dia,” kata Kepala Kampong dengan suara sedikit serak, kelelahan. Tiada lama dari waktu itu, warga desa berduyun-duyun hadir, tidak terkecuali perempuan tua maupun muda. Mereka membentuk lingkaran mengelilingi sosok pemuda berwajah jengkel memandang kencing dalam botol kemasan. “Gara-gara dia saya dan beberapa warga bau pesing,” kata Kepala Kampong di hadapan warga desa membuka bicara. Hadirin terperanjat bersegera untuk menghukum tanpa menggubris bantahan pemuda itu. “Memang anak muda sekarang tidak lagi menghargai orang tua,” ungkap istri Kepala Kampong dan diiyakan ibu-ibu yang lain. Pemuda itu pucat dalam kemarahan warga yang antusias untuk memberi hukuman. “Terserah hadirin sekalian, hukuman apa yang pantas untuk dia,” kata Kepala Kampong dengan nada tinggi di tengah berisik diskusi sesama warga. “Begini, kita tanyakan saja kepada dia, ini kencing lelaki atau perempuan,” kata pemuda legam yang aktif mengambil peran sejak awal. “Jika dia salah menjawab, baru kita hukum,” sambungnya lagi. “Setujuuuuu,” sahut warga serentak disambut mangut-mangut Kepala Kampong seraya mengakui ide brilian itu. “Ya, ya, ya,………,” gumamnya sambil berdiri di belakang pemuda, “kamu paham maksudnya ?,” tanya pemimpin desa itu lagi. Tidakpun pemuda itu mengangguk selain wajahnya semakin cemberut merunduk merenung nasib. “Sekali lagi saya tanya, paham?,” kata Kepala Kampong yang di sahutinya dengan menengadah. “Ayo jawaaaab,” menggelegar suara warga seakan jengkel atas prilaku anak muda yang telah mempermalukan pemimpinnya. “Boleh saya akan jawab,” katanya singkat, “itu kencing lelaki yang terjangkit batu karang”. “Haaa, apa alasanmu,” tanya pemuda bebadan gelap menyusup disela-sela kerumunan. “Lihat saja warnanya, agak kemerahan,” jawab pemuda pesakitan yang sedang dipersoalkan.  Kepala Kampong mendekat ke botol mencermati dari dekat, “kayaknya dia salah, bagaimana?,” katanya sembari senyum sinis. “Betullll pak, dia asal jawab,” teriak warga beramai-ramai, “hajar dia,” sambut yang lain. Istri Kepala Kampong menarik dua wanita paruh baya, mengajak berbicara di pojok balai desa. Mereka serius dan mengangguk-angguk seakan mengetahui asal kencing dalam botol itu, “sebentar, kami sudah tau,” kata istri Kepala Kampong menerobos. Warga lain terdiam, meyakini pendapat ketua PKK kampong itu lebih pasti, sebagaimana dia melatih warga membuat bumbu pecal dari kedalai campur kunyit tunggal, pada setiap Jum’at petang. “Dari warnanya, ini kencing perempuan setiap bulan, “ kata Ketua PKK kampong itu yang disambut diam para hadirin. Banyak keterangan yang dia berikan seputar hubungan warna air seni dengan kondisi kaum perempuan. Para lelaki beroleskan kencing dan Kepala Kampong yang menyapu muka sore tadi menggerak-gerakkan bahunya isyarat kondisi menjijikkan. “Kurang ajar,” kata Kepala Kampong kepada pemuda yang terzalimi seraya menggepalkan tinjunya. “Stoppp,” jawabnya dengan wajah pucat pasi, “tidak benar itu kencing perempuan,” pungkasnya. “Mari kita buktikan,” sambungnya keras membantah untuk mencegah terjadi amuk massa ke arahnya. Semua terdiam dan mempersilahkan anak muda itu membuktikan ucapannya. “Cepat, apa buktinya,” kata pemuda legam mendesak dan disahuti yang lain beramai-ramai. Lantas pemuda itu berdiri memegang botol dan bersigap menumpahkan isinya  yang lumayan pesing. “Buang jauh-jauh sana, jaga dia jangan sampai melarikan diri,” kata Kepala Kampong mengingatkan. Beberapa orang mengikutinya berjaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Beberapa waktu kemudian pemuda itu kembali ke tengah kerumunan dengan ratusan pasang mata tertuju. “Ibu kemari,” katanya sambil menarik lengan Ibu PKK yang sedang bengong. “Tolong ibu ke kakus masukkan kencing ke dalam botol ini dalam waktu lima menit?, jika berhasil dan tidak basah bagian luar, ambillah lembuku yang sedang terikat di sana,” katanya menunjuk kandang lembu yang tidak jauh dari balai desa. Mata perempuan itu terbelalak dan berbinar, “benar?, kamu jangan menambah persoalan baru,” jawabnya seakan tak percaya terhadap ungkapan pemuda itu. “Silahkan, usir aku dari kampong ini  jika aku ingkar,” jawabnya. Tiada menunggu lama, Ibu PKK dibantu suaminya, Kepala Kampong mengambil botol itu bergegas menuju kakus balai desa. Dipersilahkan isterinya masuk ke kakus dan dijaganya, seakan khawatir terjadi sabotase. “Cepat…,” kata suaminya dan, “sebentar bang agak susah ni,” jawab istri dari dalam kakus. Tiada sabar Kepala Kampong itu menunggu dan kerap memperhatikan arloji di tangannya. Sekira waktu yang disepakati jelang akhir, yakni dua menit lagi, pintu kakus didobrak suaminya sambil marah-marah. “Lama sekali kok, waktu hampir habis,” katanya di depan pintu kakus sambil memperhatikan ke dalam. “Tidak bisa masuk, lubangnya terlalu kecil. Lihat kain dan bajuku basah kena kencing,” jelas istrinya. Wajah lelaki itu merah padam dan diam tanpa kata sambil menyapukan arlojinya yang menunjukkan waktu telah lewat. “Bagaimana pakkk,” tanya beberapa warga yang hendak menyaksikan penyerahan lembu malam itu. Pasangan suami istri itu berjalan lunglai dari kakus menuju kerumunan. “Selamat buk,” teriak pemuda pemilik lembu dari jauh setengan senyum. “Selamat apaan,” kata perempuan itu malu, “lembunya yang selamat,” kata ibu itu lagi. “Haaaaaaa,……?, ada apa dengan ibu,” kata warga menyaksikan kain dan baju basah sambil berbaris menyambut pasangan suami-istri petinggi desa berjalan pelan menuju meja tempat botol semula. “Dia benar, itu kencing lelaki,” kata Ibu PKK sambil menunjukkan tangan ke arah pemuda terzalimi yang mulai sumringah. “Saya lupa, kaum perempuan bermasalah dalam usaha  memasukkan kencing ke dalam botol,” lanjutnya disambut dingin kaum ibu yang lain, terlebih lagi dua perempuan yang mula-mula diajak diskusi. Para lelaki di tempat itu terbahak serempak,”untung tidak sebaliknya buk ya, he he he he,” celoteh beberapa yang rada nakal. “Maulah mengamuk bapak,” sahut yang lain. Kepala Kampung terdiam seakan dipermalukan namun, “kita ambil hikmahnya,” gumamnya sambil menyalami pemuda pemilik lembu.  (TAMAT)    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar